Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SITUASI Myanmar memburuk sejak Operasi 1027, operasi militer Aliansi Tiga Persaudaraan—yang terdiri atas Tentara Arakan, Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang, dan Tentara Aliansi Demokrasi Nasional Myanmar—yang melancarkan serangan bersama terhadap Tatmadaw, militer Myanmar, pada 27 Oktober 2023. Mereka merebut sejumlah pos perbatasan strategis dan mengusir Tatmadaw dari 150 pos lebih di Negara Bagian Shan di dekat perbatasan dengan Cina—kemunduran terbesar junta sejak kudeta militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing pada 1 Februari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tempat lain, berbagai kelompok bersenjata juga bergerak. Mereka merebut sejumlah wilayah, termasuk kota besar, di Negara Bagian Karenni, Rakhine, Chin, Kachin, dan Kayin. Wilayah yang dikendalikan junta praktis menyempit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi ini berdampak pada kelancaran bantuan kemanusiaan dan medis untuk menjangkau masyarakat yang membutuhkan di seluruh Myanmar. Dokter Lintas Batas (MSF), organisasi internasional yang memberikan bantuan medis di banyak daerah konflik, menjalankan 25 mobil klinik keliling untuk menjangkau warga Rohingya di perdesaan di utara Negara Bagian Rakhine yang jauh dari kota besar. Sejak konflik meningkat pada Oktober tahun lalu, mereka praktis menghentikan seluruh kegiatan klinik itu karena otoritas setempat di bawah junta militer tak mengizinkan mereka melakukan perjalanan. “Tanpa izin, kami tak bisa bergerak,” kata Shinjiro Murata, Direktur Jenderal MSF Jepang, yang baru berkunjung ke Myanmar, kepada Tempo, Senin, 26 Agustus 2024.
Setelah keadaan sedikit berubah, pada Juli 2024 MSF sudah dapat mengaktifkan kembali mobil klinik mereka. Tapi, “Hanya satu dari 25 lokasi yang izin pergerakannya kembali kami dapatkan,” ujar Murata.
Hal ini membuat layanan kesehatan rutin di kawasan Rakhine utara terganggu dalam sekitar delapan bulan terakhir. Misalnya dulu mobil klinik MSF melayani lebih dari 6.600 pasien dalam sebulan. Tapi kini, dengan hanya satu lokasi yang bisa dijangkau, mereka cuma bisa menangani sekitar 700 pasien dalam sebulan.
Situasi keamanan yang memburuk juga menerpa para pekerja kemanusiaan. Kantor dan apotek MSF di Buthidaung, Rakhine, misalnya, dibakar sekelompok orang yang tak dikenal. Semua stok peralatan medis dan obat-obatan mereka musnah dan hingga kini belum bisa diisi kembali. Lebih dari 200 rumah di sekitarnya juga dibakar dan ratusan orang kehilangan tempat tinggal.
Menurut Murata, kesulitan MSF dan organisasi kemanusiaan lain dalam memberikan bantuan kemanusiaan dan medis disebabkan oleh kombinasi beberapa penyebab, yakni konflik yang meningkat, serangan yang membabi buta, dan masalah perizinan. “Satu-dua disebabkan oleh kedua belah pihak, bukan hanya oleh tentara resmi, melainkan juga oleh pihak lain.”
Pengungsi Rohinya mengunjungi fasilitas kesehatan milik MSF di kamp pengusian Cox Bashar, Bangladesh, Maret 2023. Dok. MSF
Peningkatan konflik di Myanmar juga mendorong gelombang pengungsian baru warga Rohingya yang menyeberang ke Bangladesh, terutama ke kamp pengungsi di Cox's Bazar. Orla Murphy, Perwakilan MSF di Bangladesh, menyatakan ada sekitar 2.000 pengungsi baru Rohingya yang memasuki Bangladesh belakangan ini. Pada awal Agustus 2024, mereka merawat sejumlah orang yang mengalami cedera karena kekerasan, seperti luka tembak, luka akibat ledakan, dan luka akibat ranjau darat, saat para pengungsi itu mencoba melarikan diri dari Myanmar.
“Yang kami lihat di klinik kami adalah pasien yang telah tiba dan mereka adalah orang-orang yang selamat. Mereka telah membayar sejumlah besar biaya transportasi dari Myanmar, menyeberangi Sungai Naf, ke Bangladesh,” kata Murphy kepada Tempo, Selasa, 27 Agustus 2024.
Menurut Murphy, tidak sedikit dari mereka yang tiba di Bangladesh berada dalam kondisi kritis karena kurangnya obat-obatan untuk menangani penyakit yang mengancam nyawa, seperti HIV dan tuberkulosis (TB). Hal ini terjadi karena obat-obatan tidak lagi tersedia di Rakhine.
Gelombang baru pengungsi ini menambah kepadatan kamp Cox's Bazar, yang dihuni sekitar 1 juta pengungsi Rohingya. Kondisi pengungsi di kamp diperburuk oleh berbagai kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok kriminal, hilangnya harapan akan masa depan, dan sulitnya mereka bekerja untuk memperoleh pendapatan. Di tengah situasi ini, kadang kala mereka menerima tawaran dari para penyelundup untuk membawa mereka ke negara lain. Mereka inilah yang kemudian menempuh perjalanan laut berbahaya yang pada akhirnya mengantarkan sebagian pengungsi yang selamat ke pantai-pantai di negara seperti Indonesia.
Menurut Shinjiro Murata, salah satu masalah utama di Cox's Bazar adalah gangguan kesehatan mental. MSF memberikan layanan konseling untuk 18.697 individu dan 2.550 kelompok selama Januari-Juni 2024. “Ada trauma dari periode 2017 dan kami memahami bahwa sangat sulit bagi orang Rohingya di sana untuk memiliki harapan akan masa depan mereka. Mereka tidak tahu kapan bisa kembali ke Myanmar. Mereka juga tahu situasi makin buruk di Rakhine,” ujarnya. “Yang saya pahami, mereka berharap kembali ke rumah mereka, tapi situasi keamanan tidak memungkinkan. Situasi seperti itu pasti sangat sulit dan hal tersebut menunjukkan sejumlah pasien memerlukan dukungan kesehatan mental.”
Tentara pemberontak beristirahat setela berlatih militer di Karen State, Myanmar, 9 Maret 2024. Reuters/Stringer
Selain itu, studi MSF pada Mei-Juni 2023 terhadap 680 rumah tangga menunjukkan bahwa hampir 20 persen pengungsi Rohingya di kamp tersebut terinfeksi hepatitis C aktif. Virus penyakit yang ditularkan melalui darah ini dapat tidak aktif dalam waktu lama pada mereka yang terinfeksi. Jika tidak diobati, penyakit ini dapat menyerang hati dan menyebabkan komplikasi serius atau bahkan fatal, biasanya sirosis atau kanker hati, dengan peningkatan risiko timbulnya beberapa kondisi, termasuk diabetes, depresi, dan kelebihan berat badan.
Masalahnya, pengobatan bagi mereka sangat terbatas. Selama Oktober 2020-Mei 2024, MSF telah mengobati lebih dari 8.000 pasien hepatitis C. Namun, dengan kemampuan sekarang, mereka hanya mampu menangani 150-200 pasien baru per bulan. “Kami tetap berkomitmen melanjutkan dan memperluas cakupan pengobatan karena studi prevalensi kami mengindikasikan bahwa ini termasuk prevalensi tertinggi di dunia,” kata Murphy.
Penyakit lain yang mewabah adalah kudis. Jumlah kasus penyakit ini meningkat pada 2021 dengan 73 ribu pasien yang telah dirawat, meningkat dua kali lipat dari 2019 dan terus naik pada 2022. Peningkatan tajam jumlah kasus kudis secara langsung terkait dengan kondisi kehidupan di kamp, tempat orang-orang berbagi tempat tinggal yang sempit dan tidak memiliki akses terhadap air bersih untuk mencuci pakaian, perlengkapan tidur, dan diri mereka sendiri. Begitu satu orang terkena infeksi yang sangat menular, penyakit itu dapat menyebar dengan cepat. Infeksi ulang juga sangat mungkin terjadi. MSF merawat 27.657 penderita kudis selama Januari-Juni 2024.
Murphy menuturkan, mereka juga menyaksikan kasus-kasus diare akut, yang tampaknya berkaitan dengan kondisi kamp yang kurang higienis dan keterbatasan air bersih. Namun, “Kami, bukan hanya MSF, melainkan juga aktor lain, tetap berusaha maju dan memastikan bahwa layanan kesehatan yang bermutu tetap tersedia di klinik-klinik,” ujarnya.
Konflik bersenjata di Myanmar telah memperburuk keadaan, baik bagi warga Myanmar maupun para pengungsi. “Kekhawatiran kami makin meningkat dari hari ke hari,” tutur Shinjiro Murata. “Kami benar-benar ingin menyampaikan bahwa situasi ini harus dihentikan dan semua pihak mesti menghormati penerapan hukum humaniter internasional dan melindungi warga sipil yang terjebak dalam konflik.”
Murata melihat bahwa Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN)—dengan Myanmar menjadi anggotanya—dapat berperan signifikan dalam mengatasi krisis ini. “Kami berharap mereka dapat melibatkan pihak-pihak terkait dalam konflik ini secara lebih proaktif untuk mengatasi masalah dan memperbaiki situasi,” ucapnya.
Sejak 2021, ASEAN menggunakan Lima Poin Konsensus sebagai kesepakatan dalam menangani krisis Myanmar. Konsensus itu mencakup pengakhiran kekerasan dengan segera, dialog di antara semua pihak, penunjukan utusan khusus, bantuan kemanusiaan oleh ASEAN, dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak. Namun, hingga saat ini, junta militer Myanmar mengabaikan poin-poin konsensus itu, yang penyusunannya dulu juga dihadiri pemimpin junta militer Min Aung Hlaing.
Anggota parlemen Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) menilai Lima Poin Konsensus telah “gagal total”. “Junta Myanmar yang dipimpin oleh Jenderal Senior Min Aung Hlaing tidak dapat dipercaya untuk memenuhi kewajiban yang diuraikan dalam perjanjian yang diusulkan,” kata mereka pada April 2023.
Bertepatan dengan hari peringatan genosida Rohingya pada 25 Agustus 2024, APHR kembali menyampaikan kekhawatiran mereka atas tindakan militer Myanmar. Perkumpulan itu mendesak komunitas internasional memberlakukan embargo senjata komprehensif terhadap junta, termasuk larangan total terhadap semua penjualan, transfer, dan pengiriman bahan bakar pesawat ke Myanmar.
Sementara itu, Dewan Administrasi Negara—nama resmi junta militer—masih sibuk menghadapi perlawanan kelompok-kelompok bersenjata. Sejak operasi militer Aliansi Tiga Persaudaraan pada Oktober 2023, junta diperkirakan kehilangan 60 ribu prajurit. Pada 31 Januari 2024, mereka mengumumkan perpanjangan “keadaan darurat”, yang diberlakukan sejak kudeta Februari 2021, selama enam bulan.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengatakan perpanjangan ini diperlukan untuk memastikan “perdamaian dan stabilitas, supremasi hukum, dan penyelenggaraan pemilihan umum demokratis multipartai yang sukses” serta buat meningkatkan “status sosial-ekonomi masyarakat”—janji yang ia sebutkan tiga tahun lalu tapi tak pernah terwujud.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Nabiila Azzahra berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Terjepit di Tengah Konflik".