Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kandidat dari Partai Republik, Donald Trump, memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat atau Pilpres AS pada 5 November 2024. Dia berhasil mengalahkan rivalnya, Kamala Harris yang diusung Partai Demokrat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Harris merasa telah menemukan formula jitu untuk meraih pemilih perempuan melalui kampanye yang menawarkan hak aborsi. Namun, justru Trump yang menjadi pemenang, dia mendapatkan dukungan dari kelompok laki-laki Amerika--khususnya generasi muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski generasi muda Amerika Serikat secara keseluruhan cenderung lebih liberal, namun itu bukan halangan bagi kampanye presidensial Amerik Serikat untuk memanfaatkan maskulinitas generasi muda lewat minat seperti olahraga tarung dan mata uang kripto, serta tampil di podcast yang didominasi laki-laki.
“Jika Anda seorang laki-laki di negara ini dan tidak memilih Donald Trump, Anda bukanlah seorang laki-laki,” kata Charlie Kirk, aktivis konservatif yang telah lama fokus pada suara generasi muda.
Survei NBC mengungkap Trump memenangkan kursi kepresidenan dengan 54 persen suara dari pemilik laki-laki untuk kandidat dari Partai Republik. Jumlah itu naik sedikit dibanding pilpres 2020 yang tercatat 51 persen.
Hal lain yang mengejutkan adalah di kalangan pemilih muda berusia 18-29 tahun, di mana sebanyak 49 persen laki-laki memilih Trump. Kondisi ini menghancurkan citra sebelumnya tentang kaum muda yang umumnya condong ke kiri.
Dukungan generasi muda ini pernah diramalkan oleh Elon Musk, pakar teknologi sekaligus miliarder Amerika Serikat, yang menjadi pendukung utama Trump pada hari pemilihan, Selasa lalu.
"Pasukan kavaleri telah tiba," ujar Musk.
Kemenangan Trump diraih saat kesenjangan gender mulai terasa di kalangan anak muda pada umumnya. Perempuan di bawah usia 29 tahun memiliki selisih suara Harris-Trump yang sangat besar, yakni 61-37.
"Ada banyak seksisme laten di kalangan pemilih Amerika Serikat, baik laki-laki maupun perempuan," kata Tammy Vigil, profesor madya ilmu media di Universitas Boston, menurut laporan AFP. "Kampanye Trump memberi orang izin untuk menuruti dorongan terburuk mereka dan merangkul berbagai bentuk perpecahan."
Trump yang 'Tangguh' Dipandang sebagai 'Pemimpin'
Spencer Thomas, warga Amerika Serikat yang memberikan hak suaranya untuk Harris, mengatakan ekonomi menjadi perhatian banyak rekannya yang memilih Trump.
"Mereka lebih fokus pada kebijakan ekonomi dan berbagai hal serupa, daripada hak aborsi," kata Thomas yang berkuliah di Universitas Howard, sebuah perguruan tinggi yang secara historis dihuni orang kulit hitam di Washington.
Energi macho dari pencalonan presiden Trump--yang menghindari kebenaran politik, kesadaran, atau bentuk-bentuk lain dari keresahan liberal--berhasil memikat banyak pria kulit hitam, meskipun kampanye tersebut terkadang diwarnai rasisme.
Di antara pria kulit hitam di bawah usia 45 tahun, sekitar tiga dari 10 memilih Trump atau dua kali lipat dari angka pemilih tahun 2020 dan semakin memperlebar jurang di basis tradisional Partai Demokrat.
Selain itu, Trump juga tampil di podcast "Joe Rogan Experience", yang pendengarnya sebagian besar adalah pria muda dan pria. "Bertujuan untuk memotivasi pria muda agar ikut serta," kata Kathleen Dolan, ilmuwan politik di University of Wisconsin, Milwaukee.
Dolan menilai penampilan Trump yang maskulin bertujuan untuk menarik basisnya, baik perempuan maupun laki-laki, yang menyukainya karena mereka menganggapnya tangguh dan seorang pemimpin. Jajak pendapat dari Edison Research menemukan sekitar 54 persen laki-laki keturunan Amerika Latin memilih Trump pada pilpres Selasa kemarin. Ada kenaikan 18 poin persentase yang sangat besar bagi Partai Republik dibandingkan dengan tahun 2020.
Sumber: Reuters
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini