Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam telah larut, bahkan mulai memasuki pagi. Dinihari Selasa pekan lalu itu, Khaldoun Barghouti menyaksikan televisi di rumahnya di kawasan antara Ramallah dan Yerusalem bersama istrinya. Berita sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyedot perhatian jurnalis yang bekerja di sebuah koran di Ramallah ini. Agenda pertemuan sekitar pukul 5 sore waktu New York itu sangat penting baginya dan nasib rakyat Palestina lain: pembahasan rancangan resolusi untuk perdamaian Palestina-Israel dalam setahun, juga berdirinya negara Palestina yang berdaulat dengan diakhirinya pendudukan Israel pada akhir 2017.
Namun betapa kecewanya Barghouti. Palestina hanya mendapatkan delapan "Ya" dari total 15 anggota Dewan Keamanan PBB. Hanya beberapa saat sebelum pemungutan suara, ia masih dibuai janji para pejabat negerinya yang menjamin akan mendapatkan dukungan sembilan anggota Dewan Keamanan, angka minimum untuk diadopsinya resolusi. Itu pun masih dengan catatan tak ada veto. "Jadi saya mencoba mencari negara yang membuat kami gagal," katanya kepada Tempo, Rabu sore pekan lalu.
Kekecewaan tak hanya dirasakan Barghouti. Menurut dia, akun-akun Facebook warga Palestina ramai oleh status bernada kecewa atau bahkan marah. Tapi semua itu bukan ditujukan ke "negara pembelot" atau dua negara yang memberi suara "Tidak", yakni Amerika Serikat dan Australia. Rakyat marah kepada delegasi Palestina di PBB. "Sebagian orang mempertanyakan mengapa para pejabat mengatakan bahwa mereka menjamin akan mendapatkan sembilan suara, dan ternyata kami hanya mendapatkan delapan," ujarnya.
Untuk Amerika, rakyat Palestina sudah yakin di mana posisinya—pasti akan menghalangi langkah Palestina. "Bila kami mendapatkan sembilan suara, meskipun Amerika menggunakan hak veto, itu tetap menjadi pesan politis," kata Barghouti.
Yang menjadi kejutan ternyata Nigeria. Tadinya Palestina berharap Nigeria, yang merupakan anggota Organisasi Kerja Sama Negara-Negara Islam (OKI), akan memberikan sumbangan suara "Ya". Ternyata negeri Afrika ini abstain. Tidak jelas apakah sikap itu akibat lobi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menelepon Presiden Nigeria sebelum pemungutan suara.
"Sangat disayangkan, salah satu negara OKI yang duduk di Dewan Keamanan tak sejalan dengan komitmen resolusi OKI mendukung isu Palestina, yang menjadi pusat (perhatian) organisasi ini," ujar Duta Besar Palestina di Jakarta, Fariz N. Mehdawi, kepada Tempo.
Ia juga geram terhadap Dewan Keamanan. "Ini kegagalan lain Dewan Keamanan untuk menegakkan hukum internasional yang seharusnya buat membawa keadilan kepada rakyat kami yang terus-menerus hidup kalau tidak di bawah pendudukan militer Israel yang brutal, kepungan Israel, atau malah menjadi pengungsi di luar tanah air," katanya.
Kerja keras Otoritas Palestina memang seolah-olah buyar. Kabar gembira yang mereka terima sebelum sidang Dewan Keamanan rupanya tak begitu berpengaruh. Di antaranya deklarasi dukungan Swedia untuk negara Palestina merdeka. Swedia menjadi negara Eropa Barat pertama yang menyatakan dukungan terhadap negara Palestina dan menjadi negara ke-135 dari total pendukung Palestina. Parlemen beberapa negara Eropa, seperti Inggris, Spanyol, Portugal, dan Prancis, juga merekomendasikan ke pemerintah masing-masing agar memberikan dukungan kepada Palestina. Optimisme mereka memang cukup tinggi saat membawa rancangan resolusi ini ke negara-negara Liga Arab, kemudian ke Dewan Keamanan.
Dukungan itulah yang membuat Palestina optimistis maju ke Dewan Keamanan. Apalagi Palestina juga sudah sangat frustrasi. Pembicaraan damai yang dimotori Amerika ambruk pada April lalu saat operasi militer 50 hari Israel ke Gaza. Perkembangan politik Israel yang kacau-balau, saat kelompok keras tengah mendapat angin, juga jadi pertimbangan. Ramallah merasa harus segera mencari jalan untuk menginternasionalisasi kembali isu Palestina melalui upaya memperoleh pengakuan sebagai negara berdaulat dengan mendapatkan keanggotaan penuh PBB dan organisasi internasional lain.
Meski telah menggunakan hitung-hitungan matang, ternyata berbagai perkembangan dalam hitungan pekan atau bahkan jam menjelang sidang membuat Otoritas Palestina harus pontang-panting. Banyak ketidaksepakatan, baik di kalangan Palestina sendiri maupun negara-negara pendukungnya. Belum lagi ada upaya-upaya dari Washington dan Tel Aviv untuk menghadang jalan Palestina menuju Dewan Keamanan.
Beberapa hari sebelum pemungutan suara, Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry menelepon Menteri Luar Negeri Yordania, Arab Saudi, Mesir, Inggris, Cile, Lituania, Jerman, dan Prancis. Kerry juga menghubungi Presiden Rwanda, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Presiden Palestina Mahmud Abbas, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Netanyahu sendiri berbicara dengan Presiden Nigeria dan Rwanda, meminta mereka tidak mendukung rancangan resolusi usulan Palestina. Keduanya abstain dalam pemungutan suara.
"Menurut kami, ini tidak akan membantu perundingan di antara pihak-pihak yang bertikai. Kami khawatir terhadap kepentingan keamanan Israel," ucap juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika, Jeff Rathke.
Saat "lawan" tengah gencar melobi, kubu Palestina sibuk menjembatani berbagai ketidaksepakatan. Dari soal pemilihan waktu pemungutan suara di Dewan Keamanan hingga isi dan penggunaan kata-kata dalam rancangan resolusi yang diusulkan Palestina dan didukung negara-negara Arab.
Sebagian faksi di Palestina ingin rancangan itu segera dibawa ke Dewan Keamanan dan dilakukan pemungutan suara karena sudah adanya deklarasi rencana mendekati berbagai organisasi internasional, dengan prioritas Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court). Namun ada pula yang tak ingin buru-buru dan menginginkan pemungutan suara dilakukan tahun depan setelah ada pergantian anggota tak tetap Dewan Keamanan. Menurut mereka, bila dilakukan pada waktu itu, kemungkinan Palestina mendapatkan dukungan lebih banyak akan lebih besar. Beberapa diplomat Barat menyatakan, bila rancangan dibawa sebelum tahun baru, kemungkinan besar akan gagal mendapatkan dukungan sembilan negara.
Perdebatan lain adalah soal isi dan kata-kata dalam rancangan usulan resolusi. "Banyak orang Palestina, termasuk faksi-faksi politik, menolak rancangan resolusi Palestina (Arab) karena mereka menganggapnya bahkan hanya lebih sedikit dari (target) minimum," kata Khaldoun Barghouti.
Awalnya isi rancangan itu tak begitu tajam. Misalnya soal posisi Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina tidak disebutkan tegas. Juga masalah permukiman. "Faksi-faksi politik di PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) mengkritiknya. Juga faksi-faksi di luar PLO, misalnya Jihad Islam," ujar Barghouti, yang juga pengamat politik.
Dalam waktu yang sudah begitu dekat dengan pelaksanaan sidang di PBB, delegasi Palestina mengubah rancangan. Menurut Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Mailiki, beberapa perubahan, misalnya Yerusalem Timur, disebutkan akan menjadi ibu kota Palestina. Palestina juga menuntut kedaulatan penuh atas kawasan sebelum Israel menguasai Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur pada perang 1967. Mereka tak mengakui perubahan demografis dan geografis yang telah dilakukan Israel. Ditekankan pula bahwa semua permukiman melanggar hukum internasional.
Setelah itu, menurut penasihat hubungan internasional Presiden Palestina Mahmud Abbas, Majdi Khaldi, pemerintah memperbarui kontak dengan negara-negara anggota Dewan Keamanan. Mereka melobi agar mendapatkan dukungan.
Pada Senin pekan lalu, Duta Besar Yordania untuk PBB, Dina Kawar, membawa rancangan usulan delegasi 22 negara Arab yang telah diperbarui. Yordania merupakan satu-satunya negara Arab anggota Dewan Keamanan. Pada Selasa petang, pemungutan suara dilakukan. Amerika dan Australia menentang. Delapan mendukung, lima abstain.
Inggris, yang parlemennya telah menyatakan dukungan negara Palestina, menyatakan tak mendukung rancangan resolusi Palestina dan memilih abstain. "Ada beberapa masalah dengan teks, terutama bahasa pada skala waktu, bahasa baru untuk pengungsi," kata Wakil Tetap Inggris untuk PBB, Mark Lyall Gran.
Betapapun mengecewakan, hasil itu tak membuat pemerintah Palestina patah semangat. "Hasil pemungutan suara kemarin tidak menyurutkan hati kami," ujar Fariz N. Mehdawi. "Kami akan meneruskan upaya diplomatik kami untuk bergabung dengan berbagai lembaga dan konvensi internasional."
Hari berikutnya, tepatnya Rabu pekan lalu, pemerintah Mahmud Abbas menggelar rapat. Abbas menandatangani sekitar 20 dokumen traktat internasional yang membuat Palestina terikat dengan berbagai organisasi internasional. Salah satunya Statuta Roma, traktat pendirian ICC. Ini membuka jalan untuk menjadi anggota pengadilan internasional dan menjadi langkah pertama guna membawa Israel ke pengadilan kejahatan perang—tudingan yang berkaitan dengan operasi 50 hari di Gaza pada April tahun lalu. "Kami ingin mengeluhkan. Ada agresi terhadap kami, terhadap tanah kami," kata Abbas.
Langkah itu dianggap sesuai dengan keinginan sebagian rakyat Palestina. "Hari ini akan ada pertemuan penting para pemimpin Palestina. Harapannya mereka akan ke organisasi internasional lain, termasuk ICC," ucap Barghouti, sebelum rapat Rabu itu. Ini keinginan yang sudah didesakkan sejak Palestina diterima menjadi negara pengamat non-anggota PBB dua tahun lalu.
Purwani Diyah Prabandari (Haaretz, Al Arabiya, Reuters, BBC)
Peta Suara Dewan Keamanan | |||
Ya | TIDAK | ABSTAIN | |
Yordania | Amerika Serikat | Inggris | |
Cina | Australia | Lituania | |
Prancis | - | Nigeria | |
Rusia | - | Korea Selatan | |
Luksemburg | - | Rwanda | |
Chad | - | - | |
Cile | - | - | |
Argentina | - | - | |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo