Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PT Pertamina kalah dua kali dalam sengketa lahan di Jalan Pemuda, Jakarta Timur.
Pertamina kehilangan Rp 224 miliar.
Pemilik lahan diklaim mantan ajudan Presiden Sukarno.
LAHAN seluas 1,6 hektare itu persis berada di tepi Jalan Pemuda, Jakarta Timur. Puluhan rumah dinas, stasiun pengisian bahan bakar gas, dan pusat pelatihan kelautan berdiri di sana. PT Pertamina (Persero) dua kali kalah di pengadilan karena gugatan kepemilikan lahan oleh sejumlah orang yang mengaku sebagai ahli waris lahan itu. Perusahaan pelat merah ini melawan dan menuding ada mafia tanah di balik sengketa yang terjadi sejak 1987 tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibat kekalahan itu, hakim mewajibkan Pertamina membayar ganti rugi kepada para penggugat hingga ratusan miliar rupiah. “Kami masih berupaya merebut kembali hak yang mereka ambil karena ada dugaan pemalsuan dokumen dalam perkara itu,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman, Sabtu, 12 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua gugatan tersebut diajukan sekelompok orang yang mengaku sebagai pemilik lahan, pada 1987 dan 2014. Mereka menggugat kepemilikan sebagian besar lahan. Berbeda dengan lazimnya gugatan yang bertujuan merebut kembali tanah, kedua penggugat hanya meminta ganti rugi lewat pengadilan. Mereka tak meminta lahan yang diklaim Pertamina sejak 1973 itu kembali.
Bukti verponding lahan di Djatirawamangun (kini Jl. Pemuda). BPN menduga dokumen ini palsu karena tak tercatat dalam buku kohir/Istimewa
Kekalahan Pertamina berawal dari gugatan yang diajukan istri dan lima anak almarhum A. Supandi lewat Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 2014. Warga Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, itu menuntut Pertamina membayar ganti rugi lantaran menguasai lahan seluas 1,2 hektare tanpa hak.
Keluarga A. Supandi mengklaim membeli lahan itu pada 1963 dari sejumlah penggarap. Mereka meminta Pertamina membeli setiap meter persegi lahan seharga Rp 20 juta. Pertamina kalah dan dipaksa membayar Rp 224 miliar kepada para ahli waris Supandi.
Sejak awal, Pertamina sudah kalah telak. Ahli waris A. Supandi memenangi gugatan di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Timur hingga banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Keluarga Supandi hanya kalah di tingkat kasasi pada 28 September 2017.
Mereka menang lagi lewat permohonan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Berbekal putusan itu, ahli waris mengajukan permintaan eksekusi putusan dengan permohonan pembekuan dua rekening Pertamina agar bisa mendapatkan ganti rugi senilai Rp 224 miliar itu. Ahli waris berhasil mencairkan uang tersebut dari rekening Pertamina pada Juni 2020.
Meski uang telanjur cair, Pertamina berupaya melawan. Mereka menggugat putusan Pengadilan Jakarta Timur tentang pembekuan rekening dan pencairan rekening.
Contoh dokumen verponding. Lazimnya ditulis dengan tangan dan pembayaran pajak dicatat setiap tahun/istimewa
Menurut Fajriyah, pencairan uang tersebut semestinya tak bisa dilakukan lantaran adanya tumpang-tindih penanganan perkara dengan gugatan sebelumnya. Pertamina beralasan lahan seluas 0,3 hektare dari area seluas 1,2 hektare yang diajukan keluarga Supandi sedang menjadi obyek gugatan yang dilaporkan pada 1987.
Gugatan pada 1987 diajukan tiga kelompok, salah satunya Cut Aminah Markam, anak pengusaha asal Aceh yang dekat dengan Presiden Sukarno, Teuku Markam. Putusan pengadilan atas gugatan itu menyatakan Pertamina bersalah dan wajib membayar ganti rugi Rp 22,9 miliar.
Karena ada gugatan intervensi pada perkara 1987 ini, mereka yang berhak atas ganti rugi berpindah ke tangan ahli waris Amsir. Tapi, hingga kini, putusan itu belum dieksekusi. “Itu sebabnya eksekusi perkara A. Supandi menjadi prematur,” ucap Fajriyah.
Tak hanya jalur peradilan, Pertamina juga meminta penelisikan dugaan pemalsuan dokumen kepada Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya pada 2 Oktober 2020. Mereka meragukan keaslian surat kuasa, bukti kepemilikan verponding dan girik yang diajukan ke pengadilan. “Saat ini penanganannya telah diambil alih Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI,” kata Fajriyah.
Seorang petinggi negara yang mengetahui perkara ini menyebutkan Pertamina awalnya melapor ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Namun pemeriksaan mandek. Tak tanggung-tanggung, Bareskrim membelah laporan Pertamina menjadi dua perkara.
Perkara pertama dugaan pemalsuan dokumen. Kasus kedua merupakan dugaan tindak pidana pencucian uang yang diduga melibatkan mafia tanah di lahan milik Pertamina. Kedua perkara ini ditangani Direktorat Tindak Pidana Umum.
Direktur Tindak Pidana Umum Brigadir Jenderal Andi Rian tak memberikan tanggapan. Begitu pun dengan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan. Ia tak merespons pertanyaan Tempo hingga Sabtu, 12 Februari lalu.
Anggota staf ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Iing Solihin, ikut menguatkan laporan Pertamina. Menurut dia, dua dokumen verponding yang diajukan para penggugat saat persidangan tidak tercatat dalam buku kohir, buku yang memuat daftar penetapan pajak milik Badan Pertanahan Nasional.
Iing menilai dokumen itu juga janggal lantaran mencantumkan penomoran huruf “c” yang hanya lazim digunakan dalam dokumen girik. Iing menyorot bukti pembayaran pajak yang diketik. “Lazimnya ditulis dengan tangan kala itu,” ujarnya.
Perkara yang membelit Pertamina ini juga sempat dibahas di Istana Negara. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil mengklaim sudah menyampaikan laporan kepada Kejaksaan Agung ihwal banyaknya lahan negara yang beralih tangan karena putusan pengadilan.
Sengketa lahan Pertamina di Jalan Pemuda dan Kota Makassar adalah beberapa di antaranya. “Di Makassar hampir sepertiga lahan negara hilang. Kami menduga ada yang bermain lewat jalur pengadilan,” tuturnya.
Ahli waris A. Supandi, Ali Sopyan, menampik anggapan ada mafia tanah dalam perkara ini. Menurut dia, klaim kepemilikan lahan sudah diuji hakim dalam proses pengadilan. Lahan itu telantar setelah tragedi 30 September 1965.
Semasa hidup, A. Supandi adalah anggota pasukan elite Cakrabirawa yang bertugas menjaga Presiden Sukarno. Ia mengundurkan diri dari dinas militer dan menyambung hidup di Kota Cianjur. “Almarhum Bapak dulu orang dekat Bung Karno, sehingga sulit mengurus pengakuan tanah itu pada zaman Orde Baru,” ucap Ali saat ditemui di Cianjur, Kamis, 10 Februari lalu.
Menurut Ali, lahan seluas 1,2 hektare yang mereka menangi dari Pertamina hanyalah secuil dari lahan yang dimiliki ayahnya. Di sekitar Rawamangun, Jakarta Timur, ayahnya juga meninggalkan warisan tanah seluas 16 hektare.
Ia juga mengklaim memiliki lahan cukup luas di delapan lokasi lain. Salah satunya lahan di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, seluas 30 hektare. Ia belum memastikan apakah akan mengajukan gugatan atas lahan-lahan tersebut. “Masih kami pelajari,” katanya.
Meski sudah mengantongi uang ratusan miliar rupiah setelah memenangi gugatan melawan Pertamina, Ali masih tinggal di rumahnya di Desa Sukasari, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur. Luas tanah rumahnya sekitar 150 meter persegi.
Rumah dengan dua lantai itu jauh dari kesan mewah. Jalan menuju rumahnya sempit, hanya selebar satu meter dan hanya bisa dilewati sepeda motor. Rumah kediaman orang tuanya, di Desa Ciranjang, telah lama ia tinggalkan. Kondisi rumah yang berada di perkampungan itu kini rata dengan tanah.
Pengacara Ali Sopyan, Malkan Frans Bouw, menyebutkan riwayat tanah di Jalan Pemuda itu tak lepas dari sosok Teuku Markam. Ia pengusaha asal Aceh yang disebut ikut menyumbangkan emas untuk Tugu Monumen Nasional di era Orde Lama.
Menjelang tragedi 1965, Markam pernah berniat membeli lahan A. Supandi senilai Rp 300 juta. Uang panjar sebesar Rp 75 juta sudah disetor kepada Supandi sebagai tanda jadi. Transaksi itu batal setelah Markam ditahan tentara atas tuduhan terlibat Gerakan 30 September 1965. “Seluruh aset miliknya disita, termasuk lahan A. Supandi,” ujar Malkan Frans.
Supandi berupaya mengambil kembali lahan pada 1981. Kala itu, ia menghadap Ketua Operasi Tertib Daerah Jaya Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah Jakarta Raya Mayor Jenderal Norman Sasono. Tujuannya, mengeluarkan status lahannya dari daftar aset penguasaan Tentara Nasional Indonesia.
Ketika itu, obyek lahan diduduki PT Berdikari, badan usaha milik negara yang bergerak di bidang logistik. “Jadi lahan itu juga bukan milik Markam karena transaksi belum tuntas,” ucap Malkan.
Atas permintaan itu, Malkan menambahkan, Norman menerbitkan surat perintah tertanggal 30 Agustus 1982 yang meminta peninjauan ulang atas lahan di Jalan Pemuda. Tapi ikhtiar itu tak kunjung membuahkan hasil.
TNI tak mau melepas kepemilikan tanah. Kepala Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat Mayor Jenderal Prantara Santosa tak merespons ihwal klaim ini. Ia tak menjawab permintaan wawancara yang dikirimkan lewat pesan telepon selulernya.
Pertamina punya versi lain tentang riwayat lahan Jalan Pemuda. Menurut Fajriyah Usman, tanah itu dikuasai sejak 1973 setelah TNI mendapatkan kuasa pengelolaan lahan dari Yayasan Kesejahteraan Jayakarta yang bernaung di bawah Komando Daerah Militer Jayakarta.
Akta peralihan itu diteken di hadapan notaris Mochtar Affandi tertanggal 18 September 1973. “Kami juga mendapatkan Surat Izin Penunjukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT) dari Gubernur DKI Jakarta No.2349/A/K/BKD/1973 tanggal 11 September 1973,” tutur Fajriyah.
Bukti-bukti yang diajukan Pertamina rontok di pengadilan. Dalam dokumen putusan, hakim Lasito yang memimpin perkara itu menilai lahan yang digugat pada 1987 berbeda dengan lahan yang digugat almarhum Supandi pada 2014.
Lasito tak bisa dimintai keterangan dalam wawancara. Ia kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Jawa barat, lantaran dinyatakan bersalah menerima suap untuk mempengaruhi keputusan Bupati Jepara senilai Rp 500 juta dan US$ 16 ribu pada 2019.
Belakangan, Ali Sopyan menghadapi perkara baru. Arry Arianna, warga Jalan Pasir Selamet, Desa Nanggeleng, Kecamatan Citamiang, Kota Sukabumi, Jawa Barat, melaporkan Ali Sopyan dan keluarga yang mengklaim sebagai ahli waris A. Supandi ke polisi.
Mereka berebut nama Supandi. Arry menuding Ali Sopyan membuat pengakuan palsu. Orang yang membayar transaksi lahan kepada sejumlah penggarap di Jalan Pemuda itu adalah ayahnya, yang juga bernama A. Supandi.
Ia turut menjadi saksi saat sengketa lahan Pertamina bergulir di pengadilan. Saat bersaksi, Arry menyatakan ayahnya adalah juru bayar Markam.
Arry enggan memberi penjelasan saat Tempo menyambangi rumahnya di Sukabumi pada Kamis, 10 Februari lalu. Ia mengarahkan agar permohonan wawancara diajukan kepada pengacaranya, Idang Jayadi dan Otang Suherman. Namun kedua pengacara tersebut tak kunjung merespons permintaan wawancara
Ali Sopyan membenarkan adanya laporan sengketa nama Supandi. Ia menampik tuduhan itu lantaran identitas ayahnya sudah diakui pengadilan. “Saya juga sudah membuat laporan balik,” ujarnya selepas menjalani pemeriksaan di Kepolisian Resor Cianjur, Kamis, 10 Februari lalu.
RIKY FERDIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo