Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghitungan akhir hasil pemilihan umum Thailand belum sepenuhnya selesai ketika Pheu Thai, partai oposisi terbesar, mengumumkan koalisinya, Rabu, 27 Maret lalu. Reinkarnasi partai besutan mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra ini menggandeng enam partai lain untuk membentuk pemerintah dan meloloskan calon yang diusungnya sebagai perdana menteri pengganti Jenderal Prayut Chan-o-cha, perdana menteri saat ini. “Kami ingin menghentikan pemerintah saat ini tetap berkuasa,” kata Khunying Sudarat Keyuraphan, kandidat perdana menteri dari Pheu Thai, dalam konferensi pers, seperti dilansir CNN.
Pemilu yang berlangsung pada Ahad, 24 Maret lalu, itu diselenggarakan di 77 provinsi untuk memilih pemegang 500 kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Rinciannya, 350 kursi dari konstituensi dan 150 kursi dialokasikan sesuai dengan proporsi suara nasional partai. Empat hari kemudian, berdasarkan hasil penghitungan suara sementara, Komisi Pemilihan Umum (ECT) mengumumkan tiga partai yang memperoleh suara terbanyak: Palang Pracharath (8,43 juta suara), Pheu Thai (7,92 juta), dan Future- Forward (6,26 juta).
Dalam koalisi Front Demokrasi ini, Pheu Thai menggandeng Future Forward, Pheu Chart, Prachachart, Seri Ruam Thai, Thai People Power, dan New Economics. Dengan koalisi itu, Pheu Thai yakin bisa mengumpulkan 255 kursi konstituensi dan mendapatkan kursi perdana menteri. Perolehan pasti kursi akan diumumkan secara resmi oleh ECT pada 9 Mei mendatang.
Untuk bisa meloloskan calonnya sebagai perdana menteri, berdasarkan Konstitusi Thailand 2017, partai harus memenangi suara mayoritas dari 500 suara DPR dan 250 Senat. Berbeda dengan anggota DPR, yang dipilih melalui pemilihan umum, 250 orang yang duduk di Senat ditunjuk junta militer. Dengan komposisi seperti itu, oposisi harus mendapatkan lebih dari 373 kursi. Sedangkan partai pro-militer Palang Pracharath secara teori hanya membutuhkan 126 kursi DPR untuk kembali mengegolkan Prayut menjadi perdana menteri.
Palang Pracharath, sebagai partai pemenang pemilu kedua, mengklaim berpeluang membentuk pemerintah. Pemimpin partai itu, Uttama Savanayana, menyatakan partainya punya waktu sekitar enam pekan untuk menggalang koalisi. “Kami sudah mulai berbicara dengan pihak lain, masih ada waktu,” ucapnya seperti dilansir Channel News Asia. Wakil Perdana Menteri Thailand Wissanu Krue-ngam menyebut deklarasi Front Demokrasi sebagai “strategi psikologis semata yang tidak akan membuahkan hasil”.
PEMILIHAN umum ini adalah yang pertama di Thailand sejak junta militer pimpinan Prayut Chan-o-cha menggulingkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, adik Thaksin, pada 2014. Saat hari pencoblosan, Kota Bangkok, ibu kota Thailand, terlihat sepi. Seolah-olah tak ada perhelatan politik besar yang sedang terjadi di Negeri Gajah Putih. Hari itu, matahari pun bersinar terik.
“Saya mungkin ke tempat pemungutan sore ini atau mungkin tidak ke sana. Di luar panas sekali,” tutur seorang pegawai sebuah hotel di Bangkok. “Tapi saya sebenarnya enggan memilih karena merasa politik tak ada artinya bagi saya sekarang.”
Nath, pelajar 18 tahun, berbeda. Ia tampak bersemangat setelah mencoblos di Pradiphat Soi 5 Alley, Bangkok. “Saya ingin melihat negara saya maju,” kata Nath, tersenyum.
Dalam pemilu ini, menurut Komisi Pemilihan Umum, 38,3 juta orang telah memberikan suara. Sebanyak 36,5 juta suara (92,8 persen) dinyatakan sah. Surat suara dengan kandidat tak dipilih sebanyak 605.392 lembar atau 1,6 persen. Adapun tingkat partisipasi pemilih sebesar 74,69 persen.
Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha mencoblos di tempat pemungutan suara sederhana di Pradiphat Soi 5 Alley. Lokasinya dekat dengan area latihan militer. Tempat pencoblosan didirikan di trotoar dengan atap tenda plastik. Dua petugas duduk di kursi dan di depan mereka terdapat sebuah meja untuk mendata warga yang akan memberikan suara.
Tempat surat suara berupa kotak dengan satu sisinya terbuat dari kaca transparan. Kotak itu ditaruh di atas meja dan dijaga seorang petugas perempuan. Jam beker bulat diletakkan di atas kotak sebagai pemberi peringatan batas waktu pemberian suara, yaitu pukul 08.00-17.00.
Prayut tampak bergegas keluar dari mobilnya dan langsung berbaur dengan masyarakat yang antre untuk mencoblos. Ia tampak sumringah setelah mencoblos dan memasukkan surat suara. Setelah itu, dia bergegas menuju mobilnya yang diparkir tak jauh dari sana.
“Saya gembira orang-orang antusias. Tapi saya berharap mereka tidak hanya memberikan suara. Mereka perlu membantu negeri ini dan berharap bisa bekerja sama serta menjaga keharmonisan,” kata Prayut kepada wartawan yang mencegatnya. Ia kemudian masuk ke mobil dan menyatakan akan pulang untuk memantau hasil pemilu dari rumahnya.
Adapun Khunying Sudarat Keyuraphan, calon perdana menteri dari Pheu Thai, mencoblos di Distrik 12, Lat Phrao, Bangkok. Ia tiba di tempat pemungutan suara sekitar pukul 10.30 waktu setempat. Pemimpin Pheu Thai ini mengenakan baju jambon pucat. Sejumlah pendukungnya mengabadikan kedatangannya dengan memotret atau merekamnya menggunakan telepon seluler.
10 Partai dengan Suara Terbanyak
Tempat pemungutan suara itu berada di halaman depan sebuah gedung perbankan. Tempat itu dipenuhi masyarakat dan puluhan wartawan. Tak ada pengawalan ketat. Hanya ada beberapa anggota partai yang berusaha memberikan jalan kepada politikus perempuan tersebut. “Saya puas dengan pelaksanaan pemilu hari ini,” ujar Sudarat kepada Tempo.
Duta Besar Indonesia untuk Thailand Ahmad Rusdi mengatakan pemilu ini tampak berjalan aman, tertib, dan sederhana. Tidak ada kesan pemilu sebagai sebuah pesta. “Kalau di Indonesia, setelah mencob-los, datang ke Starbucks, tunjukkan jari bertinta, dapat diskon,” tuturnya.
Tapi organisasi pemantau pemilu Open Forum for Democracy Foundation (P-Net) menyatakan pemilu ini “tidak bebas dan tidak adil”. Mereka menyebutkan soal ketidaksiapan pemilihan pendahuluan untuk pemilih luar negeri, anggota Komisi Pemilihan yang tidak berpengalaman karena ditunjuk hanya enam-tujuh bulan sebelum pemilihan, dan tidak ada pemantau lepas di tempat pemilihan untuk mendeteksi kecurangan.
“Staf di tempat pemungutan suara sangat tidak terlatih dan tidak mengikuti kebijakan secara ketat dan ada kelemahan koordinasi untuk menginvestigasi laporan soal jual-beli suara,” demikian pernyataan P-Net seperti dilansir CNN. Beberapa kandidat mengandalkan jual-beli suara untuk mempengaruhi pejabat lokal agar mengamankan pemilihan. Komisi Pemilihan, menurut P-Net, “Tidak mampu menyelenggarakan pemungutan suara secara efisien.”
Oposisi juga mempertanyakan perubahan jumlah total suara yang cukup mencolok. Menurut Sudarat, dalam pengumuman Komisi seusai pencoblosan, jumlah pemilih sebanyak 65,96 persen atau sekitar 33,7 juta orang. Jumlah itu berubah drastis saat Komisi membuat pengumuman empat hari kemudian. Jumlah pemilih menjadi 74,69 persen atau sekitar 38,2 juta orang. “Dalam empat hari, hampir 4,5 juta surat suara lahir di kotak suara,” katanya.
ABDUL MANAN, MARIA HASUGIAN (BANGKOK)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo