Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN mengenakan kurta dan churidar putih serta jaket biru, Narendra Modi membacakan sumpah sebagai Perdana Menteri India pada Ahad, 9 Juni 2024, di halaman depan Rashtrapati Bhavan, rumah dinas Presiden Droupadi Murmu, di New Delhi. Politikus 74 tahun itu menjadi perdana menteri kedua yang memimpin selama tiga periode berturut-turut setelah Jawaharlal Nehru, perdana menteri pertama negeri tersebut. Media-media di sana menyebut periode kekuasaan ketiga Modi ini sebagai Modi 3.0.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Modi terpilih lagi sebagai perdana menteri setelah partainya, Partai Bharatiya Janata (BJP), kembali menang dalam pemilihan umum Lok Sabha, majelis rendah parlemen nasional India, pada Mei 2024. BJP berhasil meraih 240 dari 543 kursi Lok Sabha. Namun hal itu tidak serta-merta membuat BJP menguasai parlemen, seperti ketika mereka meraih 282 kursi pada pemilihan umum 2014 dan 303 kursi pada 2019. Kali ini BJP harus merangkul partai-partai kecil, seperti Partai Telugu Desam (16 kursi) dan Janata Dal (12 kursi) serta tujuh partai lain, dalam koalisi Aliansi Demokratik Nasional (NDA) untuk mencapai 293 kursi sehingga dapat membentuk pemerintahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BJP juga kehilangan 63 kursi dibanding pada pemilu 2019. Sebaliknya, Kongres Nasional India (INC), partai oposisi terbesar BJP pimpinan Rahul Gandhi, meraih 99 kursi, naik 47 kursi dibanding pada pemilu sebelumnya. Ini membuat Aliansi Nasional Pembangunan Inklusif India (INDIA), koalisi partai pimpinan INC, menguasai 234 kursi di parlemen.
“Oposisi mencoba menggambarkan hasil Lok Sabha 2024 sebagai kerugian bagi kami. Namun kami tidak kalah, kami tidak pernah kalah, kami tidak akan pernah kalah,” kata Modi seperti dikutip BBC menjelang pelantikannya sebagai perdana menteri.
Dengan kemenangannya itu, Modi berjanji kepada para pemilih untuk “melakukan segalanya” dalam memberantas korupsi dan kemiskinan. “Pemberdayaan masyarakat miskin dan kelas menengah adalah prioritas kami,” ujarnya.
Koalisi BJP dengan partai-partai kecil itu berpengaruh dalam pembentukan kabinet Modi. Kabinetnya kali ini tergolong besar. Ada 72 menteri di sana, yang 61 di antaranya berasal dari BJP. Partai Telugu Desam dan Janata Dal masing-masing kebagian dua posisi menteri. Adapun tujuh partai lain masing-masing mendapat satu kursi menteri.
Ajay Gudavarthy, guru besar madya di Pusat Studi Politik Jawaharlal Nehru University, New Delhi, menilai raihan suara BJP tahun ini turun karena mereka bertarung tanpa agenda apa pun. “Modi juga tidak lagi berbicara tentang capaiannya dalam 10 tahun terakhir dan anehnya juga tidak menawarkan program yang nyata untuk lima tahun ke depan bila dia berkuasa,” tuturnya kepada Tempo, Kamis, 13 Juni 2024. “Ini pemilu tanpa agenda kreatif.”
Sebelum pemilu, Modi memang tampak terlalu ambisius dan yakin. Dia mengkampanyekan “Ab ki baar 400 paar” (Kali ini melewati 400 kursi). Nyatanya, partainya malah kehilangan banyak kursi.
Gudavarthy menyatakan salah satu alasan orang tidak mendukung seruan itu adalah Modi hanya memobilisasi suara pemilih dengan isu budaya dan mengobarkan Hindutva, paham nasionalisme Hindu yang akan menghegemoni India. Dalam kampanye, Modi juga terus mengangkat narasi anti-Islam, meskipun tidak sampai memicu kekerasan fisik.
Menurut Gudavarthy, umat Hindu di India pada umumnya memang merasa takut terhadap kaum muslim, mengingat berbagai kasus serangan teror dari kelompok Islam ekstrem seperti Al-Qaidah dan Taliban.
“Dia juga berbicara tentang kuil yang ia bangun dan hal-hal yang orang-orang lihat sebagai absurd. Masyarakat tidak menanggapi Modi untuk agenda semacam itu,” ujar Gudavarthy.
Pada Januari 2024, Modi meresmikan Kuil Rama di Ayodhya, Uttar Pradesh. Kuil itu didedikasikan untuk Dewa Rama, salah satu dewa terpenting Hindu. Kuil tersebut kontroversial karena dibangun di bekas lokasi Masjid Babri, yang berdiri sejak 1528. Penghancuran masjid itu pada 1992 dipicu kampanye BJP dan Vishwa Hindu Parishad, organisasi penyokong nasionalisme Hindu, yang menganggap masjid tersebut dibangun di tempat kelahiran Dewa Rama. Penghancuran itu memicu kekerasan komunal antara kaum Hindu dan muslim yang menyebabkan sekitar 2.000 orang tewas di Bombay dan memicu kerusuhan di berbagai daerah.
Peresmian Kuil Rama diharapkan mendongkrak perolehan suara BJP. “Nyatanya, Modi tidak mendapat kursi maksimum kali ini. Mereka bahkan kekurangan kursi. Isu kuil tidak bergema di kalangan masyarakat bawah,” ucap Gudavarthy. “Masyarakat kembali ke isu dasar seperti kesejahteraan, tenaga kerja, Dalit, dan hal-hal semacam itu.” Dalit adalah kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan kasta terendah di India.
Dukungan kepada Modi juga menurun di Varanasi, daerah pemilihan Lok Sabha di Uttar Pradesh. Pada pemilu 2019, Modi terpilih sebagai anggota parlemen dari daerah ini dengan dukungan hampir 70 persen suara. Namun pada pemilu tahun ini, meski masih menang, dia mendapatkan kurang dari 55 persen suara, nyaris dikalahkan oleh Ajay Rai dari Partai Kongres yang beroleh hampir 41 persen suara.
“Jadi Modi kehilangan 20 persen suara, yang artinya kaum Dalit dan kebanyakan kaum miskin tidak memilih dia. Mereka telah menjauhi BJP,” kata Gudavarthy. Hal ini, Gudavarthy menambahkan, menunjukkan agenda neoliberalisme Modi untuk meningkatkan perekonomian tapi berdampak pada ketimpangan telah menjadi bumerang baginya.
“Sangat sulit bagi BJP kini untuk mempertahankan dukungan dari kelompok ini dengan kebijakan kesejahteraan dasar seperti bagi-bagi beras 5 kilogram. Kebijakan semacam ini tak lagi ampuh untuk mereka,” ujar Gudavarthy.
Banyak analis politik yang menilai koalisi BJP dengan partai-partai kecil akan mempengaruhi kebijakan Modi mendatang. Namun Gudavarthy memandang hal itu tak akan berpengaruh. “Saya pikir tidak akan ada perubahan besar karena masalah pada partai yang bergabung dengan Modi adalah bahwa mereka tidak punya ideologi tertentu. Mereka tidak punya komitmen tertentu. Seperti Modi, mereka tak punya agenda,” kata penulis buku India After Modi: Populism and the Right ini.
Gudavarthy mengkritik politikus dan partai politik India yang umumnya tak punya ideologi dan agenda yang jelas untuk memajukan India. Misalnya, dia menerangkan, mereka hanya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat kebanyakan hanya untuk mendapat dukungan agar bisa duduk di parlemen. “Mereka tidak benar-benar berkomitmen pada pandangan dunia mengenai ekonomi-politik yang egalitarian.”
Di antara para tokoh politik, menurut Gudavarthy, hanya Rahul Gandhi dari Partai Kongres yang punya agenda alternatif keadilan sosial, seperti kesetaraan bagi perempuan, kesempatan bagi pelajar, dan upaya mengatasi pengangguran. Masalahnya, hanya Gandhi di partai itu yang punya visi demikian. Anggota partai lain masih berpegang pada agenda neoliberal atau keterwakilan terbatas dalam hal kasta karena kebanyakan dari mereka berasal dari kasta tinggi Hindu dan berlatar kaum elite.
Rahul Gandhi, memberikan keterangan pers terkait pemiulu India di markas besar Partai Kongres di New Delhi, India, 6 Juni 2024. Reuters/Priyanshu Singh
Menurut Gudavarthy, jumlah kursi Kongres kini naik, dari 52 pada 2019 menjadi 99, berkat kampanye Gandhi. “Mereka menang dalam pemilu karena agendanya, karena kampanyenya, karena komitmen demokrasi sosialnya. Masalahnya, tidak banyak orang di partai yang bersamanya,” tuturnya.
Kemenangan Kongres menunjukkan Gandhi menemukan legitimasi baru. “Orang-orang sekarang menimbang dia lebih serius daripada sebelumnya. Posisinya di partai menguat. Sekarang ada dorongan besar untuk memilihnya sebagai pemimpin oposisi, dengan dukungan dari semua partai oposisi,” kata Gudavarthy.
“Jika perkembangan ini berlanjut, pertanyaannya adalah—kita harus menunggu dan melihat—akankah Gandhi dapat membawa semua anggota partainya bersama dia menuju transformasi yang radikal,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kemunduran Periode Ketiga Modi"