Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRIMO, 65 tahun, mendadak mendengar suara minta tolong dari rumah dinas Wali Kota Santoso di Jalan Sudanco Supriadi Nomor 18, Blitar, Jawa Timur, pada Senin, 12 Desember lalu. Ia bersama anggota jemaah lain baru saja menunaikan salat subuh berjemaah di Masjid Syuhada Haji. Tak ada yang menduga baru saja terjadi perampokan di sana.
Jarak antara masjid dan rumah dinas Wali Kota sekitar 110 meter. Trimo dan anggota jemaah lain mengaku sempat merasa takut. Keberanian mereka muncul setelah ada salah seorang polisi yang ikut salat. Mereka akhirnya bersama-sama bergerak ke arah rumah dinas. “Saya kira orang gila yang lagi teriak-teriak. Tidak langsung ke sana karena takut,” ujar Trimo pada Rabu, 22 Desember lalu.
Trimo mengikuti polisi untuk mengecek rumah dinas Wali Kota. Dia melihat seorang petugas jaga dalam kondisi tangan dan kaki diikat serta mata ditutup lakban. Posisinya berada di luar atau sekitar 100 meter dari pos jaga.
Baca: Ilmu Kebal Desa Bunuh Maling
Dua petugas jaga lain berada di dalam pos. Keduanya juga ditemukan dalam kondisi terikat di lantai kursi. Kedua petugas itu juga ditutup mulut dan matanya menggunakan lakban hitam.
Mereka masuk ke rumah. Trimo ikut memeriksa kamar dan menemukan Santoso beserta istri sudah terikat kaki dan tangannya. “Saya melepas tali itu,” ucapnya.
Dari keterangan para petugas jaga, Trimo akhirnya tahu bahwa rumah dinas Wali Kota baru saja dirampok pada pukul 03.00. Polisi baru berdatangan ke sana sekitar pukul 05.00.
Kepala Kepolisian Resor Blitar Kota Ajun Komisaris Besar Argowiyono mengatakan perampok tak hanya menyekap para korban. Mereka juga mengambil uang serta perhiasan milik istri Santoso. “Selain perampokan ada penyekapan,” ucapnya.
Berdasarkan keterangan petugas jaga, pelaku perampokan diperkirakan berjumlah empat-lima orang. Saat itu rumah dinas berisi Santoso dan istri serta tiga penjaga pos. Mereka diancam dengan senjata tajam. “Para pelaku mengendarai minibus yang berpelat merah,” tutur Argowiyono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Polisi Resor Blitar Kota Ajun Komisaris Besar Argowiyono. Erliana Riady
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perampok mengikat kaki dan tangan Santoso, istri, dan tiga petugas jaga dengan tali pramuka. Mata petugas jaga ditutup menggunakan lakban, sedangkan mulut dan mata Wali Kota beserta istrinya dilakban. Santoso dan istri disekap di kamar.
Keduanya juga diancam dengan senjata tajam agar menunjukkan lokasi penyimpanan barang berharga. “Ada uang cash sekitar Rp 400 juta dan perhiasan istri Pak Wali senilai sekitar Rp 15 juta dibawa pelaku,” ujar Argowiyono.
Uang tersebut disimpan dalam sebuah tas yang terdapat telepon seluler milik Santoso. Tas itu diletakkan di dalam almari di ruang istirahat pribadi Wali Kota. Sayangnya, peristiwa itu tak terekam CCTV atau kamera pengawas.
Para pelaku memerintahkan Santoso menunjukkan lokasi digital video recorder kamera pengawas. Mereka mengambilnya lalu memutus semua kabel yang tersambung dengan CCTV di dalam rumah dinas.
Untuk menyelidiki kasus ini, tim Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Timur ikut turun tangan. Dari hasil olah tempat kejadian perkara, mereka menemukan beberapa barang bukti.
Ciri-ciri pelaku juga telah dikantongi. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur Komisaris Besar Totok Suharianto menjelaskan, anak buahnya menemukan sidik jari dan jejak asam deoksiribonuklea (DNA) yang diduga milik pelaku. “Kami perlu pendalaman untuk mengidentifikasinya dan proses pembuktian secara ilmiah,” ujar Totok.
Polisi tidak menemukan satu pun rekaman CCTV di rumah dinas. Mereka bekerja sama dengan Dinas Komunikasi dan Informatika Blitar untuk menelusuri jejak kawanan perampok tersebut. Totok juga masih mengidentifikasi senjata api yang digunakan oleh para pelaku. “Sementara terkait dengan mobil pelat merah yang diduga digunakan pelaku, kami juga masih mendalami. Mohon waktu,” ucapnya.
Belakangan, telepon seluler milik Santoso ditemukan di tong sampah kamar. “Tim olah TKP menyisir lokasi, sudah kami dapatkan (telepon seluler),” kata Totok. Ia menduga, setelah diambil pelaku, ponsel tersebut dibuang. Namun uang di dalam tas tetap diambil.
Polisi kini menyebar info tentang ciri-ciri para perampok. Seorang saksi melihat salah satu pelaku memakai topi hijau serta berambut cepak dan berbadan tegap. Saksi lain melihat seorang pelaku memakai jaket berkelir krem dengan gambar bendera Indonesia di lengan kanan.
Rekaman CCTV yang menunjukkan mobil yang diduga digunakan oleh pelaku perampokan. Istimewa
Gerakan mereka juga terlihat cepat. Mereka semua menggunakan masker untuk menutupi wajah. Aksi komplotan perampok ini berlangsung singkat. Mereka hanya membutuhkan waktu tidak sampai 15 menit, kemudian keluar menggondol hasil rampokan dan kabur ke arah timur.
Kamera milik Dinas Kominfo Blitar yang dipasang di seberang jalan rumah dinas merekam pergerakan mereka ketika keluar dari lokasi. Ada lima slide potongan rekaman CCTV Dinas Kominfo. Salah satu slide menunjukkan pada pukul 03.04 WIB tampak empat perampok berjalan memasuki halaman rumah dinas dengan santai.
Slide kedua menampilkan ciri-ciri setiap pelaku memakai topi Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), jaket berwarna kuning atau krem dengan gambar bendera merah, dan baju batik. Mereka semua memakai celana berwarna gelap.
Keempat pelaku diperkirakan punya tinggi badan di atas 165 sentimeter. Mereka naik mobil berpelat merah dengan nomor polisi berhuruf depan AG dan huruf belakang AP. Namun, ihwal pelat nomor ini, polisi sudah memastikan palsu. “Nopol-nya palsu. Kami sudah cek ke Kota Kediri. Sedangkan ciri-ciri fisik pelaku kami sandingkan dengan DNA dan sidik jari yang tertinggal di lokasi. Saat ini sedang berproses untuk identifikasi dengan data yang terekam di Dinas Dukcapil (Kependudukan dan Pencatatan Sipil),” tutur Ajun Komisaris Besar Argowiyono.
Santoso menyatakan sempat kaget saat pintu kamarnya digedor-gedor oleh kawanan perampok lantaran ia baru tertidur dua jam. “Saya kira ada gempa. Digedor-gedor pintu, antara sadar dan enggak sadar,” ujar Santoso, yang masih terlihat lemas.
Dia menceritakan bagaimana detik-detik perampok secara beringas masuk ke rumah dinas. Menurut Santoso, saat itu istrinya sedang menunaikan salat tahajud. Biasanya dia menunggu subuh sambil berwirid. Sesaat setelah digedor, tiba-tiba pintu sudah dijebol. “Ada tiga orang kalau tidak salah. Langsung nyergap saya dan istri,” ujar Santoso.
Ia menyayangkan para perampok menggondol uangnya. Menurut Santoso, uang itu seharusnya digunakan untuk membayar utang kampanye pemilihan kepala daerah pada 2020 lalu. Pada pilkada tersebut, Santoso diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Ia mengklaim uang itu hasil menyisihkan honornya selama ini. “Jadi utang saya belum lunas, mau saya cicil. Saya kan mengumpulkan honor kalau membuka kegiatan dan sebagainya, tapi akhirnya keduluan (dirampok),” ucapnya.
ERLIANA RIADY (BLITAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo