Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Putusan sidang etik dua penyidik korupsi bantuan sosial diklaim tidak diintervensi pimpinan KPK.
Dewan Pengawas menyoroti sejumlah kata-kata penyidik kepada saksi yang dianggap tak pantas.
Albertina Ho menganggap tidak tepat membandingkan hukuman dua penyidik korupsi bansos dengan perkara gratifikasi Firli Bahuri.
PUTUSAN Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan dua penyidik yang mengusut dugaan korupsi bantuan sosial Covid-19, Mochamad Praswad Nugraha dan Muhammad Nor Prayoga, terbukti merundung seorang saksi, Agustri Yogasmara. Tiga anggota majelis etik dalam sidang putusan yang digelar pada Senin, 12 Juli lalu, itu menghukum Praswad dengan pemotongan gaji 10 persen dan Prayoga mendapatkan sanksi ringan berupa hukuman tertulis I.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu anggota Dewan Pengawas yang menjadi majelis etik perkara ini, Albertina Ho, mengatakan ucapan “gila”, “kejar sampai langit”, atau kalimat lain penyidik kepada Yogasmara tak etis. Ia memastikan Dewan Pengawas bekerja independen. “Majelis Etik memutuskan berdasar bukti dan fakta,” kata Albertina melalui jawaban tertulis kepada Tempo, Jumat, 23 Juli lalu.
Mengapa kalimat kedua penyidik itu dianggap melanggar kode etik?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyidik KPK ditempa menjadi penyidik yang profesional sehingga perundungan, intimidasi verbal, dan psikis dalam pemeriksaan tidak dibenarkan. Penyidik KPK terikat dan tunduk terhadap KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan Peraturan Dewan Pengawas yang mengatur kewajiban dan larangan bagi insan KPK, sehingga tidak tepat dibandingkan dengan penyidik di institusi lain.
Benarkah laporan saksi itu merupakan laporan yang diteruskan dari pimpinan KPK?
Tidak. Surat aduan dari Yogasmara pada 19 Februari 2021 ditujukan langsung kepada Dewan Pengawas KPK dengan tembusan kepada Ketua KPK, Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, serta Direktur Penyidikan.
Mengapa Dewan Pengawas menindaklanjuti laporan itu meski tim pemeriksa menyimpulkan laporan ini failed karena tidak ditemukan cukup bukti?
Informasi tim pemeriksa Dewan Pengawas yang menindaklanjuti laporan tersebut dan menyimpulkan laporan failed adalah tidak benar. Tugas tim pemeriksa melakukan klarifikasi dan membuat laporan hasil kerja (LHK). Keputusan cukup bukti atau tidak untuk dilanjutkan ke sidang etik ditentukan oleh Dewan Pengawas dalam rapat pemeriksaan pendahuluan berdasarkan LHK yang telah disusun oleh tim. Jadi, meskipun tim pemeriksa menyatakan tidak cukup bukti, kalau dalam pemeriksaan pendahuluan Dewan Pengawas menyatakan cukup bukti, prosesnya dilanjutkan ke sidang etik.
Yogasmara sudah mencabut laporan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Mengapa pemeriksaan penyidik tetap dilanjutkan?
Dewan Pengawas tidak pernah mendapatkan laporan atau surat pencabutan laporan dari Yogasmara. Karena tim pemeriksa menyatakan cukup bukti, Dewan Pengawas melanjutkan ke sidang etik.
Kami mendapat informasi tiga direktur KPK menemui Dewan Pengawas dan meminta proses etik ditunda agar tak mempengaruhi persidangan....
Dewan Pengawas tidak pernah menerima kedatangan Direktur Penyelidikan, Direktur Penyidikan, dan Direktur Penuntutan dalam kaitannya dengan aduan dari Yogasmara untuk membicarakan penundaan sidang etik hingga perkara korupsi bantuan sosial inkracht. Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen sehingga tidak dapat diintervensi oleh pihak mana pun.
Apa pertimbangan Dewan Pengawas tetap memproses sidang etik meski persidangan dan penyelidikan korupsi bantuan sosial masih berjalan?
Majelis Etik menyidangkan para terperiksa berdasarkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilaporkan oleh Yogasmara dan tidak ada hubungannya dengan perkara bantuan sosial yang sedang ditangani KPK.
Sebelum mengusut etika dua penyidik, Dewan Pengawas juga memproses kasus etik Ketua KPK Firli Bahuri. Mengapa vonis Firli lebih ringan?
Dalam persidangan dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri yang dapat dibuktikan adalah nilai integritas dan nilai kepemimpinan, bukan penerimaan gratifikasi naik helikopter. Putusan perkara etik merupakan kewenangan Majelis Etik. Dalam memutus suatu perkara, Majelis Etik mempertimbangkan alat bukti dan fakta-fakta yang ditemukan selama persidangan. Jadi tidaklah tepat mempermasalahkan berat atau ringannya sanksi yang telah diputuskan, karena semuanya telah dipertimbangkan dalam setiap putusan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo