Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Konflik Tanah</font><br />Tergusur Dayak dari Tanahnya

Suku Dayak Benuaq di Kalimantan Timur bentrok karena tanah adat mereka jadi kebun kelapa sawit. Bupati menuduh ada permainan politik.

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA menumbuk batu bara dan buah sawit di atas tiga lesung batang pohon. Sekitar 20 pengunjuk rasa ini bergerombol di jalan depan kantor Gubernur Kalimantan Timur di Samarinda, Jumat dua pekan lalu. Spanduk besar mereka bentangkan. Di situ tertulis, "Pak Gubernur, Makan Tuh Batubara, Kunyah Tuh Sawit".

Menurut Misrani Teran, koordinator aksi, tumbukan tersebut simbol tumbangnya kayu-kayu di kebun mereka karena tergusur penambangan batu bara dan kelapa sawit. Maka, lewat aksi itu, warga suku Dayak Benuaq menuntut Gubernur Awang Faroek mencabut izin perusahaan-perusahaan yang mengepung kampung mereka.

Adapun di ruang rapat gubernur yang sejuk karena disiram penyejuk udara (AC), Awang Faroek khusyuk memimpin rapat kerja bersama bupati dan wali kota se-Kalimantan Timur. Mereka sedang membahas rencana kegiatan tahun 2012. Para petinggi ini tak hirau oleh para pendemo yang datang dari jauh.

Misrani dan teman-temannya harus menempuh jalan darat berlubang sejauh 340 kilometer dari Kampung Muara Tae dengan mobil sewaan. Mereka mendapat amanah warga kampungnya untuk menyampaikan protes itu. Sejak 1986, kata Misrani, saat perusahaan kayu masuk ke kampungnya, dan kini berganti menjadi batu bara dan sawit, kebun-kebun warga dan hutan adat telah habis.

Muara Tae memang tidak masuk konsensi batu bara atau sawit untuk puluhan perusahaan di sana. "Tapi mereka membuat jalan yang melewati kebun dan kampung kami," kata Petrus Asuy, 45 tahun. PT Munte Waniq Jaya Perkasa, misalnya, punya kebun di Kampung Ponaq, tetangga Muara Tae.

Tempo, yang berkunjung ke kebun Petrus pada Jumat pekan lalu, melihat tanah-tanah di sana sudah rata. Menurut dia, dulu di sana merupakan kebun dan hutan yang ditumbuhi pelbagai jenis kayu, termasuk ulin (Eusideroxylon zwageri), pohon khas Kalimantan. "Kebun saya sudah habis," kata petani rotan ini. Total jenderal, kebun Petrus seluas 47 hektare telah berubah menjadi jalan.

Tak sepeser pun Petrus mendapat ganti rugi. Ketika buldoser PT Munte Waniq Jaya tiba-tiba menggusur kebunnya pada akhir Oktober lalu, Petrus dan warga lain mencoba menghadang. Sia-sia. Mereka malah berhadapan dengan sesama suku Dayak Benuaq lain dari Kampung Ponaq. "Mereka membawa tombak dan mandau," kata Muus, petani lain.

Tak mau bentrok sesama Dayak, warga Muara Tae mundur. Orang Kampung Ponaq merasa harus menghadang perlawanan warga Muara Tae karena mereka telah menjual tanah adat mereka kepada Munte Waniq Jaya. "Mereka provokasi," kata Misrani. Karena itu, ia membentangkan spanduk di perbatasan kampung yang bertulisan, "Sesama Dayak Benuaq Jangan Mau Diadu-domba Perusahaan".

Konflik ini sebenarnya sudah lama tersimpan di Muara Tae. Bupati Kutai Barat Ismail Thomas juga tahu ada gesekan pada dua kampung itu. Namun ia melihatnya lebih politis. Menurut Ismail, tuntutan warga Muara Tae diprovokasi oleh rivalnya yang kalah dalam pemilihan bupati pada Oktober 2010. Ismail sendiri "naik" karena didukung PDI Perjuangan.

Karena itu, Ismail menyatakan ia heran dengan tuntutan warga Muara Tae yang memintanya mencabut izin konsensi PT Munte Waniq Jaya. "Sebab, dalam izin yang saya beri itu sudah jelas, tak boleh menggusur kebun buah dan kuburan tua," katanya.

Ismail tak melarang konsesi sawit melabrak kebun-kebun di tanah adat yang menjadi mata pencarian warganya. Ia mengaku sudah meminta PT Munte Waniq menyelesaikan perseteruannya dengan warga Muara Tae. "Kalau saya diperlukan, saya akan bantulah," katanya.

Adapun PT Munte merasa tak berkonflik dengan warga Muara Tae. Mathias, Manajer Lapangan PT Munte, menyebutkan konsesi sawit yang diberikan Ismail seluas 11.500 hektare kepada mereka tak mencakup Kampung Muara Tae. "Izin operasi kami di empat kampung di Kecamatan Siluq Nguray," katanya.

Soal sengketa kebun Muara Tae, menurut Mathias, itu menyangkut sengketa batas antarkecamatan. Muara Tae, yang masuk Kecamatan Jempang, berebut wilayah dengan Kecamatan Siluq karena batas kebun yang membagi keduanya telah dicabut. Nenek moyang suku Benuaq dulu telah bersepakat secara lisan soal batas tanah adat dua kecamatan itu. Kini patok itu hilang dan pemerintah kecamatan tak secara tegas memisahkannya. "Persoalan ini ditangani kabupaten," kata Stevanus, Camat Siluq.

Meski buta dengan batas wilayah, Stevanus tetap meneken persetujuan pembelian tanah adat kepada PT Munte. September lalu ada sekitar 200 hektare tanah yang berpindah tangan. Namun, setelah dirunut-runut, tanah yang dijual itu masuk wilayah Muara Tae. Orang Muara Tae pun memprotes. "Kami jaga tanah ini secara turun-temurun, sekarang malah digusur," kata Misrani.

Kini tanah adat yang masih berupa hutan dan diklaim milik Muara Tae tinggal 150 hektare dari sekitar 11.300 hektare. Tanah-tanah itu digarap beberapa keluarga petinggi Muara Tae. Ini di luar kebun milik warga Muara Tae yang digusur untuk membuat jalan, seperti milik Peter Asuy dan Muus tadi.

Ada 386 keluarga yang menggantungkan hidup pada hutan dan Sungai Nayan di bawah Gunung Benuang, yang memisahkan Muara Tae dan Ponaq. Karena menolak bekerja di kebun sawit, mereka kini terancam kehilangan penghasilan karena kebun mereka telah menjadi jalan penghubung antara lokasi kebun sawit dan pabrik PT Munte Waniq.

Tak mau masalah ini terus berlarut-larut, Ismail Thomas sudah mengultimatum PT Munte, perusahaan sawit asal Malaysia yang sudah beroperasi di Kalimantan sejak 2008, menyelesaikan konflik tanah adat itu. "Saya beri tenggat 31 Januari 2012," katanya.

Bagja Hidayat (Jakarta), Firman Hidayat (Kutai)


Rame-rame ke Muara Tae

BUKAN hanya PT Munte Waniq Jaya Perkasa yang diizinkan membuka kebun sawit di Muara Tae. Sejak 1971, sudah puluhan perusahaan punya konsesi mengolah hutan di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Munte Waniq, perusahaan milik TSH Resources Bhd Group, tercatat datang paling akhir, Oktober tahun lalu.

Kampung Muara Tae seluas 90 ribu hektare sebagian menjadi lahan pengerukan batu bara. Telapak Indonesia, sebuah asosiasi lembaga swadaya, dalam laporannya November 2011 mencatat pemegang konsesi batu bara di Muara Tae adalah PT Gunung Bayan Prima Coal, perusahaan milik Low Tuck Kwong, orang Singapura yang menjadi warga Indonesia dan menempati urutan ke-828 orang terkaya di dunia versi majalah Forbes.

Yang lainnya perusahaan kayu dan sawit. PT London Sumatera (Lonsum), misalnya, beroperasi di Muara Tae sejak awal 1995. Tak hanya ke sawit, perusahaan Inggris yang sahamnya pada 2008 dibeli Salim Group itu juga merambah ke bisnis kebun kopi, lada, dan teh. Adapun pengusaha lokal kebanyakan bergerak di usaha kayu. Sejak 1971 hingga 1993, misalnya, PT Sumber Mas sudah menebang kayu dan membuat hutan tanaman industri.

Datangnya perusahaan-perusahaan itu telah memantik konflik dengan warga Dayak. Peter Asuy dan Misrani Teran sudah puluhan kali mendatangi DPRD Kutai Barat dan provinsi mengadukan penyerobotan tanah-tanah mereka. Dengan PT Lonsum, misalnya, mereka sudah bertemu delapan kali membicarakan ganti rugi. "Tapi tak pernah ada hasilnya," kata Asuy.

Bupati Kutai Barat Ismail Thomas menyebut Asuy dan kawan-kawannya sebagai "orang-orang lama yang getol memprotes keberadaan perusahaan tambang dan sawit" di Muara Tae. Sejak 1995, mereka memang rajin menuntut ganti rugi.

Walau tak pernah sepi dari protes warga, tetap saja investor berdatangan ke sana. Mereka berharap bisa mengeruk fulus dari tanah warga Dayak itu. Kini, kebun sawit jadi primadona. Para investor menyulap hutan dan kebun warga menjadi kebun sawit. "Tapi semestinya investasi itu menyejahterakan masyarakat adat, bukan menumbuhkan konflik," kata Margaretha Seting Beraan, Ketua Badan Teritorial Telapak Kalimantan.

BHD, Firman Hidayat (Kutai)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus