Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIDAKMAMPUAN kejaksaan mengekseksi putusan pengadilan yang sudah in kracht van gewijsde alias berkekuatan hukum tetap tak hanya pada kasus Susno Duadji. Terhadap sejumlah terpidana perkara korupsi lain pun kejaksaan kerap tak berdaya. Ada yang melawan, ada yang menghilang dan entah di mana rimbanya, ada pula yang kabur setelah beberapa saat ditangkap.
Kejadian seperti yang disebut terakhir itu misalnya dalam kasus penangkapan Bupati Kepulauan Aru Teddy Tengko. Setelah sempat tertangkap di Jakarta pada 12 Desember 2012 dan direncanakan diterbangkan ke Dobo, ibu kota Aru, Teddy kabur saat dititipkan tim jaksa di kantor polisi Bandar Udara Soekarno-Hatta esok harinya. Dia melarikan diri dengan pesawat carteran bersama puluhan pengawalnya.
Teddy divonis bersalah oleh Mahkamah Agung dalam kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kepulauan Aru 2006-2007 senilai Rp 42,5 miliar. Selain dihukum empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta, dia diwajibkan membayar ganti rugi ke negara Rp 5,3 miliar.
Seperti Susno, Teddy juga memakai Yusril Ihza Mahendra sebagai pengacara. Menurut Yusril, kliennya tak bisa dieksekusi karena MA tak mencantumkan perintah eksekusi dalam puÂtusannya—alasan yang juga dipakai dalam kasus Susno. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Ambon, lewat putusan hakim tunggal Syahfruddin, mengabulkan permohonan Yusril agar jaksa tak mengeksekusi Teddy.
Atas putusan itu, Kepala Kejaksaan Negeri Dobo, Silla Pulungan, mengirim surat ke MA untuk meminta pembatalan penetapan Pengadilan Negeri Ambon tersebut. Mahkamah lantas mengeluarkan penetapan pada 25 Oktober 2012, yang menyatakan penetapan Pengadilan Negeri Ambon batal dan tidak berkekuatan hukum.
Nah, atas dasar putusan kasasi MA, kejaksaan lalu mengeksekusi Teddy. Tapi, ya itu, kendati tertangkap, Teddy bisa kabur juga. Hingga sekarang dia tetap "bebas merdeka" di Dobo.
Sama seperti pada kasus Teddy, kejaksaan hingga kini juga tak mampu mengeksekusi terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko S. Chandra, yang membuat negara rugi Rp 546 miliar. Djoko kabur dari Indonesia pada 10 Juni 2009 ke Papua Nugini, enam hari sebelum jaksa mengeksekusinya. MA memvonis Djoko dua tahun penjara. Kini diduga, dengan menggunakan paspor Papua Nugini atas nama Joe Chan, dia berdiam di Singapura dan tetap mengendalikan bisnisnya di Indonesia dari sana.
Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko menilai kejaksaan selama ini memang lemah dalam melakukan eksekusi putusan pengadilan. Menurut dia, jaksa kerap lamban sehingga memberikan ruang terpidana untuk melarikan diri dari jerat hukum. "Seharusnya kejaksaan meniru pola kerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang menahan koruptor sejak awal pemeriksaan."
Namun kejaksaan menolak jika disebut tak sungguh-sungguh. Soal Teddy Tengko itu, misalnya, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi, pihaknya sudah mengupayakan lagi penangkapan Teddy dengan berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Maluku Utara. "Tapi tim eksekutor dihadang massa pendukung Teddy," ujarnya. "Kami tak menyerah. Kami akan melakukan lagi karena itu perintah undang-undang," kata Setia Untung.
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menegaskan bahwa baik Susno maupun Teddy harus segera dieksekusi. Menurut Zainal, jika kedua terpidana itu terlalu lama di luar, hal tersebut akan menimbulkan preseden buruk bagi dunia hukum Indonesia. "Dia sudah disidangkan dan secara material dia terbukti melakukan sesuatu yang harus dipidana. Ya, seharusnya tetap harus dieksekusi," ujar Zainal.
Febriyan, Putri Anindya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo