Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAIT pesan masuk ke nomor WhatsApp milik Yusuf pada akhir Juli 2024. Pesan kepada Ketua Rukun Tetangga 06 Kelurahan Krukut, Depok, Jawa Barat, itu berisi berita penjualan bayi antarprovinsi di Jawa-Bali yang diungkap Kepolisian Resor Metropolitan Depok pada Jumat dinihari, 26 Juli 2024. Mulanya Yusuf mengira itu artikel biasa. Ternyata rumah penampungan bayi yang digerebek polisi berada di lingkungan rukun tetangganya. “Pengurus RT di sini kecolongan juga,” katanya kepada Tempo, Jumat, 13 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah yang menjadi penampungan itu berupa kontrakan di Jalan Haji Suaib. Bayi yang diduga hendak dijual ke Bali ditampung di sana. Namun, saat penggerebekan, polisi tak menemukan seorang pun bayi di dalam rumah dua lantai berukuran 3 x 9 meter itu. Hanya ada mobil yang diparkir di dekat rumah tersebut. Di mobil itu, baru polisi menemukan yang dicari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Depok Komisaris Suardi Jumaing mengatakan dua bayi berusia satu hari ditemukan berada di dalam mobil. Setelah ditelusuri, mobil itu diduga disewa anggota sindikat penjualan bayi, yakni Rida Soniawati, 24 tahun, dan Apsa Nabillaauliyah Putri, 22 tahun. “Mobil itu sedang disiapkan untuk berangkat,” ujar Suardi.
Dalam kasus ini, Polres Metro Depok sudah menetapkan delapan tersangka. Dua di antaranya adalah Rida dan Apsa. Mereka dituduh sebagai bagian jaringan sindikat perdagangan bayi antarprovinsi di Pulau Jawa dan Bali. Keduanya berperan memburu bayi di wilayah Pulau Jawa untuk dijual kepada orang bernama I Made Aryadana alias Pakde, 41 tahun. Made berdomisili di Kabupaten Tabanan, Bali. Made diduga bertanggung jawab atas pendanaan, dari biaya operasional hingga pembelian bayi. Warga Bali ini juga yang mencari calon pengadopsi. Ia sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Modus sindikat Jawa-Bali ini adalah “mempromosikan” penjualan bayi dengan beriklan di media sosial. Komisaris Suardi Jumaing menjelaskan, para pelaku tergabung di grup Facebook bernama “Adopsi Bayi Balita Jawa”. Isi iklannya kira-kira berikut ini: “Bagi yang berminat menjual bayi dapat menghubungi nomor telepon Rida, Apsa, ataupun Made”. Menurut Suardi, banyak pengunjung iklan yang memberikan informasi seputar jual-beli bayi dalam grup itu. “Terutama perempuan hamil yang butuh biaya,” ucap Suardi.
Dari iklan itulah para pemilik bayi menghubungi sindikat. Di antaranya Suryaningsih, 24 tahun, dan Ruddy Kelanasyah, 30 tahun. Pasangan suami-istri ini lalu menghubungi Apsa dan bersepakat menjual anak kedua Suryaningsih. Proses persalinan hingga penyerahan bayi dibantu teman Suryaningsih yang bernama Dahlia, 23 tahun, yang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Suami Suryaningsih, Ruddy, ogah mengurus bayi perempuan tersebut. Sang orok akhirnya lahir di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 25 Juli 2024. “Anak ini bukan hasil pernikahan mereka,” tuturnya. Kepada polisi, mereka mengaku sebelumnya mempunyai seorang anak yang juga ditelantarkan dan kini dirawat oleh keluarga dekat.
Pada hari yang sama, seorang bayi laki-laki lahir di Kota Cilegon, Banten, yang juga menjadi korban perdagangan bayi jaringan I Made Aryadana. Bayi itu anak pasangan kekasih Dayanti Apriyani, 27 tahun, dan Muhammad Diksi Hendika, 32 tahun. Sejoli ini diduga menjual putra mereka karena belum menikah. Mereka merasa menemukan “solusi” saat berinteraksi dengan Rida Soniawati di dunia maya. Transaksi jual-beli pun terjadi sesaat setelah bayi itu lahir.
Namun menjual bayi kepada jaringan I Made Aryadana tak bisa sembarangan. Kepala Polres Metro Depok Komisaris Besar Arya Perdana menyebutkan ada syarat yang harus diikuti jika mau menjual bayi kepada Made dan kawan-kawannya. “Salah satunya bayi harus dibawa lengkap dengan ari-arinya,” ucapnya. Itu sebabnya ari-ari bayi yang ditemukan polisi saat penggerebekan di Krukut masih menempel.
Pasangan Suryaningsih-Ruddy Kelanasyah dan Dayanti-Diksi juga ditetapkan sebagai tersangka. Delapan pelaku dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Mereka terancam pidana maksimal 15 tahun bui dan denda paling banyak Rp 600 juta. Selain itu, mereka dikenai Pasal 76 huruf f juncto Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Sementara itu, I Made Aryadana ditengarai adalah otak sindikat TPPO bayi Jawa-Bali tersebut. Ia berperan menyiapkan uang pembelian bayi sebesar Rp 15 juta. Made juga mendanai biaya persalinan dan rumah sakit yang nilainya berkisar Rp 10 juta. Adapun bayi-bayi itu dijual dengan harga rata-rata Rp 45 juta.
Saat diperiksa polisi, Made mengaku target pembeli bayi adalah warga lokal Bali, khususnya orang tua yang tak punya keturunan anak laki-laki. “Pengadopsinya banyak dari warga Bali yang tidak punya keturunan anak laki-laki,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Depok Komisaris Suardi Jumaing.
Kondisi rumah kontrakan yang dijadikan tempat menampung bayi untuk dijual ke Bali sudah tidak berpenghuni di Jalan Haji Suaib RT 06/02 Kelurahan Krukut, Kecamatan Limo, Depok, Jawa Barat, 13 September 2024. Tempo/Ricky Juliansyah
Kasus ini turut menjadi perhatian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ketua KPAI Ai Maryati langsung menggelar pertemuan daring dengan Kepolisian Daerah Bali setelah mendengar kabar sindikat Made Aryana sudah menjual lima bayi ke Bali sepanjang tahun ini. Dua dari tiga perdagangan bayi itu yang digagalkan Polres Metro Depok.
KPAI mencatat terdapat puluhan kasus perdagangan anak dengan modus adopsi ilegal sepanjang 2021-2023. Total ada 71 kasus pada 2021. Angka ini berkurang menjadi 60 kasus satu tahun berikutnya dan menyentuh 59 kasus pada 2023. “Kedok TPPO berbasis yayasan seperti ini harus ditertibkan,” tutur Ai Maryati.
Salah satu yayasan ilegal itu adalah milik tersangka Made. Ia mendirikan Yayasan Luh Luwih Bali di Kabupaten Tabanan, Bali, yang juga digunakan sebagai tempat penampungan wanita hamil. Perdagangan bayi diduga ia rintis pada 2023. Saat diperiksa polisi, Made beralasan menjual bayi karena tak tega terhadap bayi yang ditelantarkan. Ia berprinsip, daripada bayi itu dibuang, lebih baik dicarikan calon orang tua baru. “Alasannya itu, untuk kemanusiaan,” ucap Komisaris Suardi.
Polres Metro Depok menggerebek yayasan berbentuk rumah itu pada 28 Juli 2024 atau dua hari selepas penangkapan dua tersangka di Krukut. Polisi mendapati 11 perempuan yang tengah hamil tua tinggal di sana. Di yayasan itu juga Made diringkus dan langsung dibawa ke Polres Metro Depok sehari kemudian. Sebagai pemilik yayasan, Made-lah yang menyediakan kebutuhan sehari-hari untuk mereka.
Kesebelas perempuan muda itu dibawa oleh Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (P3A) Provinsi Bali. Kepala Dinas Sosial P3A Bali Luh Ayu Aryani menerangkan, mereka kini ditempatkan di salah satu yayasan, tapi nama mereka tak disebutkan. “Kondisinya sehat dan kehamilannya terjaga,” katanya.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali Komisaris Besar Jansen Avitus Panjaitan enggan mengomentari perkara TPPO bayi lintas provinsi ini. Ia beralasan polisi tengah mengumpulkan alat bukti dan mencari keberadaan bayi yang kadung dijual Made dkk di Bali. “Kami akan menginformasikan apabila datanya sudah komplet,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ricky Juliansyah dari Depok dan Muhamad Kadafi dari Bali berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ari-ari Bayi Hingga ke Bali"