Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Abdulrazak Gurnah mendapat Hadiah Nobel Sastra tahun ini.
Dia mengungsi ke Inggris ketika dipersekusi di Zanzibar.
Konsisten mengangkat isu tentang Afrika dan pengungsi.
“KEJAHATANKU adalah mengatakan kepada para gadis yang ikut kelas Minggu-ku bahwa mereka seharusnya tidak mau dikhitan,” tulis Abdulrazak Gurnah dalam Refugee Tales (2016), kumpulan memoar para pengungsi Inggris yang disunting David Herd. Bagi Gurnah, khitan adalah mutilasi alat kelamin yang merupakan praktik barbar dan terbelakang. “Lelaki memaksa perempuan melakukannya sehingga perempuan akan tahu bahwa mereka cuma sampah. Tujuan utamanya adalah menyakiti dan mengendalikan mereka.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika saatnya tiba untuk dikhitan, enam gadis menolak dan orang tua mereka pun berang. Inilah pangkal peristiwa yang membuat Gurnah mengungsi ke Inggris, menjadi sastrawan, dan akhirnya dianugerahi Hadiah Nobel Sastra pada 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdulrazak Gurnah lahir pada 20 Desember 1948. Dia Kristen keturunan Arab yang bermukim di sebuah desa yang mayoritas penduduknya muslim di Kesultanan Zanzibar. Negara bekas jajahan Inggris itu baru merdeka pada 1963, lima tahun sebelum Gurnah berbicara soal khitan.
Kesultanan itu dikuasai kaum Arab, suku minoritas di sana, selama seabad lebih. Pada Januari 1964, Partai Afro-Shirazi Afrika, partai kaum Afrika yang beraliran Marxis-Leninis, bersekutu dengan Partai Ummah, partai Arab kiri, menggulingkan pemerintahan Sultan Jamshid bin Abdullah. Mereka kemudian membentuk Republik Tanzania Bersatu.
Saat itu, Gurnah baru berusia 18 tahun. Sarannya kepada para gadis membuat orang desa gusar. Pada suatu malam, ketika mendengar tetangganya memarahi anaknya, Gurnah keluar rumah dan dihajar karena ikut campur urusan anak mereka. “Walaupun aku warga negara ini, aku seorang Kristen yang kini dituduh telah mencampuri urusan anak gadis mereka. Kau bisa bayangkan bagaimana menakutkannya.”
Tetangganya lalu pergi dan menggalang dukungan dari warga desa lain. Merasa terancam, Gurnah diam-diam mengayuh sepedanya menuju desa tetangga. Esoknya dia mendengar kabar rumahnya dibakar dan orang-orang memburunya.
Gurnah mengungsi ke kantor lembaga amal tempat dia bekerja. Bernard, pengurus lembaga itu, adalah orang Inggris dan sahabatnya. Pria itu menyarankan Gurnah mencari suaka ke Inggris. Atas bantuan teman-temannya, Gurnah akhirnya bisa naik pesawat Air Morocco dan terbang ke London.
“Saya datang ke Inggris ketika kata-kata seperti pencari suaka tidak persis sama—lebih banyak orang berjuang dan lari dari teror negara,” kata Gurnah kepada BBC pada Kamis, 7 Oktober lalu. “Dunia kini lebih keras daripada dulu, pada 1960-an, sehingga sekarang ada tekanan besar di berbagai negara yang aman dan secara tak terhindarkan menarik lebih banyak orang datang.”
Tiba di Inggris, Gurnah meminta suaka ke Departemen Dalam Negeri tapi berkali-kali ditolak. Dua dekade kemudian barulah permohonannya diterima. Pengalamannya sebagai pengungsi yang terlunta-lunta ini menjadi tema utama dalam semua karya fiksinya kemudian.
Gurnah berkuliah di Christ Church College, Canterbury, yang gelarnya kemudian diberikan oleh University of London. Dia lalu mengajar di Bayero University Kano di Nigeria selama 1980-1982 dan diangkat menjadi guru besar bahasa Inggris dan sastra pascakolonial di University of Kent pada 2004. Setelah pensiun pada 2017, dia masih mengajar di Kent sebagai guru besar emeritus.
Sebagai sastrawan, Gurnah telah menulis sepuluh novel dan sejumlah cerita pendek. Karyanya masuk daftar unggulan Booker Prize dan Los Angeles Times Fiction Prize serta mendapatkan sejumlah penghargaan, seperti ALOA Prize untuk karya terjemahan terbaik di Denmark dan Témoin du Monde Prize di Prancis.
Semua karyanya berangkat dari pengalamannya dan umumnya berlatar di Afrika, baik sebelum maupun setelah penjajahan Inggris. Karyanya menggaungkan keragaman budaya dan suku Afrika serta ekses dari Afrosentrisme, yang digambarkan sebagai kebencian terhadap keturunan Arab yang meledak setelah perginya musuh bersama mereka, Inggris.
Novel pertamanya, Memory of Departure (1987), misalnya, mengisahkan seorang remaja di Afrika Timur di masa Revolusi Zanzibar. Novel Paradise (1994) berbicara tentang peran orang Afrika dalam perdagangan manusia. Adapun novel The Last Gift (2011) menggambarkan kegagalan hidup seorang imigran asal Zanzibar di Inggris.
Yayasan Nobel Norwegia menganugerahinya Hadiah Nobel Sastra karena “penetrasinya yang tanpa kompromi dan welas asih terhadap efek kolonialisme serta nasib pengungsi di jurang antara budaya dan benua”. Dia menjadi pengarang Afrika pertama yang menerima hadiah ini sejak 2007. Komite Nobel Sastra menilai karya Gurnah jauh dari gambaran stereotipe tentang Afrika Timur dan, sebaliknya, menunjukkan keragaman budaya yang rumit yang kurang dikenal oleh kebanyakan orang di belahan dunia lain.
Sebelum Yayasan Nobel memberikan penghargaan, pemerintah Inggris sebenarnya telah mengakui sumbangan Gurnah di berbagai bidang, seperti pendidikan dan ekonomi. Laporan Dewan Pendanaan Pendidikan Tinggi untuk Inggris (HEFCE) tentang dampak pendidikan Inggris terhadap berbagai bidang pada 2014 memuat peran Gurnah. Studi lembaga pemerintah ini menunjukkan karya Gurnah telah mempengaruhi pengambil kebijakan, penyelenggara kebudayaan, kurikulum pendidikan, dan bacaan masyarakat secara global. Riset Gurnah, melalui novel dan cerita pendeknya, “Telah memperkaya dan membentuk kembali pemahaman publik tentang imperium dan konsekuensinya di lingkup internasional,” tulis lembaga tersebut dalam laporannya.
Gurnah telah memaparkan hasil risetnya tentang Samudra Hindia, Islam, perbudakan, dan migrasi di Inggris dan negara lain di berbagai forum. The History of the World in 100 Objects, serial BBC yang menampilkan hasil risetnya, misalnya, disebutkan telah disaksikan jutaan orang di seluruh dunia pada 2009. Kesuksesan berbagai acara televisinya telah membuat Gurnah dirangkul RichMix, organisasi seni dan budaya Inggris, untuk menerbitkan majalah SCARF, yang mengupas ihwal imigrasi dan keafrikaan di abad ke-21, pada 2013.
Novel Gurnah, Paradise, mulai menggantikan Things Fall Apart karya novelis Nigeria, Chinua Achebe, dalam kurikulum pascakolonialisme, seperti di Open University dan Birmingham University, Inggris. Paradise juga diajarkan di Lycée Balzac, Prancis, dan sejumlah kampus di Amerika Serikat. Di Afrika, novelnya diajarkan di Kongo, Zanzibar, dan Afrika Selatan. Ini belum termasuk kehadirannya di berbagai festival sastra di berbagai negara.
Di kampung kelahirannya, Gurnah pun diakui. Dia pernah menyampaikan nasihatnya tentang pendidikan kepada pendidik dan Kementerian Pendidikan di Zanzibar pada 2011. Ada pula konferensi khusus Gurnah tentang bacaan dan penggunaan teks sastra di Perpustakaan Nasional Zanzibar yang dihadiri para pengambil kebijakan pendidikan, guru, dan siswa yang kemudian disiarkan di televisi secara nasional.
Gurnah juga meneliti tentang pengungsian. Pada 1998, dia mewawancarai para pencari suaka di Roma serta para penasihat mereka dan wakil dari Dewan Pengungsi untuk acara BBC. Dia mempelajari konteks sejarah dan budaya yang melahirkan fenomena imigran baru ini. Novel By The Sea (2001) mengkombinasikan hasil riset ini dengan berbagai isu seputar syariat Islam.
Bagi Gurnah, Hadiah Nobel Sastra yang diperolehnya itu berarti isu-isu seperti krisis pengungsi dan kolonialisme yang dia alami akan didiskusikan. “Inilah hal-hal yang bersama kita setiap hari. Orang-orang sekarat, orang-orang terluka di seluruh dunia—kita harus menangani isu-isu ini dengan cara yang paling baik,” katanya kepada BBC.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo