Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERDANA Menteri Israel Benjamin Netanyahu membubarkan kabinet perangnya, yang dibentuk sejak terjadi perang Israel-Hamas di Jalur Gaza pada 11 Oktober 2023. Pembubaran itu dilakukan pada Senin, 17 Juni 2024, setelah tokoh oposisi Benny Gantz dan Gadi Eisenkot, sekutunya, mundur dari kabinet ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Perdana Menteri berkata, ‘Kabinet perang berada dalam perjanjian koalisi dengan... Benny Gantz atas permintaannya’. Dengan mundurnya Gantz dari pemerintahan, tidak diperlukan lagi cabang pemerintahan tambahan ini,” ucap juru bicara pemerintah, David Mencer, seperti dikutip BBC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru bicara utama tentara Israel (IDF), Laksamana Muda Daniel Hagari, menegaskan bahwa pembubaran itu tidak akan mempengaruhi operasi perburuan Hamas. “Anggota kabinet diubah, metode diubah. Kami punya eselon, kami tahu rantai komando. Kami bekerja sesuai dengan rantai komando. Ini adalah demokrasi,” ujarnya.
Israel membumihanguskan Gaza dengan tujuan menghancurkan Hamas dan menyelamatkan orang-orang Israel yang disandera Hamas. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, serangan itu telah menewaskan 37.084 warga Palestina dan mencederai 84.494 orang, yang kebanyakan perempuan dan anak-anak, sejak 8 Oktober 2023 hingga 9 Juni 2024. Meskipun Gaza sudah porak-poranda, target Israel belum tercapai karena Hamas diperkirakan masih menahan sekitar 120 sandera.
Kondisi ini membuat Netanyahu menghadapi tekanan dari dalam negerinya. Benny Gantz, pemimpin partai Persatuan Nasional, menilai Netanyahu tak punya strategi memenangi perang ini serta menyerukan pembubaran pemerintahan dan percepatan pemilihan umum. Dua menteri sayap kanan, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, juga mengancam akan mundur dari pemerintahan.
Korea Utara
Perkuat Kerja Sama dengan Rusia
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Pyongyang, Korea Utara, 20 Juni 2024. KCNA via Reuters
PEMERINTAH Rusia dan Korea Utara memperkuat perjanjian kerja sama di bidang kesehatan, pendidikan kedokteran, sains, dan militer saat Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu dengan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong-un, di Pyongyang, Korea Utara, pada Rabu, 19 Juni 2024.
“Tidak ada keraguan bahwa Perjanjian Kemitraan Strategis Komprehensif antara Korea Utara dan Rusia sebagai sebuah program besar akan menjamin hubungan sekutu antara Korea Utara dan Rusia selama satu abad, (itu) akan berkontribusi penuh dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan. Tujuan membangun negara yang kuat dan kepentingan bersama kedua negara kita, Korea dan Rusia, dan akan menempatkan keamanan kedua negara pada landasan yang lebih dapat diandalkan,” kata Kim Jong-un, seperti dikutip kantor berita Rusia, TASS.
Perjanjian ini akan membawa hubungan kedua negara “ke tingkat yang baru” dan berjangka panjang. Perjanjian tersebut antara lain mengatur “saling membantu jika terjadi agresi terhadap salah satu pihak”.
Kedua negara bersepakat “membangun tatanan dunia multipolar yang lebih adil dan demokratis” berdasarkan hukum internasional serta keberagaman budaya dan peradaban. Mereka menyebut “kebijakan konfrontatif Amerika Serikat untuk memperluas infrastruktur militernya di subkawasan ini” sebagai penyebab meningkatnya ketegangan militer dan politik di Asia Tenggara.
Amerika telah memperkuat keberadaan militernya di kawasan ini dengan bekerja sama dengan Filipina dan Taiwan. Namun nuklir Korea Utara juga dinilai sebagai ancaman bagi kawasan tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo