Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TURKI
Wanita Bergaun Merah Jadi Simbol Perlawanan
Sesosok wanita bergaun merah tertangkap kamera pewarta. Dengan tas putih menggantung di bahu kanannya, ia berada di antara kerumunan pengunjuk rasa yang berbatas dengan polisi di Istanbul, Turki, pekan lalu. Tak lama ia berdiri, seorang opsir mendatanginya dan langsung menyemprotkan gas air mata. Perempuan itu terhuyung, terbatuk-batuk, seraya membalikkan badan menjauhi barisan polisi.
"Itu adalah potret dan esensi protes kami yang sebenarnya, kekerasan polisi sebagai alat pemerintah terhadap unjuk rasa yang damai. Kami hanya melindungi diri dan mencoba bertahan dengan nilai kehidupan yang kami yakini," kata Esra, salah seorang demonstran dari kalangan mahasiswa di Besiktas, Selasa pekan lalu, seperti dikutip Reuters.
Insiden pada akhir Mei yang menimpa wanita yang tak diketahui identitasnya itu lantas menyebar ke seantero Turki. Protes pun menjalar ke berbagai kota. Sang peÂrempuan berbaju merah menjadi ikon perlawanan demonstran terhadap penguasa.
Aksi damai yang awalnya menentang pembangunan replika barak militer Kekaisaran Ottoman dan mal di Taman Gezi, Istanbul, berubah menjadi gerakan menentang pemerintah Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan yang menjalar ke kota-kota lain di Turki. Isu yang bermula dari kerusakan lingkungan itu menggelembung menjadi penuntutan mundur Erdogan sebagai perdana menteri.
Asosiasi Paramedis Turki mengungkapkan lebih dari 3.000 orang terluka akibat bentrokan yang terjadi pada Ahad dan Senin pekan lalu. Puluhan terluka serius. Bahkan, meski masih simpang-siur, dilaporkan sudah jatuh dua korban tewas di pihak demonstran.
Menurut Menteri Dalam Negeri Turki Muammer Guler, lebih dari 1.700 orang ditangkap selama unjuk rasa. Sedangkan Erdogan ogah menyerah. Ia menegaskan bahwa pembangunan mal akan tetap dilanjutkan. Erdogan balik menuduh pihak oposisi memprovokasi demonstran.
KAMBOJA
Gembong Khmer Merah Akui Genosida
Khieu Samphan, 81 tahun, dan Nuon Chea, 86 tahun, dua bekas pemimpin Khmer Merah, meminta maaf dalam persidangan genosida di Phnom Penh, Kamboja. Kepala negara rezim komunis pada 1970-an dan wakil pemimpin Khmer Merah itu menyatakan penyesalannya di hadapan keluarga korban pada akhir Mei lalu.
"Saya sangat menyesal atas penghilangan dan pembunuhan yang sangat brutal terhadap ayahmu," kata Khieu Samphan kepada Yim Roum Doul, salah seorang anak korban, seperti yang ditulis media lokal, Irrawaddy. Khieu Samphan mengaku kala itu tidak mengetahui kejahatan yang dilakukan para komandan dan pemimpin militer di lapangan. Ia menyesal segala sesuatunya berubah menjadi "bencana".
Sekitar 1,7 juta orang tewas akibat kerja paksa, kelaparan, dan eksekusi di bawah rezim Khmer Merah pada 1975-1979. Baik Samphan maupun Chea didakwa melakukan kejahatan kemanusiaan, genosida, pembantaian, dan penyiksaan.
THAILAND
Militer Thailand Bersalah atas Tewasnya Jurnalis
PENGADILAN Kriminal Bangkok Selatan memutus militer Thailand bersalah atas kematian jurnalis Italia, Fabio Polenghi. Pria 48 tahun itu tewas diterjang peluru ketika meliput demonstrasi kelompok Kaus Merah pro-Thaksin di Bangkok pada 19 Mei 2010.
Berdasarkan satu kesaksian, peluru yang menewaskan Polenghi adalah peluru tajam yang biasa digunakan tentara untuk membubarkan demonstran. Fakta lain yang menguatkan, kata hakim, seperti dilansir harian Bangkok Post, saat itu di lokasi tempat terbunuhnya Polenghi hanya ada kesatuan Batalion Kedua Penjaga Raja.
Putusan ini merupakan yang pertama kali dalam pengungkapan kasus kematian jurnalis saat unjuk rasa berdarah di Thailand. Kamerawan Reuters, Hiroyuki Muramoto, juga tewas tatkala meliput bentrokan antara tentara dan massa Kaus Merah pada 10 April 2010. Namun kasusnya hingga kini belum diputus pengadilan.
Elisabetta Polenghi, saudara perempuan korban, menyambut baik putusan itu. Namun pengacara keluarga Polenghi, Karom Polpornklang, menegaskan bahwa kliennya akan menuntut Abhisit Vejjajiva (mantan perdana menteri) dan wakilnya, Suthep Thaugsuban, sebagai penanggung jawab bentrokan berdarah itu.
PALESTINA
Rami Hamdallah Perdana Menteri Baru
Presiden Otoritas Palestina, Mahmud Abbas, menunjuk perdana menteri baru, Rami Hamdallah, menyusul pengunduran diri Salam Fayyad pada April lalu. Hamdallah, politikus independen yang lulus pendidikan di Inggris, menggantikan Fayyad setelah terjadinya selisih paham antara presiden dan Fayyad.
Lelaki 54 tahun yang baru saja didapuk menjadi Rektor Universitas Nasional An-Najah di Tepi Barat itu disebut memiliki hubungan erat dengan Presiden Palestina sekaligus pemimpin Partai Fatah, Mahmud Abbas. Tugas utama dan terberat yang bakal dihadapi Hamdallah dalam waktu dekat ini adalah membentuk pemerintah baru di Ramallah, pusat otoritas Palestina.
Di tengah upaya rekonsiliasi di antara dua kubu kuat di Palestina, yakni Hamas dan Fatah, penunjukan Hamdalah menyisakan masalah. Menurut juru bicara Hamas, Fawzi Barhoum, seperti dikutip situs berita Al-Jazeera, "Penunjukan ini berarti menjauhi kesepakatan untuk membuat pemerintah Palestina bersatu, yang rencananya terwujud pada Agustus 2013."
VENEZUELA
Skandal Kelangkaan Tisu Toilet Terbongkar
Kepolisian Venezuela menggerebek lokasi penimbunan di lingkungan kelas pekerja Anti-mano, Karakas, Kamis dua pekan lalu. Hasilnya ditemukan sekitar 2.450 gulung tisu toilet yang ditimbun, selain 7.000 liter jus buah dan 400 popok bayi. "Tisu itu disembunyikan di sebuah gudang rahasia," kata Menteri Dalam Negeri Vene-zuela Miguel Rodriguez seperti yang diberitakan Reuters.
Kepala Kepolisian Nasional Venezuela Luis Karabin mengatakan aksi penyisiran mendadak ini bagian dari penanganan krisis tisu toilet yang terjadi di Venezuela. Belakangan ini di negara kaya minyak itu terjadi kelangkaan tisu toilet, selain pasta gigi, sabun toilet, popok, dan pembalut wanita, seiring dengan sulitnya perekonomian.
Dua pekan lalu, kelangkaan tisu toilet memuncak. Supermarket di Karakas sampai-sampai membatasi jumlah pembelian.
Masalah kertas toilet rupanya bermuatan politik di negara yang baru saja bersalin pemimpin tersebut. Pemerintah dan oposisi saling tuding. Menurut pemerintah, kelangkaan barang keperluan rumah tangga adalah konspirasi kelompok oposisi. Sebaliknya, pihak oposisi menyebut pengendalian mata uang yang ketat serta proses nasionalisasi memperlemah industri negeri itu dan membuat pengusaha enggan berinvestasi.
Majelis Nasional Venezuela kini menyetujui pengucuran anggaran US$ 79 juta kepada Kementerian Perdagangan untuk mengimpor barang kebutuhan dasar tersebut. Secara khusus majelis ini juga mendukung rencana impor 39 juta gulung tisu toilet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo