Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA tak menutup mata bahwa Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali berlangsung dalam situasi geopolitik yang bergejolak akibat pandemi dan perang Rusia-Ukraina. "Sebagai presiden G20, Indonesia telah berupaya semaksimal mungkin menjembatani perbedaan yang sangat dalam, yang sangat lebar. Namun keberhasilan hanya akan dapat tercapai jika kita semua, tanpa terkecuali, berkomitmen, bekerja keras, menyisihkan perbedaan-perbedaan," kata Presiden Jokowi saat membuka KTT G20 di Bali, Selasa, 15 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemungkinan terjadinya walk out dan tak adanya komunike membayangi penyelenggaraan konferensi. Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Washington, DC, Amerika Serikat, pada April lalu diwarnai aksi walk out. Pertemuan Menteri Luar Negeri G20 di Bali pada Juli lalu juga tak menghasilkan komunike bersama. "Kalau pada akhirnya tidak melahirkan leaders communique, menurut saya, ya sudah, tidak apa-apa," ucap Ketua Bidang Dukungan Penyelenggaraan KTT G20 Luhut Binsar Pandjaitan, tiga hari sebelum konferensi.
KTT akhirnya dihadiri 18 dari 20 kepala negara anggota G20. Presiden Rusia Vladimir Putin, yang sebelumnya menyatakan akan berpartisipasi, diwakili oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov. Di luar dugaan, meski diwarnai sejumlah insiden, para kepala negara menyetujui dokumen G20 Bali Leaders Declaration, deklarasi kepala negara KTT G20 Bali, pada Rabu, 16 November lalu. Paragraf soal geopolitik, yang perdebatannya paling alot, pada intinya menyatakan bahwa sebagian besar anggota G20 mengecam perang Rusia di Ukraina dan menuntut penarikan pasukannya, tapi mengakui ada perbedaan dalam menilai situasi dan penerapan sanksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, saat serah-terima presidensi G20 dari Italia, situasi dunia belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19 dan kemudian diperparah oleh dampak perang di Ukraina. Hal ini yang mendorong Indonesia memasukkan isu pangan dalam daftar isu prioritas, selain soal kesehatan, transisi energi, dan transformasi digital.
Indonesia, Retno menerangkan, berusaha mengamankan deklarasi pada empat isu kunci itu serta menyiapkannya sejak Juli dan mencapai 90 persen pada awal November. Setelah draf isu prioritas dinilai aman, barulah dimulai pembahasan resmi draf deklarasi ihwal geopolitik pada 10 November lalu. Indonesia menargetkan naskah kelar sebelum KTT dimulai.
Dalam sebuah pertemuan yang dihadiri juru runding negara anggota G20 pada 12 November lalu, Ketua Tim Negosiasi Indonesia, Dian Triansyah Djani, menyatakan satu-satunya opsi bila tidak ada komunike adalah deklarasi kepala negara. "Saya sampaikan, 'Katakan kepada kami kalau enggak setuju. Kalau enggak setuju, selesaikan sekarang. Stop negosiasi. Sampaikan di depan kami'," tuturnya kepada Tempo pada Jumat, 18 November lalu. Semua menyatakan menyetujui negosiasi. "Tentu mereka juga bilang, 'Itu tergantung kata-kata dan paragrafnya apa'."
Diskusi pemimpin negara disela-sela KTT G20 saat terjadi serangan rudal di Polandia di Nusa Dua, Bali, 16 November 2022. Steffen Hebestreit/BPA/Handout via REUTERS
Menurut Retno, suasana pertemuan itu menjadi sinyal bagus. Terlepas dari apa yang dibahas, saat mereka mau bernegosiasi, itu satu hal baik. "Di dunia diplomasi, itu awal baik," katanya. Bagi Retno, itu terjadi karena negara-negara ini percaya pada Indonesia. Triansyah menambahkan, Indonesia berupaya mengakomodasi aspirasi semua anggota, dari masukan terhadap draf deklarasi hingga pilihan tempat duduk selama konferensi.
Untuk menyusun paragraf-paragraf dalam deklarasi itu, tim Indonesia berfokus pada pilihan kata-kata yang disepakati semua dan berbasis fakta. "Kami sepakati dulu akan ada paragraf yang split views, itu kan enggak ada masalah. Kalau ada split view kan enggak mungkin bilang semua anggota G20 mengecam perang. Kan, enggak mungkin Rusia mengecam dirinya sendiri," ucap Triansyah.
Kalimat dengan nada sama adalah soal apakah semuanya setuju isu politik dibahas di G20. "Kan, banyak yang tidak setuju. Kami juga enggak setuju. Kami maunya isu ekonomi," kata Triansyah. Satu-satunya yang tidak ada perbedaan pandangan adalah paragraf tentang dampak perang terhadap ekonomi.
Tak semua rumusan disepakati di tingkat delegasi. Saat terjadi kebuntuan, para juru runding akan berbicara dengan menteri luar negeri masing-masing. Setelah itu, mereka akan kembali ke meja perundingan. Triansyah juga intensif berkonsultasi dengan Menteri Retno, yang saat itu masih mengikuti KTT ASEAN di Phnom Penh, Kamboja. Menurut Triansyah, bahkan pilihan kata seperti "sebagian anggota G20 mengecam perang" diperdebatkan apakah memakai kata "most", "many", atau "some". "Itu berantemnya makan waktu enam jam," katanya. Retno mengatakan itulah gambaran dua hari sebelum KTT "yang bikin kami supermulas".
Draf deklarasi geopolitik ini, yang berada di poin ketiga deklarasi, selesai pada Selasa malam pukul 8 dan diserahkan kepada para menteri luar negeri untuk diteruskan kepada kepala negara masing-masing. "Itu sejarah dalam perundingan G20. Tak pernah ada dokumen deklarasi yang diselesaikan sebelum KTT berlangsung," tutur Triansyah. Meski sudah rampung, ucap dia, "masih roller coaster di level saya".
KTT juga diramaikan oleh kabar sakitnya Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, yang tiba di Bali pada 13 November. Moskow membantah kabar tersebut. Sehari kemudian Lavrov tampak datang ke area konferensi di The Apurva Kempinski Bali. Dia berjalan di karpet merah khusus delegasi dan disambut Presiden Jokowi. Keduanya sempat berbicara sebentar, lalu tertawa dan berfoto bersama.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, yang hadir secara virtual, mengabarkan kondisi negaranya. Dari 10 hal yang dia sampaikan, dua poin berisi desakan agar Rusia menarik pasukannya dan mendorong adanya pengadilan khusus atas kejahatan agresi Rusia terhadap Ukraina dan penciptaan mekanisme internasional untuk ganti rugi terhadap semua kerusakan akibat perang ini. Lavrov tetap ada di dalam forum konferensi saat Zelenskyy berpidato.
Salah satu peristiwa yang membuat tim Indonesia deg-degan karena khawatir mempengaruhi naskah deklarasi adalah saat ada rudal yang jatuh di Przewodow, desa di Polandia yang dekat dengan perbatasan Ukraina pada Selasa malam, 15 November lalu. Peristiwa yang menewaskan dua warga Polandia ini terjadi saat Rusia menembakkan sekitar 100 rudal ke seantero Ukraina.
Kepala negara anggota G7 menggelar pertemuan mendadak pada Rabu pagi, 16 November lalu. Selepas pertemuan, G7 dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengeluarkan pernyataan yang mengecam serangan rudal Rusia ke Ukraina dan mendukung adanya penyelidikan ihwal jatuhnya rudal tersebut.
Situasi itu ternyata tak mengubah draf deklarasi yang sudah disepakati dalam sherpa track, sebutan bagi pembahasan isu ekonomi nonkeuangan di G20. Menurut Triansyah, peluang perubahan kecil kemungkinannya. "Dalam perdebatan di sherpa, satu koma saja dimasukkan (sebagai perubahan), semuanya batal. Tak boleh ganti satu koma pun."
Saat para kepala negara menerima deklarasi itu, delegasi Rusia diwakili oleh Menteri Keuangan Anton Siluanov karena Lavrov sudah pulang sehari sebelumnya. Rusia menilai deklarasi itu sebagai dokumen yang imbang. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan Rusia pasti puas atas teks deklarasi itu. "Pendekatan dan pandangan berbeda tentang masalah ini diperhitungkan dan dicatat dalam deklarasi," ujar Peskov, seperti dilansir kantor berita Rusia, TASS.
Menteri Retno menyebut hasil ini melebihi ekspektasi masyarakat internasional. "Sampai sekarang saya masih menerima banyak sekali komunikasi, tidak hanya dari negara G20. Beberapa kepala pemerintahan mengatakan, 'well done, congratulation'."
DANIEL AHMAD, FAJAR PEBRIANTO (DENPASAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo