Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tujuh tahanan narkotik pimpinan Murtala Ilyas kabur dari penjara Salemba melalui gorong-gorong pada 12 November 2024.
Kekuatan dan sistem keamanan bangunan penjara serta manajemen keamanan petugas makin lemah.
Jumlah penghuni yang melebihi kapasitas bangunan penjara juga menjadi problem.
KABURNYA tujuh narapidana dan tahanan dari rumah tahanan Salemba, Jakarta Pusat, menunjukkan sistem keamanan penjara Indonesia sangat lemah. Sepanjang 2024 saja, ada tiga kejadian narapidana dan tahanan kabur. Pada 7 Januari 2024, sebanyak 53 narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Sorong, Papua Barat Daya, melarikan diri setelah beribadah. Mereka menyerang petugas memakai petasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 19 Februari 2024, sebanyak 16 tahanan kabur dari Kepolisian Sektor Tanah Abang, Jakarta, dengan membobol terali besi kamar mandi sekitar pukul 02.40 WIB. Kejadian di Rutan Salemba menjadi peristiwa ketiga pada tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Center for Detention Studies M. Ali Aranoval mengatakan berulangnya tahanan atau narapidana kabur bisa dilihat dari tiga faktor: kekuatan bangunan penjara, sistem keamanan bangunan penjara, serta manajemen keamanan petugas. “Hampir semua penjara di Indonesia, sekitar 80 persen, sistem pengamanannya level 3 atau low,” katanya kepada Tempo saat dimintai konfirmasi, Ahad, 17 November 2024.
Ali menyatakan, dari aspek sistem keamanan bangunan, lapisan pengamanan penjara di Indonesia mudah dibobol. Sebab, rata-rata penjara hanya berbentuk sel atau kamar-kamar, lalu dilapisi inner fence atau pagar dalam, kemudian perimeter wall atau dinding luar bangunan penjara. “Itu yang menyebabkan penjara di Indonesia sangat mudah dibobol,” ujarnya.
Idealnya, menurut Ali, bangunan penjara memiliki minimal empat lapis pengamanan dengan dua sistem lapisan di setiap layer pengamanan. Jadi, sebelum sel dilapisi inner fence, semestinya ada steril area, inner wall, perimeter fence, steril area lagi, lalu perimeter wall. “Ini yang umum dipakai di dunia, level 2 atau mendekati level maksimum,” katanya.
Tujuh tahanan kabur dari rumah tahanan Salemba pada Selasa dinihari, 12 November 2024. Mereka diduga kabur saat pergantian jadwal sipir dengan membobol terali jendela kamar mandi. Setelah bisa meloncat dari jendela, para penghuni Blok S kamar 16 itu menyelinap lewat gorong-gorong. “Setelah itu, mereka melompat ke luar jendela kamar mandi menuju gang luar, lalu masuk ke gorong-gorong dan menjebol teralinya menuju arah timur rutan,” kata Kepala Rutan Salemba Agung Nurbani melalui siaran tertulis yang diterima Tempo pada Rabu pagi, 13 November 2024.
Tujuan tahanan yang kabur ini merupakan tersangka kasus narkoba yang belum divonis. Enam di antaranya berasal dari Aceh dan seorang lainnya warga Jakarta. Salah satu dari mereka adalah Murtala Ilyas, gembong narkoba yang sebelumnya ditangkap Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat.
Menurut Ali, lokasi penjara yang berada di dekat permukiman juga menjadi persoalan. Narapidana dan tahanan akan sangat mudah menghilang jika bangunan penjara berdampingan langsung dengan permukiman. “Apalagi kalau sistem salurannya nyambung dengan sistem saluran penduduk, selesailah,” tuturnya.
Persoalan selanjutnya adalah struktur bangunan penjara di Indonesia saat ini yang mayoritas merupakan peninggalan zaman kolonial atau bangunan yang berusia tua. Karena itu, tak sedikit bangunan yang telah rapuh dimakan usia, baik dinding maupun terali besinya. Menurut Ali, renovasi bangunan penjara yang berkualitas memang memakan anggaran tidak sedikit. “Dalam konteks UNOPS (United Nations Office for Project Services), prison planning memang lebih mahal tiga kali lipat daripada pembangunan satu rumah sakit,” ujarnya.
Namun hal itu memang menjadi keharusan bagi pemerintah agar kaburnya narapidana dan tahanan tidak selalu menjadi momok setiap tahun dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia. “Harus dibicarakan bersama Dewan Perwakilan Rakyat soal anggarannya,” ucap Ali.
Selain soal bangunan, kata Ali, faktor paling krusial yang memudahkan narapidana dan tahanan kabur dari lapas atau rutan adalah persoalan budaya kerja petugas. Pemerintah selama ini abai terhadap risiko-risiko di lapas. “Memang harus diakui bahwa manajemen penguatan kapasitas sumber daya manusia masih kurang,” tuturnya.
Menurut Ali, sipir-sipir penjara selama ini tidak pernah mendapat pelatihan untuk mengantisipasi setiap risiko di lapas. Hanya nasihat pembekalan yang diberikan setiap apel pagi. “Jadi mereka (para sipir) enggak ngerti soal risiko melarikan diri, keselamatan orang lain, ketertiban, dan kemungkinan narapidana melakukan tindak pidana di luar penjara,” ujarnya.
Karena tidak ada pemahaman soal aspek risiko security dan safety di penjara itulah, Ali melanjutkan, banyak sipir yang tak menjalankan prosedur operasi standar (SOP) dalam menjalankan tugas. “Sudah tidak sanggup mereka menjalankan (SOP) itu,” katanya.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati memberikan pandangan berbeda ihwal penyebab berulangnya tahanan kabur dari penjara. Menurut dia, faktor yang mempengaruhi adalah overcrowding yang saat ini terjadi di hampir semua lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
Dengan kondisi itu, rasio petugas dengan narapidana pun menjadi tidak ideal. “Idealnya 1 : 5. Tapi kenyataannya, berdasarkan data terakhir kami, pada 2017 mencapai 1 : 25. Artinya, satu penjaga bertanggung jawab atas 25 tahanan. Timpang,” kata Maidina.
Dalam riset yang dikeluarkan ICJR pada 2018, memang ada gap yang sangat jauh antara jumlah sipir dan tahanan. Pada 2013, jumlah penghuni lapas mencapai 160.065 orang dengan jumlah petugas hanya 13.134 orang. Tahun berikutnya, jumlah penghuni naik 163.404 orang dan jumlah petugas 13.172 orang.
Pada 2015, jumlah penghuni kembali mengalami kenaikan, tapi jumlah petugas justru menurun menjadi hanya 12.971 orang. Kemudian pada 2016, jumlah penghuni kembali melonjak menjadi 204.551 orang dan jumlah petugas turun lagi menjadi 12.118 orang. Terakhir, pada 2017, jumlah penghuni mengalami lonjakan mencapai 232.081 orang, tapi jumlah petugas kembali turun menjadi 11.408 orang. “Kami agak kesulitan untuk sekarang mendapatkan data rutan dan lapas. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tidak seterbuka dulu,” ujar Maidina.
Selain soal rasio petugas dengan penghuni, jumlah penghuni yang melebihi kapasitas bangunan penjara menjadi problem. Pada 2017, kapasitas total lembaga pemasyarakatan di Indonesia hanya 123.481 orang, sedangkan jumlah penghuninya mencapai 232.081 orang. Artinya, ada selisih 108.600 orang.
Overcrowding ini mengakibatkan beberapa masalah. Pertama, program pembinaan tidak berjalan dengan baik karena jumlah penghuni lapas terlalu banyak. Kedua, banyaknya narapidana yang melarikan diri karena perbandingan jumlah penghuni dan petugas pengamanan terlampau jauh.
Dalam penelitian ICJR juga ditemukan lemahnya koordinasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan antara Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Ditjen Pemasyarakatan, serta Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal tersebut menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain diklat yang diselenggarakan belum berdasarkan kebutuhan di lapangan, kapasitas peserta tidak sesuai dengan jenis diklat, kurikulum diklat belum mendukung peningkatan kualitas petugas, serta kemampuan dan kualitas pengajar/widyaiswara beserta sarana-prasarana diklat yang kurang.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mengatakan pemerintah harus segera mengevaluasi sistem pemasyarakatan di Indonesia. Apalagi saat ini di bidang pemasyarakatan telah berdiri kementerian sendiri. “Memang banyak masalah sekali di lapas. Bukan hanya masalah keamanan, tapi juga penjara yang overcapacity dan banyak dugaan suap. Jadi memang perlu evaluasi secara maksimal,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo