Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Umbaran-Umbaran Pers Indonesia

Penyusupan intel polisi Umbaran Wibowo ke redaksi TVRI mencederai prinsip independensi pers. Waspadai Umbaran dalam wujud lain.

25 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA wartawan bukan hanya wartawan, apa yang salah dengan Umbaran Wibowo? Saya tentu sedang membicarakan inspektur satu polisi itu. Petugas intelijen di Kepolisian Daerah Jawa Tengah tersebut menyamar sebagai kontributor TVRI di provinsi yang sama selama 10 tahun. Umbaran bahkan dinyatakan lulus uji kompetensi yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia—status yang belakangan dicabut. Identitasnya terbuka saat ia dilantik sebagai Kepala Kepolisian Sektor Kradenan, Jawa Tengah, 12 Desember lalu.

Kita tahu wartawan tidak pernah benar-benar hanya seorang wartawan. Di rumah, wartawan adalah anak, orang tua, kakak, atau adik. Ia barangkali pengurus ikatan alumnus kampus tempatnya kuliah, anggota klub olahraga, penyuka perkutut atau pengajar les bahasa Inggris. Dengan kata lain, wartawan bukan identitas tunggal dan eksklusif yang melekat pada diri jurnalis.

Identitas nonwartawan tersebut berpotensi memunculkan bias ketika jurnalis meliput dan menyajikan berita. Sebagai penyuka perkutut, wartawan boleh jadi mengusulkan liputan adu merdu suaranya. Ketika media tempat jurnalis bekerja itu memutuskan menerima usul itu, media itu telah “berpihak” kepada vested sang wartawan. Dengan kata lain, liputan itu berpotensi “bias”.

Problem itu bisa diatasi jika media memiliki ruang berita (newsroom) yang baik—egaliter, demokratis, dan terbuka. Seorang pemimpin redaksi dan jurnalis junior memiliki hak yang sama untuk mengusulkan berita. Keputusan menayangkan atau tidak menayangkan sebuah berita ditentukan oleh nilai berita (news value) yang dianut media itu, bukan oleh hierarki organisasi. Ketika berita itu diproduksi, melalui proses penyuntingan yang berlapis, karya si jurnalis diawasi dengan ketat agar tidak melenceng dari buhul yang diputuskan sidang redaksi.

Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tak merinci ihwal rangkap profesi. Undang-undang itu hanya menyebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin dan pers harus bekerja secara profesional. Kode Etik Jurnalistik merincinya dalam tiga pasal berbeda: wartawan Indonesia harus independen (pasal 1), menempuh cara-cara profesional (pasal 2), dan tidak menyalahgunakan profesi (pasal 6).

Media massa dunia memiliki aturan yang berbeda-beda perihal aktivitas yang berpotensi menggerus independensi wartawan. Sejumlah media Inggris, seingat saya, melarang wartawannya berinvestasi di bursa saham agar tidak mempromosikan perusahaan tertentu dalam pemberitaan. Kebanyakan media di Indonesia mendorong wartawannya menjadi dosen tapi melarang wartawannya menjadi anggota partai politik. Dengan kata lain, manfaat wartawan yang mengajar dianggap lebih besar ketimbang mudaratnya. Sebaliknya, wartawan cum politikus partai dianggap membahayakan kemandirian media.

Dalam konteks independensi pers, penyamaran Umbaran jelas lancung. Sebagai intel, dasar ia bekerja bukanlah memenuhi hak publik untuk tahu seperti diamanatkan UU Pers. Seperti diakuinya sendiri, penyamaran itu ia lakukan atas perintah atasannya di unit intelijen kepolisian. Dengan demikian, selama 10 tahun, pemirsa TVRI Jawa Tengah telah mengkonsumsi berita dari seorang wartawan yang tidak independen. Keadaan makin runyam jika TVRI tak memiliki sistem yang bisa mengeliminasi bias-bias Umbaran. Pernyataan apologetik pemimpin TVRI bahwa Umbaran hanya kontributor, bukan karyawan tetap, dan menjalankan tugas sesuai dengan statusnya, menunjukkan manajemen televisi pemerintah itu telah kehilangan fokus.

Dalam perspektif kemerdekaan pers, ini peristiwa memalukan. Pers dituding tidak bisa menjaga independensi yang diamanatkan undang-undang. Kini orang bertanya: adakah Umbaran-Umbaran lain di ruang redaksi media massa Indonesia? Saya tak bisa menjawab. Tapi jika Umbaran Wibowo kita anggap sebagai metafora, saya bisa katakan begini: kemandirian pers Indonesia tengah diuji oleh penyusupan pelbagai Umbaran—hilangnya daya kritis, kebijakan redaksi yang membebek kekuasaan, dan ketidakpercayaan bahwa independensi adalah modal dasar bagi keberlanjutan media massa kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus