Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARTAI untuk Kebebasan (PVV), partai politik pimpinan Geert Wilders, menang besar dalam pemilihan umum Belanda pada Rabu, 22 November lalu. Hasil hitung cepat menunjukkan PVV meraih 35 dari 150 kursi parlemen, hampir dua kali lipat jumlah kursinya sekarang. Partai penguasa, Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) pimpinan Perdana Menteri Mark Rutte, tergusur ke posisi kedua dengan 24 kursi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“PVV tak lagi diabaikan. Kami akan memerintah,” kata Geert Wilders, tokoh anti-Islam negeri itu, kepada BBC. PVV menang dengan memanfaatkan rasa frustrasi masyarakat yang meluas terhadap banjir imigran ke Eropa, menjanjikan penutupan perbatasan, serta akan melarang Al-Quran, masjid, dan sekolah Islam.
PVV harus menggalang koalisi dengan partai-partai lain untuk menguasai separuh lebih kursi parlemen agar dapat memerintah dan menasbihkan Geert Wilders sebagai perdana menteri baru. Namun mereka tampaknya sulit merangkul partai-partai besar. Mantan komisaris Uni Eropa, Frans Timmermans, pemimpin aliansi partai sayap kiri yang berkuasa sekarang, menyatakan tidak akan bergabung dengan pemerintahan Wilders. “Kami tidak akan membiarkan siapa pun di Belanda tersingkir. Di Belanda semua orang setara,” ujar Timmermans. Kaum muslim mengisi sekitar 5 persen populasi Belanda saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemenangan Wilders mengguncang seluruh Eropa karena Belanda adalah salah satu pendiri Uni Eropa. Wilders bahkan berjanji menjalankan “Nexit”, keluarnya Belanda dari Uni Eropa, meskipun mengakui bahwa belum tampak sentimen rakyat untuk menerima gagasan itu.
Organisasi Islam dan Maroko prihatin atas kemenangan Wilders. “Kesusahan dan ketakutannya sangat besar,” kata Habib el-Kaddouri, pemimpin Perhimpunan Warga Maroko-Belanda (SMN), kepada kantor berita Belanda, ANP. “Kami takut dia akan menggambarkan kami sebagai warga negara kelas dua.”
Rusia
Sekutu Putin Adopsi Anak Ukraina Ilegal
Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu dengan ergey Mironov, pemimpin partai politik Rusia Berkeadilan, di Kremlin, Rusia, Februari 2023. kremlin.ru
SERGEY Mironov, pemimpin partai politik Rusia Berkeadilan, telah mengadopsi seorang anak Ukraina secara ilegal di masa awal perang Rusia-Ukraina. Ketua Senat Rusia berusia 70 tahun ini adalah sekutu Presiden Vladimir Putin dan dikenai sanksi ekonomi oleh negara Barat, seperti Inggris dan Uni Eropa.
Penelusuran BBC menemukan Mironov telah mengadopsi Margarita, anak perempuan yang berusia setahun saat diambil Inna Varlamova, warga Rusia, dari Rumah Anak Wilayah Kherson pada 2022. Mironov kemudian menikahi Varlamova dan mengganti nama Margarita. Mironov membantah tuduhan tersebut.
Margarita adalah satu dari 48 anak yang hilang di Kherson ketika pasukan Rusia menguasai wilayah itu. Tentara Rusia diduga telah mendeportasi secara ilegal anak-anak Ukraina ke Rusia selama invasi Rusia ke Ukraina. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah menyatakan kasus ini sebagai kasus pidana dan mengeluarkan perintah penahanan terhadap Vladimir Putin dan Maria Lvova-Belova, komisioner hak-hak anak Rusia, sebagai tersangka dalam kasus deportasi ilegal anak-anak ini pada Maret lalu. Saat itu Putin menerbitkan dekret yang memudahkan warga Rusia mengadopsi anak-anak Ukraina. Pemerintah Rusia membantah tudingan telah mendeportasi anak-anak Ukraina, tapi mengevakuasi mereka dari zona perang.
Konvensi Jenewa melarang deportasi warga sipil pada saat perang, kecuali untuk alasan keamanan atau militer dan bersifat sementara. Konvensi tersebut juga melarang perubahan status keluarga seorang anak. Hasil penyelidikan BBC tentang Margarita ini akan diserahkan ke ICC.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Geert Wilders Menang Pemilu Belanda", dan "Sekutu Putin Adopsi Anak Ukraina Ilegal"