Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dewan Kesenian Jakarta tak lagi menerima dana hibah dari Pemrpov DKI Jakarta mulai 2022.
Pengurus DKJ merasa tak dilibatkan dalam pembahasan anggaran.
Nasib 25 pegawai DKJ ikut terdampak akibat perubahan skema anggaran.
UNDANGAN rapat itu menyebar kepada pengurus dan staf sekretariat Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sejak pekan pertama Januari lalu. Surat tersebut muncul hampir sebulan setelah DKJ menyampaikan mosi tidak percaya kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat yang diteken Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana tersebut mengagendakan pembahasan nasib 25 pegawai DKJ pada Senin, 17 Januari lalu. Salah satu poin mosi tidak percaya adalah status karyawan DKJ. “Akhirnya kami diundang membahas nasib karyawan,” ujar Wakil Ketua I DKJ Hikmat Darmawan, Rabu, 12 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Urusan pegawai ini pula yang menjadi pemicu DKJ melayangkan mosi tidak percaya pada 17 Desember lalu. Pengurus DKJ kecewa karena Pemerintah Provinsi DKI memutuskan hanya merekrut empat karyawan. Status pegawai mereka juga berubah. Pemotongan ini adalah imbas kebijakan pemerintah DKI Jakarta yang berencana mengubah pola anggaran operasional DKJ.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Wardhana di Kantor Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 14 Januari 2022./TEMPO/Subekti.
Hikmat mengatakan pemerintah DKI secara sepihak memutuskan hubungan kerja dan mengubah status para pegawai. Dalam berbagai rapat bersama DKJ, perwakilan pemerintah Jakarta tak pernah menyampaikan perubahan ini.
Sementara itu, kegiatan operasional sekretariat DKJ bergantung pada semua pegawai tersebut. Ada banyak program yang sudah disiapkan dan membutuhkan tenaga mereka. “Ada 49 program reguler di bawah enam komite yang harus didampingi setiap tahun,” tutur Hikmat.
Kepala Dinas Kebudayaan Iwan Henry Wardhana membenarkan bahwa ia mengundang pengurus DKJ. Mereka juga akan memberikan solusi ihwal status para pegawai. “Kami akan tetap memperkerjakan 25 karyawan DKJ lewat mekanisme PJLP (penyedia jasa lainnya perorangan) dan Program Pengembangan Kebudayaan Subkegiatan Perlindungan, Pengembangan, Pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan,” katanya.
Iwan menjelaskan, peralihan status dilakukan untuk menghindari masalah hukum dan sengketa ketenagakerjaan. Sebagai lembaga pemerintah nonstruktural, kewenangan untuk mengangkat dan memperkerjakan mereka tak bisa diserahkan ke DKJ. “Tugas itu semestinya ada pada pemerintah,” ujarnya.
Iwan memastikan kesejahteraan staf nantinya makin terjamin lantaran mengikuti standar upah minimum. “Selama ini masih ada anggota staf yang bergaji Rp 2 juta sebulan,” ucapnya.
Namun peralihan pegawai ini disinyalir akan menimbulkan masalah baru. Pengacara publik pada Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Nelson Nicodemus Simamora, menilai keputusan itu menyebabkan pemerintah wajib membayarkan pesangon. “Jika pemerintah ingin merekrut, kontrak kerja mereka yang berjalan selama ini harus berakhir dengan pesangon,” tuturnya.
Gonjang-ganjing status pegawai ini adalah imbas konflik antara DKJ dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Konflik keduanya meruncing setelah Gubernur Anies Baswedan meneken Peraturan Gubernur Nomor 4 Tahun 2020 tentang Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta pada 7 Januari 2020.
Aturan ini merevisi sejumlah hal mendasar yang sebelumnya tercantum di Peraturan Gubernur Nomor 64 Tahun 2006 yang dibuat Gubernur Sutiyoso. Memang, kedua aturan tersebut sesungguhnya tak secara eksplisit menjelaskan status pegawai DKJ, termasuk anggaran gaji.
Syahdan, Gubernur Ali Sadikin mendirikan Dewan Kesenian Jakarta pada 1968 untuk membantu pemerintah merumuskan kebijakan seni dan budaya. Menurut sejarawan JJ Rizal, DKJ berdiri dengan status lembaga semiotonom.
DKJ mendapatkan kebebasan mengelola Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. “Saya tidak mengerti seni. Urusan itu biarlah saya serahkan kepada seniman. Tugas saya adalah mendanainya,” ujar Rizal, menyitir ucapan Ali kala itu.
Surat Keputusan Nomor Ib.3/2/19/1968 yang diteken Ali Sadikin menyatakan DKJ berwenang mengelola aset DKI Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Pada masa Sutiyoso, kebijakan ini berubah. DKJ tak lagi mengelola TIM. Sutiyoso membentuk Badan Pelaksana TIM. Tapi pemerintah tetap menyokong penuh anggaran DKJ dengan mekanisme dana hibah.
Anies Baswedan mengubah skema itu. Dana operasional, program, dan honorarium staf DKJ tak lagi disuntik lewat mekanisme hibah. Kebutuhan uang semua pos tersebut harus turut disertakan dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Pemerintah DKI beralasan dana hibah kerap bermasalah. “Selama ini ada masalah karena hibah tak boleh disalurkan secara permanen. Itu mengapa harus lewat APBD,” kata Iwan Henry Wardhana.
Ia beralasan, dengan model pembiayaan baru, pemerintah ingin mengembalikan marwah DKJ sebagai perumus kebijakan bidang seni sebagaimana diamanahkan Gubernur Ali Sadikin. Sementara itu, semua usul program DKJ nanti dilaksanakan oleh birokrat dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Hikmat Darmawan mengklaim pihaknya tak mempersoalkan perubahan pola anggaran. Mereka kecewa lantaran pemerintah tak melibatkan DKJ saat membahas APBD 2022 bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta. Rapat ini berlangsung pada pertengahan November 2021.
Akibatnya, banyak usul program kerja DKJ yang dicoret karena anggota DPRD tak menangkap alasan di balik pengajuan program. Utusan Dinas Kebudayaan, kata Hikmat, tak bisa menjelaskan program secara detail. “Bahkan ada sejumlah program yang lebih dulu dicoret sebelum dibahas. Ini menyalahi prinsip dan tujuan pendirian DKJ,” tutur Hikmat.
Pencoretan ini menyebabkan APBD 2022 hanya membujetkan Rp 5,2 miliar untuk biaya program DKJ. Padahal DKJ pernah menerima dana hibah Rp 18,7 miliar pada 2019. Hibah yang mereka terima pada 2020 menurun menjadi Rp 6,6 miliar. Namun DKJ tak menyoal penyusutan anggaran karena memaklumi anggaran terpangkas akibat pandemi Covid-19.
Mosi tidak percaya DKJ kepada pemerintah DKI Jakarta merupakan akumulasi dari banyak persoalan. DKJ juga memprotes sikap pemerintah yang dianggap tak serius membahas program revitalisasi TIM. Pengurus DKJ juga merasa dilecehkan karena pernah diajak rapat hanya 16 menit sebelum rapat pembahasan TIM dimulai.
Menurut mantan Sekretaris DKJ, Abu Hassan, dominasi peran birokrat dalam kegiatan DKJ berpotensi memangkas kreativitas para seniman. Seharusnya, menurut dia, seniman dijauhkan dari urusan administrasi pemerintahan. “Sekali masuk dalam urusan birokrasi, seniman tak lagi nyeni,” katanya. “Ada ruang-ruang yang hilang dalam kreativitas mereka.”
RIKY FERDIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo