Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, 26 Agustus 2016, Colin Kaepernick melakukan sesuatu yang tak biasa. The Star-Spangled Banner, lagu kebangsaan Amerika Serikat, diperdengarkan, tapi pemain gelandang klub American football, San Francisco 49ers, ini tetap duduk. Tiada yang memperhatikan kelakuan Kaepernick dalam pertandingan pemanasan sepak bola Liga Nasional itu, sampai akhirnya seorang wartawan mengabadikannya untuk ketiga kalinya.
Wartawan itu lalu mengunggah hasil jepretannya ke Twitter, dan Kaepernick pun menjadi pemain yang paling dibicarakan, kontroversial, dan dibenci. Kaus jersey merahnya dengan nomor punggung 7 dijadikan alas kaki di sebuah bar di Negara Bagian Virginia. Pemilik bar mengizinkan pengunjung mengencinginya.
”Saya menerima sejumlah ancaman mati di media sosial,” kata Kaepernick, 28 tahun, kepada wartawan, Selasa dua pekan lalu. Kaepernick kini mengubah posisi protesnya dari duduk menjadi berlutut, demi menghormati para pahlawan yang gugur membela negara. Kini aksi berlutut yang dikenal sebagai ”protes lagu kebangsaan” itu kini telah berjalan sebulan.
Protes Kaepernick ini kemudian tumbuh menjadi sebuah gerakan. Sejumlah kolega satu tim, pemain dari tim lawan, atlet sekolah menengah, hingga atlet basket putra dan putri di seluruh Negeri Abang Sam mengikuti jejaknya. Mereka tak hanya berlutut, tapi juga mengepalkan tinju ke atas hingga berpegangan tangan. Aksi ini didedikasikan Kaepernick dan sederet bintang lain sebagai bentuk perlawanan damai untuk mendukung warga kulit berwarna Amerika yang menjadi korban kebrutalan polisi.
”Saya tidak akan berdiri menghormati bendera dari negara yang menindas warga kulit hitam dan warga kulit berwarna,” ujar Kaepernick kepada NFL Media. ”Bagi saya, masalah ini lebih besar daripada football. Tentu sangat egois jika saya tidak melakukan apa pun. Ada mayat di jalanan dan orang yang dibayar dengan uang pajak bisa melenggang bebas dari pembunuhan.”
Risiko yang dihadapi para atlet kulit hitam dan berwarna karena melakukan aksi ini tidaklah kecil. Para penggemar sepak bola Amerika, yang sebagian besar adalah warga kulit putih, dan perusahaan penyandang dana yang juga dipimpin oleh warga kulit putih murka terhadap protes Kaepernick seraya menganggapnya tidak patriotik.
Kini pendapatan jutaan dolar—Kaepernick mengantongi US$ 60 juta—bisa lenyap begitu saja. Belum lagi jika NFL, induk organisasi football Amerika, meminta klub mereka tidak memperpanjang kontrak. Karier mereka habis.
Brandon Marshall, pemain bertahan untuk Denver Broncos, misalnya, menjadi contoh nyata. Setelah ia berlutut dalam sebuah pertandingan pemanasan, perusahaan Air Academy Federal Credit Union dan CenturyLink membatalkan niat menjadi sponsor. Dua perusahaan itu berdalih: mereka menghormati hak berekspresi Marshall, tapi mereka juga bebas mencari pemain yang menghormati simbol negara, lagu kebangsaan.
Maka tak sedikit atlet kulit hitam yang tidak turut serta dalam aksi ini. Salah satunya pemain gelandang Carolina Panthers, Cam Newton. Salah satu alasan yang membuat Newton enggan bergabung adalah penembakan polisi terbaru di Kota Charlotte, North Carolina, tempat ia bermain. ”Saya punya seorang anak lelaki dan anak perempuan. Apa yang terjadi jika mereka pulang ke rumah dan tidak ada ayahnya lagi?”
Perjalanan Kaepernick dan para atlet kulit berwarna Amerika mencari keadilan pun tampaknya masih jauh panggang dari api. Sejak Kaepernick melakukan aksi perdananya pada 26 Agustus lalu, polisi telah menembak mati sedikitnya 15 pria kulit hitam tidak bersenjata, yang memicu kerusuhan di Charlotte, North Carolina, dan Tulsa, Oklahoma. Sementara itu, rakyat Amerika sibuk mengutuk aksi Kaepernick untuk berlutut dan menyuarakan kegeramannya. SITA PLANASARI AQUADINI (THE ECONOMIST, ROLLING STONE, THE GUARDIAN, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo