Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Sumbangan Masjid Pak Pulung

Rahmat Effendi diduga melibatkan anak-anaknya dan pejabat Kota Bekasi untuk menampung uang suap. KPK akan menjeratnya dengan pasal pencucian uang.

 

15 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPK menemukan harta kekayaan tersembunyi Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi

  • Rahmat diduga menampung uang suap lewat ketiga anaknya dan pejabat Kota Bekasi yang menjadi orang-orang kepercayaannya.

  • Dibidik dalam perkara pidana pencucian uang.

BUTUH dua tahun bagi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi meringkus Rahmat Effendi. Para penyelidik KPK mengendus Wali Kota Bekasi itu menerima suap sejak 2019. Selain laporan masyarakat, penyelidik menemukan jumlah harta Rahmat yang tak wajar dengan profil gajinya sebagai pejabat daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyidik KPK mencokok Rahmat di rumahnya di perumahan Pekayon Indah, Bekasi Selatan, Jawa Barat, pada Rabu, 5 Januari lalu. Dari rumah itu, penyidik juga membawa ajudan Rahmat, Bagus Kuncorojati; Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Muhammad Bunyamin; Lurah Jatisari Mulyadi alias Bayong; serta uang Rp 7,2 miliar. “Tim mendapat info akan ada penyerahan uang dari Bunyamin kepada Rahmat Effendi,” kata Ketua KPK Firli Bahuri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyelidik KPK menyimpulkan Bunyamin adalah orang kepercayaan Rahmat Effendi dalam suap-menyuap. Penyelidik menduga Bunyamin sebagai perantara antara penyuap dan Rahmat. Pada 2013-2019, misalnya, Bunyamin tercatat menerima uang dari pemilik PT Kota Bintang, Rayatri Handoyo Santoso, sekitar Rp 4 miliar. PT Kota Bintang Rayatri adalah pengembang perumahan Grand Kota Bintang di kawasan Bekasi Barat.

Omma Resto milik anak ketiga Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, Irene Pusbandari, 13 Januari 2022/TEMPO/Linda Trianita

Suap pengadaan lahan ini yang menjerat Rahmat. Sewaktu menjadi Wakil Ketua KPK 2015-2019, Saut Situmorang mengaku banyak menerima aduan ihwal pelbagai modus Rahmat dalam mendapatkan suap. Dari anggaran hingga proyek-proyek pengadaan lahan. “Waktu itu sifatnya masih penyelidikan,” tutur Saut, Jumat, 14 Januari lalu.

Dengan laporan-laporan itu, KPK meminta bantuan lembaga penegak hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan, untuk membuat analisis keuangan politikus Partai Golkar tersebut. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Inspektur Jenderal Karyoto mengatakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan dugaan tindak pidana pencucian uang. “Kami sedang mencari apakah ada tindak pidana korupsi lain yang signifikan,” ujar Karyoto. 

Dugaan pencucian uang juga bersandar pada temuan lonjakan nilai harta kekayaan Rahmat Effendi selama dua periode menjabat Wali Kota Bekasi, 2013-2018 dan 2018-2022. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut jumlah harta politikus 57 tahun itu “irasional dibanding gajinya sebagai wali kota”.

Untuk mengusut asal mula korupsi Rahmat, penyidik KPK juga menggelandang Novel, yang diduga menjadi makelar tanah. Lalu ada dua petinggi PT Kota Bintang Rayatri, Suryadi Mulia dan Handoyo Santoso; Direktur MAM Energindo Ali Amril; Camat Rawalumbu Makhfud Saifudin; serta Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan Jumhana Lutfi. Esoknya, penyidik KPK menangkap Camat Jatisampurna Wahyudin dan Lai Bui Min alias Anen serta menyita uang ratusan juta rupiah.

Penangkapan Rahmat dan orang-orang yang diduga terlibat dengan kejahatannya itu terjadi setelah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan Pemerintah Kota Bekasi 2021 untuk belanja modal ganti rugi tanah senilai Rp 286,5 miliar. Ganti rugi itu ditujukan bagi pembebasan lahan sekolah di Rawalumbu dan beberapa lokasi lain.

Dari penyelidikan KPK terungkap bahwa Rahmat memakai kewenangannya sebagai kepala daerah di lokasi tanah sekolah tersebut. Ia diduga mengintervensi langsung negosiasi antara pemerintah Kota Bekasi dan pihak swasta yang lahannya akan digunakan dalam pelbagai proyek. Dari negosiasi itu, penyidik KPK menduga Rahmat meminta fee.

Menurut Firli Bahuri, Rahmat Effendi meminta uang ganti rugi lahan dalam bentuk komitmen mengatasnamakan sumbangan masjid yayasan yang dimiliki keluarganya sebesar Rp 100 juta. Rupanya, suap Rahmat tak hanya menyangkut fee pembebasan lahan. Rahmat juga mendagangkan jabatan birokrasi Kota Bekasi.

KPK menjerat Pepen, Bunyamin, Mulyadi, Jumhana, dan Wahyudin dengan pasal penerima suap. Sedangkan Makhfud, Lai Bui Min, Ali, dan Suryadi disangka sebagai pemberi suap.

Ade Puspitasari, putri sulung Rahmat, membantah jika ayahnya disebut menerima uang suap ketika ditangkap KPK. “Saksinya banyak, anggota staf di rumah saksi semua,” kata anggota DPRD Jawa Barat itu dalam video berdurasi 1 menit 40 detik, yang diunggah ke akun Instagram @infobekasi.coo pada Sabtu, 8 Januari lalu.

Dalam video itu, politikus Partai Golkar 36 tahun ini berpidato di salah satu acara partai di Bekasi Selatan. Menurut Ketua Dewan Pimpinan Cabang Golkar Kota Bekasi tersebut, uang yang disita KPK merupakan hasil pengembangan dari pihak ketiga. “Pak Wali tidak bawa uang,” ucapnya. “Itu iuran dari pihak ketiga, dari kepala dinas, camat. Itu pengembangan, tidak ada operasi tangkap tangan.” 

Dari dokumen pelacakan suap Rahmat ada dugaan besel itu tak diterimanya langsung. Rahmat, menurut dokumen tersebut, memanfaatkan ketiga anak dan orang kepercayaannya sebagai penampung uang suap. Dalam kurun 2014-2018, misalnya, Ade Puspitasari tercatat menerima setoran sekitar Rp 190 juta dari pemilik dan karyawan CV GML.

Pengirim uang tersebut memberikan catatan atas setorannya dengan keterangan “surat perizinan”, “pelunasan biaya UKL UPL”, “pelunasan izin lingkungan”, dan beberapa keterangan teknis lain. Ade juga tercatat menerima kiriman sekitar Rp 120 juta dari pemilik perusahaan roti dengan keterangan “sembako”, “THR”, “lunas sarung”, “DP Pak Pulung”, “nasi kotak”, dan “akar kelapa”.

Anak bungsu Rahmat, Irene Pusbandari, juga diduga secara rutin menerima setoran dari pegawai Bagian Pendapatan Daerah Kota Bekasi berinisial SM sekitar Rp 34 juta selama 2019-2021. Catatan lain menyebutkan perempuan 26 tahun ini mendapat kiriman besel dari anggota staf Dinas Pariwisata, Rei, sekitar Rp 330 juta.

KPK menduga Rei mendapat setoran dari para pegawai negeri Kota Bekasi setingkat anggota staf pelaksana, kepala subbagian, kepala biro, camat, hingga kepala dinas senilai Rp 630 juta. Duit ini diduga merupakan setoran yang berkaitan dengan mutasi jabatan atau rotasi.

Tak hanya itu, rekening Rei tercatat menerima fee dari kontraktor, pengusaha properti, agen perjalanan, perdagangan, karyawan perusahaan penukaran uang, dan beberapa pihak lain senilai Rp 3,4 miliar. Dari pelacakan KPK, orang-orang yang menyetor itu adalah pengusaha yang menang tender berbagai proyek pengadaan dari Pemerintah Kota Bekasi.

Uang tersebut lalu dibelanjakan keluarga Rahmat Effendi untuk keperluan pribadi. Irene, misalnya, diduga memakai uang dari Rei dan beberapa orang lain untuk membangun Omma Resto di Jalan Pekayon Raya, Kota Bekasi. “Generator resto juga diduga dari pengadaan lingkungan pemerintah Bekasi,” tulis dokumen tersebut.

Tempo menyambangi restoran tersebut pada Kamis siang, 13 Januari lalu. Pagar kayu cokelat sepanjang 8 meter terlihat sedikit terbuka. Di bagian pagar itu tergantung papan bertulisan: “TUTUP, opening hours 15.00-23.00”. Di pojok kiri restoran berdiri plang kecil hitam-putih bertulisan “OMMA”. Di seberangnya berdiri bangunan empat lantai yang merupakan kantor Yayasan Sakha Ramdan Aditya.

Rhamdan Aditya adalah anak kedua Rahmat. Laki-laki 30 tahun ini adalah Direktur Utama PT Arhamdan Ireynaldi Rizki. Rekening perusahan ini diduga menerima setoran dari Lurah Jatisari Mulyadi sekitar Rp 280 juta dan Kepala Subbidang Pelaporan Badan Pendapatan Daerah, ER, Rp 40 juta. 

Penyidik KPK menengarai Rhamdan menerima beberapa kali setoran tunai Rp 10-Rp 250 juta per transaksi dari para pejabat itu selama beberapa tahun. Totalnya sekitar Rp 4 miliar.

Rhamdan juga tercatat menerima komisi sekitar Rp 150 juta dari RPB, pemilik CV TP,  perusahaan konstruksi yang mengikuti tender di Bekasi dan Jawa Barat. Selain transaksi penerimaan, ia melakukan banyak transaksi dengan para pemilik mobil mewah serta showroom mobil dan sepeda motor. 

Selain Muhammad Bunyamin, orang-orang kepercayaan Rahmat Effendi adalah Lurah Jatisari Mulyadi dan AM, seorang pejabat Kota Bekasi yang juga sepupu Rahmat. Salah satu dugaan suap yang menonjol melalui Bunyamin berasal dari PT Kota Bintang Rayatri.

Direktur PT Kota Bintang Suryadi Mulia juga menjabat Direktur PT Hanaveri Sentosa, perusahaan yang membangun perumahan Bintara 2 dan Bintara 8 Residence. Suryadi mentransfer uang Rp 4 miliar kepada Bunyamin sebagai suap izin pembangunan dan penataan ruang di wilayah Kota Bekasi.

Pada 2014, Pemerintah Kota Bekasi menyemprit PT Kota Bintang Rayatri karena melanggar kesepakatan lebar area perumahan Grand Kota Bintang Bekasi. Setelah sempritan itu, petinggi PT Kota Bintang Rayatri mentransfer uang sekitar Rp 900 juta kepada istri Bunyamin selama dua tahun.

Tempo mendatangi kantor PT Kota Bintang Rayatri di kawasan Grand Kota Bintang di Jalan KH Noer Ali, Kalimalang, Bekasi. Rumah toko dua lantai itu tertutup rapat. Dari balik kaca terlihat ruangannya kosong.

Untuk meminta konfirmasi ihwal tudingan ini, Tempo juga menyambangi kantor pengembang tersebut di kompleks ruko Plaza Harmoni, Jakarta Pusat. Petugas satuan pengamanan ruko, Fahrurozi, mengatakan kantor tersebut jarang buka. “Tiap keliling, saya jarang melihat kantor itu buka. Paling sekali-dua kali saja dalam sebulan,” ujar Fahrurozi.

Selain transaksi dari petinggi PT Kota Bintang, istri Bunyamin diduga menampung dana pengembang lain, seperti dari PT PPP sekitar Rp 470 juta. Di rekeningnya sendiri, Bunyamin diduga menerima komisi dari pemilik PT FAP yang berinisial H sekitar Rp 1,1 miliar pada 2016-2019.

Grand Kota Bintang, kawasan milik PT Kota Bintang Rayatri, yang pemiliknya ditangkap KPK karena diduga menyuap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, 13 Januari 2022/TEMPO/Linda Trianita

H merupakan Komisaris Utama PT JAP. Dia pemenang proyek revitalisasi Pasar Bantargebang Kota Bekasi dengan pagu Rp 42,35 miliar pada 2018. Proyek pasar ini bermasalah karena pembangunannya belum selesai, tidak sesuai dengan spesifikasi, harga jual kiosnya sangat tinggi, dan terdapat praktik pungutan liar.

Dari semua orang di sekitar Rahmat Effendi, Bunyamin tercatat paling banyak menerima uang. Penyetornya juga beragam. Pada 2016-2017, ia menerima Rp 180 juta dari Direktur Utama PT ADM, pengembang beberapa perumahan di Bekasi. Ia juga menerima setoran dari pegawai negeri Kota Bekasi sebanyak Rp 340 juta dan Lurah Ciketing Udik Bantargebang sebesar Rp 32 juta. KPK menduga uang ini terkait dengan mutasi pegawai.

Mantan Camat Bekasi Barat tersebut juga menggunakan rekening anaknya yang masih mahasiswa berinisial RY. Rekening itu diduga digunakan untuk menampung dana dari perusahaan properti PT PPTN sejumlah Rp 2,5 miliar pada 2021.

Dana-dana itu lalu diinvestasikan ke perusahaan sekuritas. Bunyamin juga sering menarik uang tersebut secara tunai memakai buku tabungan ataupun kartu anjungan tunai mandiri dengan total sekitar Rp 9,3 miliar

Setoran uang kepada Bunyamin dari beberapa pengembang itu janggal karena sewaktu menjabat camat ia tak punya kewenangan mengurus izin properti dan proyek pembangunan. Penyidik KPK menduga Bunyamin menyetor sebagian uang yang diterimanya kepada Rahmat Effendi.

Saat didatangi, rumah Bunyamin di Kampung Kayuringin Jaya, Bekasi Selatan, sepi. Meski di garasinya ada satu mobil dinas dan satu mobil sedan Toyota merah serta dua sepeda motor, tak ada satu pun penghuni rumah menyahut ketika Tempo beruluk salam. Menurut tetangganya, rumah itu masih ditinggali keluarga Bunyamin.

Orang kepercayaan Rahmat yang lain adalah Lurah Jatisari, Mulyadi. Selama 2020-2021, ia menerima uang Rp 3,8 miliar. Setoran itu umumnya berupa uang tunai. 

Ade Puspitasari/facebook.com/ Ade Pupitasari

Mulyadi juga menerima kiriman uang dari pegawai negeri dan anggota staf Pemerintah Kota Bekasi. Nominalnya bervariasi, dari Rp 200 ribu hingga Rp 85 juta. Jika diakumulasikan, uang yang diterima Mulyadi dari pegawai kelurahan, kecamatan, pusat kesehatan masyarakat, dinas, dan lembaga lain itu mencapai Rp 570 juta.

Transaksi mencurigakan lain adalah transferan PT Yayasan Karya Bahana Mandiri milik keluarga Rahmat Effendi sekitar Rp 150 juta kepada Mulyadi. Sementara itu, sepupu Rahmat, AM, diduga menerima Rp 1,9 miliar pada 2014-2019. AM bahkan menerima uang hampir Rp 1 miliar selama April 2019-Juli 2021.

Anak-anak Rahmat Effendi menyatakan belum bisa berkomentar atas tuduhan yang menjerat ayah mereka. “Akan kami jelaskan jika sudah ada kuasa hukum,” kata Ade Puspitasari. “Saat ini kami masih berduka.” 

LINDA TRIANITA 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus