Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dewan Pengawas menganggap dua penyidik menyampaikan kalimat bernada intimidasi kepada saksi kasus paket bantuan sosial.
Putusan ini dianggap akan berdampak kepada vonis mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara.
ICW menganggap putusan Dewan Pengawas anomali.
BERSAMA Albertina Ho dan Syamsuddin Haris, Harjono membacakan putusan sidang vonis dugaan pelanggaran kode etik dua penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang Majelis Etik pada Senin siang, 12 Juli lalu. Ketiga anggota Dewan Pengawas KPK itu bergantian merunut kronologi dugaan perundungan dan pelecehan yang diduga dilakukan oleh Mochamad Praswad Nugraha dan Muhammad Nor Prayoga terhadap saksi perkara korupsi bantuan sosial Covid-19, Agustri Yogasmara.
Menurut penilaian Dewan Pengawas KPK, kedua penyidik mengatakan kalimat yang diduga melanggar etik sebagai penyidik KPK kepada Yogasmara, seperti “Lu sekolah gak sih? Lu sekolah gak? Gua tanya”. Dalam amar putusan itu, Majelis Etik menilai berbagai kalimat Praswad dan Prayoga saat menyidik dugaan korupsi bantuan sosial Covid-19 mengintimidasi Yogasmara.
Menurut Harjono, Majelis etik menilai ucapan Praswad dan Prayoga melanggar Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Kerja Pegawai KPK. “Para terperiksa bersalah melakukan pelanggaran berupa perundungan dan pelecehan terhadap pihak lain,” ujar Harjono.
Majelis Etik Dewan Pengawas menjatuhkan sanksi pelanggaran sedang kepada Praswad berupa pemotongan gaji sebesar 10 persen selama enam bulan. Adapun Prayoga mendapat sanksi pelanggaran ringan berupa teguran I selama tiga bulan.
Praswad tak terima dengan hukuman ini. Menurut dia, ucapannya dipenggal majelis hakim etik. “Tidak dimasukkan konteksnya,” katanya. “Kalimat jadi tidak utuh.” Menurut dia, mereka melontarkan kalimat tersebut karena Yogasmara kerap menyampaikan keterangan yang tak masuk akal.
Praswad dan Prayoga mengucapkan kalimat seperti yang dikutip Dewan Pengawas itu saat menggeledah rumah Yogasmara di Kota Bekasi, Jawa Barat, pada 12 Januari lalu. Penggeledahan ini terkait dengan operasi tangkap tangan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara beserta anak buahnya, Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, dan beberapa pengusaha. Saat ditangkap, Juliari diduga sedang menerima suap senilai Rp 32,4 miliar dari proyek pengadaan dan distribusi paket bantuan sosial Kementerian Sosial, tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembacaan surat amar putusan pelanggaran kode etik oleh majelis hakim Dewan Pengawas KPK secara daring, di gedung KPK, Jakarta, 12 Juli 2021./TEMPO/Imam Sukamto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai hukuman Praswad dan Prayoga ini lebih berat ketimbang sanksi Dewan Pengawas kepada Ketua KPK Firli Bahuri. Dewan Pengawas mengusut kasus kode etik serupa atas dugaan pelanggaran etik Firli saat menyewa helikopter pada September 2020. Dewan Pengawas hanya menjatuhkan sanksi tertulis kepada Firli. “Selama ini Dewan Pengawas dalam menegakkan etik di KPK tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” ujar Kurnia.
Kurnia juga menukil laporan dugaan pelanggaran etik Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang tak jelas ujungnya. Lili diduga memakai posisinya agar Wali Kota nonaktif Tanjungbalai, Sumatera Utara, M. Syahrial, menyelesaikan perihal kepegawaian adik iparnya yang bekerja di sana. Kini KPK tengah memeriksa Syahrial karena diduga terlibat perkara jual-beli jabatan.
ICW juga mencatat Lili diduga membocorkan penyelidikan perkara itu kepada Syahrial. Di berbagai kesempatan, Lili membantah tudingan ini. “Saya tidak pernah berkomunikasi dengannya terkait dengan perkara,” ucap Lili.
ICW kadung patah arang atas sejumlah kontroversi terkait dengan putusan dan penilaian Dewan Pengawas KPK. Apalagi, kata Kurnia, Dewan Pengawas lebih memihak pimpinan KPK ketimbang para penyidik yang berjibaku mengusut kasus korupsi. “Mereka kini seolah menjadi advokat pimpinan KPK, bukan pengawas,” tuturnya.
•••
MELAMPIRKAN rekaman dan sebundel dokumen, Agustri Yogasmara melaporkan penyidik kasus korupsi paket bantuan sosial Covid-19, Mochamad Praswad Nugraha dan Muhammad Nor Prayoga, ke pimpinan KPK, 19 Februari lalu. Ia juga mengirim aduan yang sama ke Dewan Pengawas KPK. “Surat aduan itu baru diterima di Sekretariat Dewas pada 22 Februari,” ujar anggota Dewan Pengawas, Albertina Ho, pada Jumat, 23 Juli lalu.
Tiga bulan berselang, tim pemeriksa Dewan Pengawas mengklarifikasi laporan itu. Mereka meminta keterangan Yogasmara, Praswad, Prayoga, dan saksi lain. Dalam laporan itu, Yogasmara mengaku tertekan dengan pernyataan Praswad dan Prayoga ketika menggeledah rumahnya.
Selama dalam persidangan Majelis Etik, Praswad dan Prayoga beralasan melontarkan kalimat tersebut sebagai upaya menggali informasi dari Yogasmara ihwal jatah paket bantuan sosial Covid-19 di Kementerian Sosial. “Dia kerap memberikan keterangan berbelit,” tutur Praswad.
Kasus ini melibatkan banyak tokoh partai politik. Dalam pemeriksaan, Yogasmara dipanggil dengan nama keduanya, Yogasmara alias Yogas, 35 tahun. Ia diduga menjadi perantara suap vendor penyedia paket bantuan sosial kepada bekas Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat, Ihsan Yunus. Ihsan dan Juliari berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Ada pula Ketua Komisi Hukum DPR yang juga dari PDI Perjuangan, Herman Hery. Ia diduga turut menggarap proyek tersebut. Herman dan Ihsan kerap membantah terlibat dalam perkara korupsi ini.
Dalam pelbagai kesaksian, Ihsan diduga mendapat jatah 400 ribu paket per termin atas bantuan Juliari. Ia mengalihkan jatah itu ke vendor penyedia dan penyalur paket bantuan sosial. Selama 2020, Kementerian Sosial menyalurkan paket bantuan sosial dalam 12 termin. Ihsan, melalui Yogas, diduga meminta komisi sekitar Rp 9.000-12.500 per paket kepada para vendor. Panjangnya proses dan tahap proyek ini membuat penyelidikan di KPK berjalan alot.
Kepada Praswad dan Prayoga, Yogas mengklaim tak paham tentang proyek paket bantuan sosial. Ia bahkan mengaku menerima proyek paket bansos saat lewat di depan kantor Kementerian Sosial. Ia bersumpah tak mengambil serupiah pun uang dari proyek itu. Sementara itu, para saksi lain memberikan keterangan berbeda kepada penyidik KPK.
Agustri Yogasmara, seusai memenuhi panggilan penyidik untuk menjalani pemeriksaan, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 8 Februari 2021./TEMPO/Imam Sukamto
Salah satu pengusaha yang juga terpidana kasus ini, Harry van Sidabukke, mengatakan pernah bertemu Yogas di ruang kerja Pejabat Pembuat Komitmen Kementerian Sosial Matheus Joko Santoso, sekitar April 2020. Ia mengaku menyerahkan sejumlah uang tunai kepada Yogas dalam berbagai kesempatan pada 2020.
Jumlahnya mencapai Rp 7 miliar. Dalam perkara ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Harry 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider kurungan 4 bulan kurungan. “Fee untuk Yogas Rp 9.000 per paket,” ujar Harry saat bersaksi di sidang Juliari, 24 Mei lalu.|
Di persidangan yang sama, Yogas sempat menarik laporannya soal intimidasi Praswad dan Prayoga secara lisan pada 2 Juni lalu. Kala itu, Yogas tersudut dengan sejumlah pertanyaan yang muncul di persidangan. Keterangannya dianggap plin-plan. Majelis hakim bahkan menegaskan akan meminta penegak hukum memproses Yogasa bila berbohong.
Kepada Dewan Pengawas, Praswad dan Prayoga mengatakan Agustri Yogasmara juga kerap menyampaikan keterangan secara berbelit-belit. Itu sebabnya, keduanya melontarkan kalimat yang dipersoalkan Dewan Pengawas tersebut sebagai bagian dari teknik penyidikan. “Banyak saksi lain yang menyatakan perbuatan Yogas, tapi dia selalu berkelit,” ujar Praswad.
•••
SEJAK awal, sidang etik Mochamad Praswad Nugraha dan Muhammad Nor Prayoga sarat kejanggalan. Meski Agustri Yogasmara sudah mencabut laporan itu saat di persidangan, Dewan Pengawas tetap memprosesnya.
Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara ke rumah Yogasmara di Kota Bekasi, Jawa Barat. Namun, hingga Sabtu, 24 Juli lalu, ia tak merespons permintaan konfirmasi tersebut.
Yogasmara pernah mengatakan belum pernah mencabut laporan. Ia justru mengatakan perlakuan Dewan Pengawas sangat baik kepadanya. “Dewan Pengawas KPK sangat obyektif,” ucap Yogasmara seusai menjalani pemeriksaan di KPK, 10 Juni lalu.
Sidang etik itu jalan terus kendati para penyidik meminta Dewan Pengawas menundanya agar tak mempengaruhi sidang peradilan korupsi bantuan sosial Covid-19. Seorang penegak hukum memberikan informasi bahwa tiga direktur di KPK menemui anggota Dewan Pengawas KPK untuk keperluan itu.
Salah satunya Direktur Penyidikan Brigadir Jenderal Setyo Budiyanto. Namun Dewan Pengawas KPK tak mempedulikan permintaan tersebut.
Kepada Dewan Pengawas, para direktur KPK menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Praswad dan Prayoga merupakan bagian dari teknik penyidikan ketika mengorek keterangan saksi kasus korupsi. “Silakan tanya ke juru bicara,” tutur Setyo Budiyanto ketika dimintai konfirmasi tentang permintaannya. Juru bicara Deputi Penindakan KPK, Ali Fikri, tak kunjung merespons pertanyaan Tempo hingga Sabtu, 24 Juli lalu.
Apa yang dikhawatirkan para penyidik KPK mendekati kenyataan. Pengacara Juliari Batubara, Maqdir Ismail, akan membawa persoalan vonis Dewan Pengawas terhadap dua penyidik tersebut ke pengadilan. Menurut dia, vonis etik itu menunjukkan penetapan tersangka kepada kliennya sebagai kesalahan penyidikan. “Apa pun yang tidak benar dalam proses perkara ini, tentu kami akan gunakan untuk melakukan pembelaan,” katanya.
Mantan Kepala Satuan Tugas 19 yang pernah memimpin penyidikan perkara bantuan sosial, Andre Dedy Nainggolan, juga pasang badan untuk Praswad dan Prayoga. Menurut dia, Yogasmara tidak kooperatif saat memberikan keterangan. Timnya bahkan sempat mengusulkan Yogasmara menjadi tersangka.
Rencana ini gagal karena kewenangan Andre dicopot setelah ia dinyatakan tak lulus tes wawasan kebangsaan, sebagai syarat melanjutkan tugasnya di KPK. “Saat itu diberi waktu dua pekan. Namun saya tidak sempat menanyakan perkembangannya karena kemudian kami dinyatakan tidak lolos tes kebangsaan,” katanya.
Anggota Dewan Pengawas sekaligus anggota Majelis Etik, Albertina Ho, mengklaim tak pernah ditemui tiga direktur soal laporan Yogasmara. “Dalam melaksanakan tugas Dewan Pengawas bersifat independen sehingga tidak bisa diintervensi oleh pihak mana pun,” ujar Albertina.
Ia pun menyatakan lembaganya tak pernah menerima surat pencabutan laporan dari Yogasmara. Menurut dia, keputusan cukup atau kurang bukti suatu perkara etik dilanjutkan ke sidang ditentukan oleh Dewan Pengawas dalam rapat pemeriksaan pendahuluan berdasarkan laporan kerja yang disusun sebuah tim. “Meskipun tim pemeriksa menyatakan tidak cukup bukti, tapi kalau dalam pemeriksaan pendahuluan Dewan Pengawas menyatakan cukup bukti, kasusnya dilanjutkan ke sidang etik,” ucapnya.
Dalam sidang Majelis Etik itu, menurut seorang penegak hukum, Albertina mencecar Praswad dan Prayoga dengan menanyakan maksud ucapan “gila”, “lu akan gua kejar sampai langit,” dan lainnya kepada Praswad dan Prayoga. Menurut Albertina, cara itu merupakan bagian dari teknik persidangan oleh anggota Dewan Pengawas KPK. “Kami tanyakan dalam sidang karena itu masuk dalam materi pemeriksaan,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo