Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di banyak masyarakat, anak laki-laki diwajibkan untuk kuat, berani, heteroseksual, dominan, dan seterusnya.
Toxic masculinity diwakili oleh karakter-karakter, seperti kekerasan, dominasi, ketidakmampuan emosional, hak seksual, dan permusuhan terhadap feminitas.
Konsep ini baru mulai dibahas secara akademis pada 2015.
Sulit untuk menghindari istilah toxic masculinity akhir-akhir ini. Istilah ini dikaitkan dengan kejahatan perang tentara Australia di Afganistan; rendahnya kredibilitas pemerintahan mantan Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, terhadap perempuan menjelang pemilihan umum tahun ini; dan lebih jauh lagi, kebangkitan mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump; serta kerusuhan di gedung parlemen Amerika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini secara teratur diterapkan pada karakter budaya pop yang beragam, seperti kutu buku dinosaurus yang hipersensitif, Ross Gellar dari Friends, pezina dan pencandu alkohol Don Draper di Mad Men, serta Nate yang kejam dan tertindas dalam Euphoria, yang secara teratur mengatakan kepada pacarnya, “Jika ada orang yang mencoba melukaimu, saya akan membunuh mereka."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toxic masculinity merupakan istilah yang belum dikenal pada 1990-an dan awal 2000-an. Namun, sekitar 2015, istilah ini mulai digunakan dalam diskusi tentang laki-laki dan gender.
Jadi, apa definisi toxic masculinity?
Maskulinitas merujuk pada peran, perilaku, dan atribut yang dianggap sesuai untuk anak laki-laki dan laki-laki dewasa dalam suatu masyarakat. Singkatnya, maskulinitas mengacu pada ekspektasi masyarakat terhadap laki-laki.
Di banyak masyarakat, anak laki-laki dan laki-laki dewasa diharapkan menjadi kuat, aktif, agresif, tangguh, berani, heteroseksual, tidak ekspresif secara emosional, serta dominan. Hal ini dipaksakan oleh sosialisasi, media, teman sebaya, dan sejumlah pengaruh lainnya. Selain itu, hal ini terlihat dalam perilaku banyak anak laki-laki dan laki-laki dewasa.
Istilah toxic masculinity menunjuk pada versi maskulinitas tertentu yang tidak sehat bagi laki-laki dewasa dan anak laki-laki yang menyesuaikan diri dengannya serta berbahaya bagi orang-orang di sekitar mereka.
Frasa ini menekankan pada aspek-aspek terburuk dari atribut stereotipe maskulin. Toxic masculinity diwakili oleh kualitas-kualitas, seperti kekerasan, dominasi, ketidakmampuan emosional, hak seksual, dan permusuhan terhadap feminitas.
Versi maskulinitas ini dianggap "beracun” karena dua alasan.
Pertama, hal ini buruk bagi perempuan. Hal tersebut membentuk perilaku seksis dan patriarkis, termasuk perlakuan kasar atau kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, toxic masculinity berkontribusi pada ketidaksetaraan gender yang merugikan perempuan dan mengistimewakan laki-laki.
Kedua, toxic masculinity berdampak buruk bagi laki-laki dewasa dan anak laki-laki itu sendiri. Norma-norma stereotipe yang sempit membatasi kesehatan fisik dan emosional laki-laki serta hubungan mereka dengan perempuan, laki-laki lain, dan anak-anak.
Ilustrasi toxic masculinity. Pexels
Asal-usul Istilah Toxic Masculinity
Istilah ini pertama kali muncul dalam gerakan pria mitopoetik zaman baru pada 1980-an.
Gerakan ini berfokus pada penyembuhan pria, menggunakan lokakarya khusus pria, retret di alam liar, serta ritus peralihan untuk menyelamatkan apa yang dianggap sebagai kualitas dan arketipe dasar maskulin (raja, pejuang, orang liar, dan sebagainya) dari apa yang disebut sebagai toxic masculinity.
Pada 1990-an dan awal 2000-an, istilah ini menyebar ke kalangan swadaya masyarakat lainnya serta dalam karya akademis (misalnya tentang kesehatan mental pria). Beberapa kaum konservatif Amerika Serikat mulai menerapkan istilah ini pada pria berpenghasilan rendah, kurang pekerjaan, dan terpinggirkan, juga untuk memberikan solusi, seperti memulihkan keluarga yang didominasi pria dan nilai-nilai keluarga.
Toxic masculinity hampir tidak ada dalam tulisan akademis, termasuk kajian feminis, hingga 2015 atau lebih, selain dalam beberapa teks tentang kesehatan dan kesejahteraan pria.
Namun, ketika istilah ini menyebar dalam budaya populer, para akademikus dan komentator feminis mengadopsi istilah ini, biasanya sebagai singkatan untuk pembicaraan serta tindakan misoginis. Meskipun istilah ini sekarang dikaitkan dengan kritik feminis terhadap norma-norma seksis tentang kejantanan, bukan dari situ istilah ini bermula.
Istilah ini hampir tidak ada dalam kajian tentang laki-laki dan maskulinitas yang berkembang pesat sejak pertengahan 1970-an, meskipun penggunaannya dalam bidang tersebut meningkat selama dekade terakhir. Namun kajian ini telah lama membuat klaim bahwa konstruksi budaya tentang kejantanan itu ada dan berkaitan dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Ilustrasi toxic masculinity. Shutterstock
Manfaat Penggunaan Istilah Maskulinitas Toksik
Jika dipahami dengan baik, istilah toxic masculinity memiliki beberapa manfaat. Istilah ini mengakui bahwa masalahnya adalah masalah sosial, yang menekankan pada bagaimana anak laki-laki dan laki-laki dewasa disosialisasi serta bagaimana kehidupan mereka diatur. Hal ini menjauhkan kita dari perspektif esensialis atau determinis biologis yang menyatakan bahwa perilaku buruk laki-laki tidak dapat dihindari: boys will be boys.
Toxic masculinity menyoroti bentuk maskulinitas tertentu dan seperangkat ekspektasi sosial yang tidak sehat atau berbahaya. Hal ini menunjukkan dengan tepat fakta bahwa (norma-norma maskulin stereotipe) membentuk kesehatan pria dan perlakuan mereka terhadap orang lain.
Istilah ini membantu mempopulerkan kritik feminis terhadap norma-norma gender yang kaku dan ketidaksetaraan. Istilah ini juga lebih mudah diakses ketimbang istilah akademis, seperti hegemonic masculinity. Hal ini memiliki potensi untuk memungkinkan penggunaannya dalam mendidik anak laki-laki dan laki-laki dewasa dengan cara yang mirip “Man Box” (istilah yang menggambarkan seperangkat kualitas maskulin wajib yang kaku yang membatasi laki-laki dewasa dan anak laki-laki) serta alat pengajaran tentang maskulinitas.
Dengan menekankan kerugian yang dialami laki-laki dan perempuan, istilah ini memiliki potensi untuk mendorong lebih sedikit sikap defensif di kalangan laki-laki daripada istilah yang lebih politis, seperti maskulinitas “patriarkis” atau “seksis”.
Ilustrasi toxic masculinity. Shutterstock
Risiko Berbahaya
Toxic masculinity juga memiliki beberapa potensi risiko. Salah satunya terlalu mudah disalahartikan sebagai saran bahwa “semua pria toksik”. Hal ini dapat membuat laki-laki merasa disalahkan dan diserang—hal terakhir yang kita butuhkan jika kita ingin mengajak laki-laki dewasa ataupun anak laki-laki merefleksikan secara kritis tentang maskulinitas dan gender. Pesan persuasif yang ditujukan kepada laki-laki mungkin akan lebih efektif jika menghindari bahasa maskulinitas sepenuhnya.
Baik menggunakan istilah toxic masculinity maupun tidak, setiap kritik terhadap hal-hal buruk yang dilakukan sebagian laki-laki atau norma-norma dominan tentang kejantanan akan memancing reaksi defensif dan permusuhan di antara sebagian laki-laki. Kritik terhadap seksisme dan relasi gender yang tidak setara sering kali memancing reaksi balik dalam bentuk ekspresi yang dapat diprediksi dari sentimen anti-feminis.
Istilah ini juga dapat menarik perhatian pada ketidakberuntungan laki-laki dan mengabaikan hak istimewa laki-laki. Norma-norma gender yang dominan mungkin “toksik” bagi laki-laki, tapi norma-norma tersebut juga memberikan berbagai hak istimewa yang tidak diperoleh (ekspektasi kepemimpinan di tempat kerja, kebebasan dari pekerjaan perawatan yang tidak dibayar, memprioritaskan kebutuhan seksual mereka di atas kebutuhan perempuan) dan menginformasikan beberapa perilaku berbahaya terhadap perempuan.
Toxic masculinity dapat digunakan secara umum dan sederhana. Penelitian selama puluhan tahun telah membuktikan bahwa konstruksi maskulinitas itu beragam dan bersinggungan dengan bentuk-bentuk perbedaan sosial lainnya.
Istilah ini dapat memperkuat asumsi bahwa satu-satunya cara untuk melibatkan laki-laki dalam kemajuan menuju kesetaraan gender adalah dengan mengembangkan maskulinitas yang sehat atau positif.
Ya, kita perlu mendefinisikan ulang norma-norma kejantanan. Namun kita juga perlu mendorong laki-laki untuk tidak terlalu percaya pada identitas dan batasan gender serta berhenti mengawasi kejantanan dan merangkul identitas etis yang tidak terlalu ditentukan oleh gender.
Apa pun bahasa yang kita gunakan, kita membutuhkan cara untuk menyebutkan norma-norma sosial yang berpengaruh dan berkaitan dengan kejantanan, mengkritik sikap dan perilaku berbahaya yang diadopsi oleh beberapa laki-laki, serta mendorong kehidupan yang lebih sehat bagi laki-laki dewasa dan anak laki-laki.
---
Artikel ini ditulis oleh Michael Floor, guru besar sosiologi Queensland University of Technology. Terbit pertama kali di The Conversation.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo