Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR satu tahun kasus penjualan hak tagih PT Adyaesta Ciptatama oleh Badan Penyehatan Perban kan Nasional (BPPN) ngendon di Kejaksaan Agung. Tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus baru melangkah maju pada Jumat dua pekan lalu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Muhammad Rum mengumumkan penetapan mantan Kepala BPPN Syaf ruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka dugaan kasus korupsi. "Tim penyidik menilai sudah cukup bukti," kata Rum.
Surat perintah penyidikan untuk Syaf ruddin diteken Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Fadil Jumhana pada 21 September lalu. Menurut jaksa, Syafruddin diduga memperkaya orang lain dan merugikan keuangan negara dalam penjualan hak tagih dan tanah jaminan PT Adyaesta kepada PT Victoria Securities International Corporation. "Penjualan jaminan BPPN merupakan tanggung jawab dia," ujar seorang jaksa penyidik yang sejak awal menelisik perkara ini.
Jaksa menjerat Syafruddin dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Hukuman maksimalnya 20 tahun penjara.
Menurut jaksa penyidik, pengusutan kasus ini sempat terganjal manuver pihak Victoria International. PT Victoria Sekuritas Indonesia menggugat penggeledahan dan penyitaan barang bukti di kantor mereka, lantai 8 Panin Tower, Jakarta Selatan, pada Agustus dan September 2015. Hakim praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan penggeledahan dan penyitaan oleh tim jaksa itu tidak sah.
Penggeledahan di Panin Tower dipimpin Direktur Penyidikan saat itu, Sarjono Turin. Dari ruang kerja Komisaris Victoria Indonesia Suzanna Tanojo, jaksa menyita sejumlah barang, seperti telepon seluler, laptop, sweater, dan sepatu hak tinggi. Sepucuk pistol peluru karet merek Walther yang terselip di antara barang tersebut juga disita.
PT Victoria Indonesia juga mengadukan penggeledahan kantor mereka kepada Setya Novanto ketika masih menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Buntut laporan tersebut, Setya pernah memanggil Jaksa Agung Muhammad Prasetyo beserta anak buahnya. "Kami terhambat. Ada pendalaman, baru penyitaan lagi," ujar sang jaksa.
Pengusutan juga mandek karena banyak saksi yang mangkir dari pemeriksaan. Di samping Suzanna, Direktur Lelang Victoria Securities Indonesia Lislilia Jamin dan Direktur Victoria Indonesia Lita Rossela juga pernah mangkir.
Hiruk-pikuk kasus ini bermula pada 1997. Kala itu, PT Adyaesta mengajukan kredit Rp 469 miliar ke Bank Tabungan Negara untuk membangun perumahan seluas 1.200 hektare di Karawang, Jawa Barat. Namun Bank BTN hanya mengucurkan dana Rp 266 miliar. Krisis moneter pada 1998 membuat kredit itu macet. Pemerintah akhirnya memasukkan BTN ke "ruang rawat inap" BPPN.
Ketika perekonomian Indonesia menggeliat lagi, pada 20 November 2000, PT Adyaesta mengajukan kesanggupan membayar Rp 176 miliar ke BPPN. Namun BPPN meminta PT Adyaesta membayar utang beserta denda dan bunganya senilai Rp 247 miliar.
Tak ada kata sepakat, BPPN akhirnya melelang hak tagih tunggakan utang (cessie) Adyaesta dengan jaminan empat sertifikat hak guna bangunan. Pelelangan hak tagih itu masuk Program Penjualan Aset Kredit I pada pertengahan 2002. Tiga perusahaan mendaftar sebagai calon pembeli, yakni First Capital, Herita Kencana Securities, dan Victoria Securities International Corporation.
Waktu itu BPPN menetapkan First Capital sebagai pemenang lelang. Angka penawaran First Capital kala itu Rp 69,53 miliar. Adapun Victoria berada di urutan kedua setelah menyodorkan harga Rp 40-an miliar. Kedua perusahaan ini sama-sama berkantor di Panin Tower.
First Capital meneken perjanjian jual-beli hak tagih pada Oktober 2002. Namun, satu tahun kemudian, First Capital membatalkan perjanjian karena sertifikat sebagian lahan jaminan, seluas 300 hektare, hanya berupa fotokopian.
Menurut jaksa, perjanjian jual-beli piutang semestinya tidak bisa dibatalkan begitu saja. "Karena menggunakan skema as is basis, apa adanya," ujar seorang jaksa penyidik. Apalagi sejak awal First Capital sudah mengetahui bahwa sertifikat tersebut masih dalam proses pemecahan di Badan Pertanahan Nasional.
Sehari setelah First Capital mundur, Syaf ruddin mengirim memo ke sejumlah deputi BPPN. Isinya meminta berkas dokumen Adyaesta dibereskan sebelum lelang ulang. "Ada perintah agar dilakukan appraisal dan lelang ulang," ujar si jaksa.
Pada tahap ini, jaksa lagi-lagi menemukan kejanggalan. Sebelum perjanjian dengan First Capital dibatalkan, BPPN sudah memasukkan Adyaesta ke daftar Program Penjualan Aset Kredit IV. Jaksa pun mengantongi bukti komunikasi bahwa BPPN hanya mengirim pemberitahuan lelang kepada Victoria.
Lelang kedua hak tagih Adyaesta dibuka pada Agustus 2003. Victoria International, yang tercatat bermarkas di British Virgin Island, Karibia, menang dengan penawaran separuh lebih rendah dari harga pembelian First Capital, yakni Rp 32,075 miliar. "Itu di bawah harga buku sehingga merugikan negara," kata sang jaksa. Menurut perhitungan sementara jaksa, negara berpotensi rugi sekitar Rp 234 miliar.
Bukan cuma soal harga, jaksa pun menyoroti persyaratan administrasi yang tak diserahkan Victoria ketika mengikuti lelang. Yang kurang adalah pendapat hukum bahwa Victoria International merupakan badan hukum yang memenuhi syarat untuk membeli aset kredit BPPN.
Jaksa mulai mengusut perkara ini pada 2013, ketika Adyaesta kembali berusaha menebus asetnya ke Victoria International. Namun Victoria mematok harga selangit, sekitar Rp 3,1 triliun.
Pemilik Adyaesta, Johny Wijaya, lantas menarik akar perkara jauh ke belakang. Ia mempersoalkan kejanggalan dalam lelang BPPN. Johny pun melapor ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Pada 2014, Kejaksaan Tinggi memanggil Johny, yang diwakili kuasa hukumnya, Johnson Panjaitan. Jaksa menyarankan Adyaesta berunding dengan Victoria International, yang diwakili Suzanna Tanojo dan Presiden Komisaris Bank Panin Mu’min Ali Gunawan. "Karena BPPN tak bisa mendamaikan," ujar Johnson. Namun perundingan Adyaesta dan Victoria kembali gagal.
Di samping Syafruddin, sejauh ini sudah ada tiga tersangka lain yang ditetapkan kejaksaan. Mereka adalah analis kredit BPPN Harianto Tanudjaja, Rita Rossela, dan Suzanna Tanojo.
Kuasa hukum PT Victoria Indonesia, Primaditya Wirasandi, mengatakan kliennya sudah menyerah ketika penyidik menyita lagi barang yang disita pada penggeledahan sebelumnya. Penyitaan ulang berlangsung dua pekan setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membuat putusan praperadilan yang memenangkan Victoria. "Kami sempat mempermasalahkan, tapi klien menyerah," ujar Primaditya. Karena itu pula Primaditya mundur dari barisan pembela Victoria.
Untuk mempercepat pemberkasan, dalam dua pekan terakhir jaksa penyidik sibuk memanggil sejumlah eks pejabat BPPN untuk diperiksa sebagai saksi. Mereka antara lain bekas Wakil Ketua BPPN Sumantri Slamet, Deputi Ketua Bidang Aset Manajemen Kredit M. Syahrial, dan Kepala Program Penjualan Aset Kredit I Adi Darmanto.
Adapun Syafruddin sejauh ini belum bisa dimintai komentar. Kamis pekan lalu, Tempo mengirim permohonan wawancara ke kantor Syafruddin, Fortius Corporation, di lantai 23 Menara Sudirman, Jakarta Selatan. Namun surat itu belum dibalas. Sebelumnya, orang dekat Syafruddin menjanjikan wawancara khusus pada Rabu atau Kamis pekan lalu. Namun janji itu dibatalkan sepihak. "Bapak masih mengumpulkan data," ujar orang dekat Syafruddin yang menolak disebut namanya .
LINDA TRIANITA, DEWI SUCI RAHAYU
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo