Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERANG Rusia-Ukraina telah mempercepat laju jarum Jam Kiamat. “Tahun ini Dewan Sains dan Keamanan Bulletin of the Atomic Scientists menggeser maju jarum Jam Kiamat, terutama (meskipun tidak semata-mata) karena perang di Ukraina. Jam itu kini menunjuk pada angka 90 detik menuju tengah malam—waktu terpendek menuju kehancuran global dibanding sebelumnya,” tulis editor Bulletin of the Atomic Scientists pada Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jam Kiamat diciptakan pada 1947 oleh fisikawan Albert Einstein dan ilmuwan University of Chicago, Amerika Serikat, yang terlibat dalam Manhattan Project, proyek pimpinan Robert Oppenheimer yang menghasilkan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Jam itu menandai seberapa dekat keadaan dunia dengan waktu tengah malam, simbol dari kiamat akibat tak terkendalinya senjata nuklir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Sains dan Keamanan Bulletin of the Atomic Scientists mengubah posisi jarumnya setiap tahun setelah berdiskusi dengan para ilmuwan dan penyokong buletin itu, termasuk 10 pemenang Hadiah Nobel. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres juga mengingatkan pada Agustus lalu bahwa dunia tengah memasuki “suatu masa bahaya nuklir yang belum pernah setinggi ini sejak Perang Dingin”.
Untuk itu, pemerintah Indonesia menyerukan pelucutan total senjata nuklir buat mencegah kiamat tersebut tiba. “Satu-satunya jalan untuk mencegah penyalahgunaan dan mengeliminasi ancaman senjata nuklir adalah dengan memusnahkannya secara total dan menyeluruh,” kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam Pertemuan Pleno Tingkat Tinggi PBB di New York, Amerika, pada akhir September lalu. “Dengan begitu, jarum Jam Kiamat tidak perlu mencapai tengah malam,” ujar Retno dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri RI.
Selama ini Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) pada 1967 menjadi rujukan utama negara-negara di dunia untuk melucuti dan tidak mengembangkan senjata nuklir. Sejak NPT diberlakukan pada 1970, pengembangan senjata nuklir dilarang dan “negara nuklir”—sebutan bagi negara pemilik senjata nuklir, seperti Amerika Serikat, Rusia, Cina, Inggris, dan Prancis—harus memusnahkan senjata mereka secara bertahap.
Namun, hingga kini, “Enggak ada satu pun negara nuklir yang mau mundur. Masing-masing stagnan pada jumlah (senjata) mereka,” tutur Damos Dumoli Agusman, Duta Besar RI untuk Austria, Slovenia, PBB, dan Organisasi Internasional di Wina, pada Selasa, 3 Oktober lalu.
Meskipun demikian, ada perkembangan positif di dunia. “Sejak keluar NPT, hampir semua negara melihat senjata nuklir itu haram sehingga tidak ada satu pun negara yang tebersit untuk mengatakan akan ke senjata nuklir,” ujar Damos, Wakil Tetap Indonesia di Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di Wina. Pengecualian tentu ada, misalnya pada India, yang punya masalah geopolitik di wilayahnya. “Mayoritas negara memiliki keyakinan bahwa memiliki senjata nuklir itu tidak elok, bukan pilihan yang pas.”
Penolakan terhadap senjata nuklir bukan berarti penolakan terhadap teknologi nuklir. PBB memandang bahwa nuklir tetap dapat dikembangkan untuk tujuan damai. Untuk memverifikasi dan mengontrol supaya aktivitas nuklir buat tujuan damai ini tidak bergeser ke senjata nuklir, ditugasilah IAEA. Lembaga ini juga bertugas dan berwenang memantau serta memeriksa untuk memastikan semua aktivitas nuklir itu aman.
IAEA, misalnya, memeriksa proses pembuangan air limbah pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi di Jepang pada 24 Agustus lalu. Air limbah yang dibuang ke Samudra Pasifik itu sudah disaring untuk memastikan tidak mengandung radioaktif. IAEA menyatakan proses itu sudah memenuhi standar keamanan internasional. “Hasil pengambilan sampel dan analisis terbaru kami terhadap perairan di dekat pembangkit listrik itu menunjukkan bahwa kadar tritiumnya di bawah batas ambang operasional Jepang,” kata Direktur Jenderal IAEA Rafael Mariano Grossi di depan Dewan Gubernur IAEA pada Senin, 11 September lalu.
Walau begitu, tindakan pemerintah Jepang itu tetap memicu protes masyarakat dan bahkan Cina melarang impor makanan laut dari Jepang. Menurut Damos, IAEA adalah organisasi yang mengurus masalah teknis nuklir, bukan masalah politiknya, meskipun ada saja negara atau pihak yang mencoba mengekspos salah satu isu untuk motif-motif politik tertentu.
Dalam kasus Fukushima, Indonesia bersandar pada kredibilitas IAEA yang mengatakan limbah ini masih di ambang batas. “Tapi kita tetap mengantisipasi apakah ini akan ada kejadian-kejadian yang tidak diantisipasi nanti. Jadi kita tidak mengatakan bahwa kita menerima begitu saja, aman, tapi tetap dimonitor,” tutur Damos.
Indonesia sebagai negara yang mendukung pelucutan senjata nuklir telah terlibat lama di IAEA. Sejak IAEA berdiri pada 1957, Indonesia sudah 18 kali menjadi anggota Dewan Gubernur. Terakhir kali Indonesia menjadi anggota pada 2017-2018. Tahun ini Indonesia kembali terpilih secara aklamasi sebagai anggota Dewan Gubernur IAEA periode 2023-2025 yang mewakili kelompok negara Asia Tenggara dan Pasifik.
Dewan Gubernur IAEA adalah badan pembuat kebijakan yang membahas dan memberikan rekomendasi kepada Konferensi Umum IAEA, yang dihadiri semua negara anggota, mengenai penyelenggaraan badan ini. Dewan ini memantau dan memverifikasi berbagai laporan mengenai aktivitas nuklir dan aktivitas tertentu yang dimandatkan kepada IAEA, seperti pemeriksaan aspek keamanan dan keselamatan limbah Fukushima. Dewan juga berwenang menunjuk Direktur Jenderal IAEA atas persetujuan Konferensi Umum.
Ketua Delegasi RI, Dr. Iur. Damos Dumoli Agusman memberikan sambutan dalam sidang General Conference ke-67 International Atomic Energy Agency (IAEA), di Wina, Austria, 26 September 2023. Dok. KBRI Wina
Selama menjadi anggota Dewan Gubernur, kata Damos, Indonesia akan berperan dalam pemanfaatan nuklir untuk tujuan damai dan berkontribusi dalam konflik politik, seperti kasus Iran, Ukraina, Fukushima di Jepang, dan AUKUS, pakta keamanan Amerika, Australia, dan Inggris. Dalam peran terakhir ini, “Kita akan berkontribusi sebagai penengah, sebagai penyeimbang, ya, sebagai juru damai, lah,” ujar Damos.
Di sisi lain, Indonesia dapat memanfaatkan berbagai program nuklir IAEA untuk kepentingan nasional. IAEA, misalnya, punya prakarsa Teknologi Nuklir untuk Pengendalian Polusi Plastik atau NUTEC Plastics yang memiliki teknologi nuklir untuk mendeteksi polusi plastik secara cepat. Damos mengaku sudah mengunjungi laboratoriumnya di Monako dan menyaksikan demonstrasinya. “Kita sudah ada model kerja sama dengan IAEA dan itu akan kita teruskan dan kembangkan,” tuturnya.
Program lain adalah Zoonotic Disease Integrated Action (Zodiac), teknologi yang semula ditujukan buat mendeteksi penanganan Covid-19 dan kini diteruskan untuk penyakit-penyakit menular lain. Indonesia juga akan terlibat dalam Rest of Hope, program IAEA untuk mengobati penyakit kanker. “Ini semacam kemoterapi yang memanfaatkan teknologi radiasi nuklir,” ujar Damos.
IAEA akan membantu Indonesia agar bisa mendapatkan instrumen ini dengan aman dan terlindungi sehingga tidak berpotensi dicuri oleh, misalnya, teroris. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sudah menandatangani letter of intent dengan Direktur Jenderal IAEA Rafael Mariano Grossi mengenai program ini pada Mei lalu.
Nuklir adalah penemuan puncak manusia yang punya manfaat besar bagi umat manusia tapi juga dapat memicu kiamat bila disalahgunakan. Seperti teknologi lain, perkembangan reaktor nuklir makin maju. Ukuran reaktor pun makin kecil. “Kini reaktornya mungkin masih sebesar lapangan tenis, tapi nanti mungkin sebesar kamar kos dan nanti jangan-jangan dapat dijual di Tokopedia atau Amazon. Nah, Indonesia sudah siap atau belum menghadapi hal ini?” kata Damos.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Damai untuk Tenaga Atom"