Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita telah bertahun-tahun dalam pengorbanan, ber-tahun-tahun dalam peng-aniayaan, dan bahkan ber-tahun-tahun dalam ke--ta-kutan. Hari ini kita mengalahkan ketakutan itu,” kata Juan Gerardo Guaido Marquez, Ketua Majelis Nasional, parlemen di Venezuela, lewat sebuah video pada Selasa fajar, 30 April lalu.
Dalam video yang disiarkan di Twitter itu, tokoh oposisi yang mendeklarasikan diri sebagai Presiden Venezuela sementara pada Januari lalu tersebut mengklaim sebagai panglima angkatan bersenjata yang sah. Lelaki 35 tahun itu mengajak “semua prajurit, semua keluarga prajurit, bersama kami dalam upaya ini”.
Di belakangnya, berdiri sejumlah ten-tara. Tampak Leopoldo Lopez, pe--mimpin oposisi Partai Kehendak Rakyat dan mentor politik Guaido. Ia lawan politik tangguh Presiden Nicolas Maduro yang dibui setelah memimpin unjuk rasa antipemerintah skala besar pada 2014 dan menjadi tahanan rumah sejak 2017. Dia mengaku telah dibebaskan tentara yang menjaga ketat rumahnya dan turun ke jalan untuk bergabung dengan para demonstran.
“Kinilah saatnya. Kita akan meraih kebebasan dan demokrasi di Venezuela,” ujar Guaido dari kawasan Pangkalan Udara Generalisimo Francisco de Miranda. Pangkalan yang lazim disebut sebagai La Carlota itu terletak 11 kilometer dari Palacio de Miraflores, istana kepresidenan Venezuela di Karakas. Guaido mengajak rakyat memenuhi jalan untuk merebut kembali kebebasan.
Seruan itu disambut unjuk rasa warga di seluruh 23 negara bagian, termasuk di Ibu Kota Karakas. The Guardian menyebutkan puluhan ribu orang turun ke jalan hari itu. Televisi menayangkan rekaman video bentrokan demonstran dengan tentara pemerintah di mana-mana. Tembakan terdengar berkali-kali di Altamira, Karakas timur, yang menjadi basis kelompok oposisi. Bentrokan juga terjadi di jalan tol dekat pangkalan udara ketika para demonstran menaiki sebuah mobil dan menabrak barikade tentara.
Para tentara menunggang sepeda motor sambil menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa. Beberapa di antaranya membalas dengan melemparkan batu dan bom molotov. Panser-panser me--nyem-protkan air dan menabrak kerumunan massa agar bubar.
Kepala rumah sakit Karakas mengatakan kepada Associated Press bahwa para dokter telah merawat 50 orang yang cedera. Separuh di antaranya terkena peluru karet. Jurubith Rausseo, perempuan 27 tahun, me-ninggal di klinik karena kepalanya tertembak.
Malamnya, Presiden Maduro mengklaim tentaranya telah menggagalkan upaya “kudeta” itu. Dalam pidato sejam penuh, dia menuduh Guaido dan Lopez berupaya memantik konfrontasi bersenjata untuk memancing intervensi militer asing. “Ren-cana mereka telah gagal. Seruan me--reka gagal karena rakyat Venezuela meng-ingin-kan perdamaian,” tutur Ma--duro di----dam-pingi sejumlah elite militer dan politik.
Namun Guaido menolak mundur. Di tengah kerumunan massa di Altamira, ia berseru agar masyarakat terus berunjuk rasa damai setiap hari sampai kebebasan tercapai. “Kita berada di jalan yang tepat, tidak ada titik balik,” katanya.
Pemerintah Presiden Amerika Serikat Donald Trump langsung mengumumkan dukungannya terhadap kelompok oposisi. “Kami akan melakukan segala yang kami bisa, pendeknya, tahulah, yang peng-habisan,” ucap Trump kepada Fox News.
Trump juga mengancam akan men-ja-tuhkan sanksi dan embargo penuh kepada Kuba jika tidak menarik tentaranya dari Venezuela. Penasihat keamanan na--sional Trump, John Bolton, sebelumnya menduga Kuba menerjunkan tentaranya untuk mempertahankan kekuasaan Ma--duro.
Tapi Presiden Kuba Miguel Diaz-Canel membantahnya. “Kami dengan keras me-nolak ancaman Trump atas blokade penuh dan total terhadap Kuba. Tidak ada operasi militer atau pasukan Kuba di Venezuela. Sudah cukup kebohongan itu,” ujarnya.
Unjuk rasa massal yang disebut “Operasi Kebebasan” ini merupakan puncak da---ri perseteruan antara Maduro dan Guaido. Maduro, 56 tahun, adalah tangan kanan Hugo Chavez, pemimpin Revolusi Bolivarian yang mengkudeta Presiden Carlos Andres Perez pada 1992 dan memimpin Venezuela sampai wafat pada 2013. Maduro, bekas sopir bus di Karakas, kemudian terpilih sebagai presiden dari Partai Sosialis Bersatu melalui pemilihan presiden khusus dan terus berkuasa hingga sekarang.
Tapi krisis ekonomi dan politik melanda terutama sejak harga minyak, pendapatan andalan negeri itu, jatuh. Unjuk rasa besar pecah di mana-mana. Pemerintah Maduro membungkamnya dengan kekerasan. Tokoh-tokoh oposisi dipenjara atau melarikan diri ke luar negeri.
Maduro menggelar pemilihan umum pada 2015, tapi koalisi partai oposisi, Per-satuan Demokrasi, berhasil menguasai ma-yoritas kursi parlemen—pertama kalinya dalam 16 tahun terakhir. Sejak itu, gerakan menuntut Maduro mundur dimulai. Na-mun, melalui Mahkamah Agung, Ma--duro melucuti wewenang parlemen dan membentuk Majelis Konstituen pada 2017 yang diisi orang-orang yang setia kepadanya.
Maduro kemudian menggelar pemilihan umum lagi pada 20 Mei 2018 dan menang dengan curang. Tokoh oposisi dibui atau dilarang mencalonkan diri. Tak ada pengawas internasional dan para pemilih diancam akan dipecat jika tidak memilih Maduro. Mayoritas negara Barat menolak mengakui kemenangan Maduro. Kanada dan Amerika Serikat bahkan menjatuhkan sanksi ekonomi kepada negeri itu.
Saat itulah nama Juan Guaido, ketua parlemen sejak 2015, melejit. Dia kemudian menyatakan diri sebagai presiden se--mentara pada 23 Januari lalu karena menganggap kepemimpinan Maduro tidak sah. Sesuai dengan konstitusi, Guaido dapat ditunjuk sebagai presiden interim jika mengantongi restu dari mayoritas rakyat, komunitas internasional, dan militer. Guaido telah meraih dukungan parlemen dan pengakuan dari puluhan negara, terutama Amerika. Namun militer masih loyal kepada Maduro. Kampanye Guaido untuk mendesak Maduro turun berpuncak pada seruan “revolusi” pada Selasa fajar itu.
Puluhan ribu orang terus berunjuk rasa pada Rabu dan Kamis kemudian. Kepada surat kabar Brasil, Folha, Guaido mengatakan tak menginginkan campur tangan militer asing, tapi hal itu menjadi pilihan terakhir setelah mendorong transisi kebebasan. Selepas kudeta gagal pada Selasa itu, Guaido menyerukan ge--rakan berlanjut dengan mogok massal nasional.
Kamis, 2 Mei lalu, pengadilan me--ner-bitkan surat perintah penangkapan ter-hadap Leopoldo Lopez karena dia me--langgar putusan pengadilan yang me--wajibkannya tetap di rumah dan tidak berbicara kepada publik. Tapi Kementerian Luar Negeri Cile menyatakan Lopez bersama istrinya, Lilian Tintori, dan putri mereka telah mencari suaka ke Kedutaan Besar Cile di Karakas.
Lopez kemudian berlindung di rumah diplomat Spanyol di Karakas. Juru bicara pemerintah Spanyol menyatakan Madrid tak berniat menyerahkan Lopez kepada pemerintah Venezuela.
Di rumah itu, Lopez berbicara dengan sejumlah wartawan dan mengaku telah bertemu dengan sejumlah komandan militer dari berbagai sektor dalam tiga pekan terakhir menjelang kudeta gagal tersebut. “Kami berkomitmen mengakhiri perebutan kekuasaan ini,” katanya. “Re--takan yang terbuka pada 30 April lalu akan menjadi celah, dan celah itu akan membobol bendungan.”
Lopez tidak menyebutkan siapa saja perwira yang telah dia temui. Tapi Jenderal Purnawirawan Antonio Rivero dan perwira senior angkatan bersenjata mengatakan kepada Reuters bahwa beberapa perwakilan oposisi telah mendekati sejumlah tokoh penting angkatan bersenjata, termasuk para jenderal senior.
IWAN KURNIAWAN (BBC, REUTERS, THE GUARDIAN, AP, VOA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo