Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mantan Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan, menjalani sidang perdana perkara tambang nikel.
Proses pemberkasan berlangsung kilat.
Ia pernah menuduh Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej menerima suap.
WAJAH Helmut Hermawan terlihat meringis saat mengikuti sidang perdana secara virtual di Pengadilan Negeri Makassar pada Senin, 8 Mei lalu. Didampingi tim penasihat hukum, pengusaha tambang nikel itu mengikuti sidang perdana dari Rumah Tahanan Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Adapun empat kuasa hukum lain berada di pengadilan. “Dia sedang sakit,” kata kuasa hukum Helmut, Tadjuddin Rachman, pada Rabu, 10 Mei lalu.
Tadjuddin mengatakan kliennya mengidap tekanan darah tinggi dan saraf bagian punggung terjepit. Akibatnya, pria 46 tahun itu tak bisa duduk terlalu lama. Namun sidang tetap berjalan dari pukul 13.30 hingga 14.00 Wita. Agenda persidangan pada hari itu adalah pembacaan dakwaan oleh tiga jaksa penuntut umum.
Helmut dituduh dengan sengaja menyampaikan laporan tidak benar atau keterangan palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf e, Pasal 105 ayat 4, Pasal 110, atau Pasal 111 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada saat itu ia menjabat Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri, perusahaan tambang nikel. Jabatan itu diemban sejak 17 September 2021.
Helmut kehilangan jabatannya setelah bersengketa dengan pengusaha tambang Zainal Abidinsyah Siregar pada akhir 2022. Zainal berkongsi dengan pengusaha batu bara Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. Tapi pengacara Haji Isam, Junaidi, membantah jika kliennya disebut cawe-cawe dalam perebutan tambang PT Citra Lampia. “Justru saya yang punya saham di perusahaan itu,” ujarnya.
Sengketa tambang itu juga menyeret Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharief Hiariej atau biasa disapa Eddy Hiariej dan politikus Partai Golkar, Idrus Marham. Helmut mengklaim menyerahkan uang Rp 7 miliar untuk “membantu” menyelesaikan sengketa kepemilikan PT Citra Lampia Mandiri. Eddy membantah tudingan itu. “Satu sen pun tidak ada,” ucapnya.
Baca: Pak Wamen di Pusaran Tambang
PT Citra Lampia Mandiri merupakan perusahaan yang mendapat izin usaha pertambangan operasi produksi nikel di Kabupaten Luwu Timur sejak 7 September 2009. Luas konsesinya mencapai 2.660 hektare. Kini PT Citra Lampia Mandiri sudah dikuasai Zainal Abidinsyah Siregar dan Junaidi.
Helmut terjerat pidana tambang saat masih menguasai PT Citra Lampia Mandiri. Pada 2022, PT Citra Lampia mengajukan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mendapat izin produksi dan menjual nikel sebanyak 1,44 juta wet metric tonne (WMT).
Namun realisasi produksi dan penjualan ternyata sedikit lebih besar dari kuota yang diperoleh. Selama triwulan I dan II 2022, PT Citra Lampia melaporkan realisasi produksi sebanyak 1.141.127 WMT.
Jaksa penuntut umum mempersoalkan perbedaan realisasi penjualan data pelaporan pengapalan muatan biji nikel yang dijual oleh PT Citra Lampia kepada pembeli. Data tersebut diduga berbeda dengan realisasi penjualan yang dilaporkan Helmut pada laporan triwulan I dan II 2022.
Dua kapal tongkang yang sedang beroperasi di Pelabuhan Khusus PT Citra Lampia Mandiri di Luwu Timur/Antara/Ahmad
Selisih pelaporannya sekitar 41.692 WMT. Dalam laporan realisasi penjualan dari Juli sampai September 2022, lalu Oktober 2022 yang dilaporkan dalam laporan triwulan III 2022, juga terdapat selisih 69.443 WMT.
Namun dakwaan itu berbeda dengan sikap jaksa beberapa hari sebelum sidang dimulai. Laporan hasil pra-penuntutan pada Selasa, 11 April lalu, menyebutkan jaksa sebenarnya memberikan banyak catatan kepada penyidik Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan yang menangani kasus Helmut. Dalam tahap ini, berkas perkara Helmut masih belum lengkap.
Misalnya, dari hasil penelitian terhadap berkas perkara, jaksa menganggap masih terdapat unsur pasal sangkaan yang belum terpenuhi. Salah satunya pemegang izin usaha pertambangan dan IUP khusus, dalam hal ini Helmut, dituduh dengan sengaja menyampaikan informasi palsu. Itu sebabnya jaksa meminta penyidik melengkapi berkas perkara untuk membuktikan sangkaan kesengajaan.
Untuk membuktikan unsur kesengajaan, jaksa beranggapan berkas perkara harus mencantumkan alat bukti cukup. Bukti yang mengindikasikan Helmut selaku Direktur Utama PT Citra Lampia mengetahui dan menyadari adanya data-data produksi yang secara faktual angkanya sama dengan yang tercantum dalam dokumen berita acara validasi akhir bulan dianggap masih kurang. Termasuk data produksi dan penjualan ore nikel kepada pembeli yang disampaikan Helmut. Bukti tersebut penting untuk menguatkan tuduhan Helmut tidak melaporkan data yang sebenarnya.
Jaksa pun mempersoalkan perbedaan data laporan triwulan I dan II 2022 serta realisasi yang ditemukan penyidik. Sebab, berkas perkara belum memuat uraian yang lengkap dan jelas mengenai bagaimana sebenarnya tahapan atau prosedur baku pelaporan data produksi ore nikel yang berlaku di PT Citra Lampia, dari lokasi penambangan hingga ke jajaran direksi.
Sejumlah pihak yang mengetahui proses perkara itu mengatakan kala itu proses pemberkasan perkara Helmut berstatus belum lengkap (P-19). Tapi, sepekan berselang, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan yang menangani pemberkasan Helmut langsung menyatakan kasus tersebut sudah lengkap dan siap disidangkan (P-21). Artinya, jaksa diduga menyatakan berkas perkara Helmut lengkap meski polisi belum memenuhi sejumlah tambahan bukti yang disarankan.
Tadjuddin Rachman mengatakan Helmut dituntut karena dianggap membuat laporan produksi nikel yang tidak benar. Padahal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan perkara itu masuk ke ranah administrasi negara, bukan hukum pidana.
Menurut dia, hukum pidana berlaku kalau seseorang tidak menyelesaikan administrasinya. Sedangkan Helmut dalam semua penjualan nikel yang dilakukan telah membayar penerimaan negara bukan pajak. “Sudah selesai, tak ada lagi utangnya ke negara,” tuturnya.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Leonard Ebenezer Simanjuntak enggan mengomentari proses pemberkasan Helmut yang berlangsung kilat. Saat dimintai konfirmasi, ia meminta Tempo menghubungi Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Soetarmi. “Tolong ditanyakan ke Kasi Penkum,” katanya pada Kamis, 11 Mei lalu.
Adapun Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulawesi Selatan Komisaris Besar Komang Suartana tidak merespons panggilan dan pesan pendek permintaan wawancara soal pemberkasan perkara Helmut. Direktur Kriminal Khusus Komisaris Besar Helmi Kwarta Putra juga tak menjawab pertanyaan Tempo.
Meski demikian, persidangan Helmut tetap akan berlanjut. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Soetarmi mengatakan persidangan Helmut digelar lantaran berkasnya sudah lengkap. Dia menjelaskan, kekurangan data adalah hal yang wajar dan sudah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. “Ini hanya administrasi dan undang-undang membolehkan itu,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Didit Hariyadi di Makassar berkontribusi dalam penulisan artikel ini.