Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Sudah Cukup Pemilu Serentak Seperti Ini

Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Ilham Saputra:

4 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMILIHAN Umum 2019 yang digelar pada 17 April lalu menyisakan kabar duka. Hingga tengah pekan lalu, sebanyak 377 petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dan yang sakit mencapai 1.470 orang. Komisioner Komisi Pemilihan Umum sekaligus Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu, Ilham Saputra, mengatakan kejadian ini disebabkan oleh beban kerja petugas KPPS yang lebih besar dibanding pada serangkaian pemilu sebelumnya.

Surat suara pada pemilu kali ini bertambah menjadi lima jenis, yakni untuk presiden-wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Banyak pula warga yang pindah lokasi memilih. Menurut Ilham, hal ini membuat proses penghitungan suara menjadi lebih rumit. Karena kompleksitas inilah tak sedikit petugas KPPS merasa tertekan. “Di Kota Malang kami menemukan petugas yang mengalami depresi, menusuk perutnya sendiri, karena ada selisih suara yang betul-betul dia pikirkan,” kata Ilham, 42 tahun, di kantornya pada Kamis, 25 April lalu.

Pria berdarah Aceh ini menuturkan, format penyelenggaraan pemilu serentak harus diubah. Ia sepakat memisahkan pemilu nasional untuk presiden-wakil presiden, DPR, dan DPD dengan pemilu lokal untuk kepala daerah serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota dalam selang waktu dua setengah tahun. “Kami juga merasa masyarakat lebih concern pada pemilihan presiden,” ujar alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia itu.

Kepada wartawan Tempo, Reza Maulana dan Angelina Anjar, Ilham juga menjelaskan hubungannya dengan Yuga Aden, salah seorang kepercayaan calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Salahuddin Uno, sekaligus anggota Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. “Saya profesional,” ucap Ilham.

Mengapa banyak petugas KPPS yang meninggal?

Menurut saya, karena beban kerja yang lebih besar dibanding pada Pemilu 2014. Tekanan terhadap petugas kami juga begitu luar biasa. Misalnya soal pindah lokasi memilih. Penghitungannya lebih sulit karena jumlah surat suara presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota akan berbeda, tergantung daerah pemilihannya. Di Kota Malang kami menemukan satu petugas KPPS mengalami depresi, menusuk perutnya sendiri, karena ada selisih suara yang betul-betul dia pikirkan. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang meminta memilih dengan kartu tanda penduduk. Ada petugas yang termakan hoaks bahwa masyarakat boleh menggunakan KTP untuk memilih di mana saja. Ada juga petugas yang memiliki penyakit bawaan seperti jantung.

Banyak logistik terlambat sampai di tempat pemungutan suara. Apakah itu juga menyebabkan petugas kelelahan karena harus mempersiapkan TPS hingga larut malam?

Iya, bisa jadi karena menunggu logistik. Mereka mesti mendirikan TPS pada malam hari sebelum pencoblosan, kemudian bekerja lagi seharian saat pencoblosan.

KPU pernah melakukan simulasi pemilu yang prosesnya selesai pada pukul 24.00. Menurut laporan dari TPS, paling lama selesai pukul berapa?

Simulasi itu hanya sampai penghitungan, belum termasuk pengisian formulir C1. Menurut laporan, ada yang baru selesai pukul tujuh pagi.

Mengapa bisa terjadi perbedaan waktu begitu besar antara simulasi dan kenyataan di lapangan?

Kondisi setiap TPS tidak sama. Ada saksi yang terus-menerus bertanya. Ada juga jumlah surat suara yang tidak sesuai dengan jumlah pemilih sehingga harus dihitung ulang.

Apakah KPU sudah mengantisipasi jam kerja yang panjang itu akan menyebabkan petugas kelelahan?

Berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, selalu ada petugas yang meninggal. Tapi memang tidak semasif sekarang. Ini pemilu serentak yang pertama. Konstelasi politik meningkat begitu luar biasa. Jadi tekanan terhadap petugas kami untuk bekerja maksimal dan profesional cukup kuat. Mungkin ada petugas yang berpikir ideal, tapi ternyata di lapangan ada banyak persoalan yang mereka pikirkan. Mungkin juga mereka menjadi lupa makan atau minum obat bagi yang sudah memiliki penyakit bawaan.

Pada 2014, pemilihan anggota legislatif menggunakan empat surat suara, hanya berbeda satu surat dengan Pemilu 2019, tapi yang meninggal tidak semasif sekarang….

Seperti saya bilang tadi, konstelasi politik meningkat. Hoaks juga begitu luar biasa. Terus terang, KPU kewalahan karena terus-menerus diserang sejak sebelum pencoblosan. Seakan-akan apa yang KPU lakukan salah semua.

Mengapa jam kerja yang lebih lama itu tidak diantisipasi dengan, misalnya, sistem shift?

Ketika pemungutan suara, sudah ada tugas masing-masing. Tapi, ketika penghitungan, sebenarnya bisa diatur sendiri oleh ketujuh petugas KPPS yang ada di setiap TPS. Tinggal disesuaikan saja. Bisa gantian kalau ada yang capek.

Apakah beban kerja terberat memang ada pada ketua KPPS sehingga banyak yang meninggal?

Mungkin saja. Saya tidak menutup mata ada perbedaan pemahaman yang cukup mencolok pada petugas kami sehingga ketua KPPS merasa beban ada pada dirinya. Tapi saya belum mengecek data secara detail apakah yang meninggal paling banyak ketua KPPS.

Apakah tujuh petugas per TPS jumlah yang ideal?

Saya kira ideal.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Ilham Saputra (kiri), memberikan keterangan kepada wartawan mengenai aplikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara Pemilu 2019 di kantor KPU, Jakarta, 20 Maret 2019. ANTARA FOTO/Reno Esnir

Jumlah itu sama dengan pada pemilu sebelumnya. Dengan beban kerja lebih besar pada pemilu kali ini, mengapa tidak ditambah?

Dengan tujuh petugas per TPS saja, anggaran paling banyak digunakan untuk penyelenggara, terutama honor, 40-60 persen dari total anggaran.

Dalam seleksi petugas KPPS ada persyaratan tentang kesehatan?

Syaratnya standar sekali, yaitu surat keterangan sehat dari puskesmas dan sebagainya. Tapi itu syarat tidak wajib. Kami kan kekurangan petugas KPPS di banyak daerah. Mungkin karena honornya kecil tapi tekanannya besar.

Kalau pekerjaan seberat pada pemilu kali ini, akan makin banyak orang tidak mau menjadi petugas KPPS pada pemilu berikutnya....

Bisa jadi. Kami sudah mengirim surat kepada Kementerian Keuangan terkait dengan asuransi bagi petugas KPPS. Mungkin, karena waktunya mepet, Kementerian Keuangan menolak. Kami sedang mencari sumber daya untuk pemberian santunan bagi petugas KPPS yang sakit dan meninggal. Untuk Jawa Barat sudah disalurkan gubernurnya, Pak Ridwan Kamil. Untuk yang lain kami sedang melakukan verifikasi.

Bagaimana memverifikasi petugas KPPS yang benar-benar meninggal karena tugas?

Kami akan membuat tim verifikasi yang melibatkan KPU kabupaten/kota. Kami akan mewawancarai panitia pemilihan kecamatan dan panitia pemungutan suara. Surat keputusan bahwa yang bersangkutan adalah petugas KPPS pun harus ada.

Dengan banyaknya petugas KPPS yang meninggal, apa evaluasi dari KPU?

Sudah cukup pemilu serentak seperti ini. Menurut kami, ini merepotkan penyelenggara. Apalagi kemarin ada putusan Mahkamah Konstitusi yang memperpanjang waktu pendaftaran pindah lokasi memilih. Kami harus menunggu sampai semua data terkumpul. Belum lagi ada penyedia logistik yang kehabisan bahan baku. Akhirnya, di beberapa TPS, logistik terlambat sampai.

Bagaimana format pemilu yang ideal menurut KPU?

Berdasarkan pengalaman kami, paling tidak Undang-Undang Pemilu sudah ada tiga tahun sebelum proses pemilu dimulai. Untuk Pemilu 2019 kan baru ada pada Agustus 2017. Saya setuju dengan Profesor Mahfud Md. bahwa undang-undang yang harus direvisi pertama kali oleh siapa pun presiden yang nantinya terpilih adalah Undang-Undang Pemilu.

Ada usul memisahkan pemilu nasional dengan pemilu lokal….

Iya. Pemilu nasional memilih presiden, DPR, dan DPD, sementara pemilu lokal memilih kepala daerah, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Nah, waktunya berselang dua setengah tahun. Ini memerlukan perubahan regulasi. Lagi pula, menurut MK, ada perbedaan rezim pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif dengan pemilihan kepala daerah. Jadi bisakah pemilihan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota disatukan dengan pemilihan kepala daerah dan dianggap sebagai pemilu lokal? Selain itu, kami merasa masyarakat lebih concern pada pemilihan presiden. Ketika saya mencoblos di Aceh, ada ungkapan dari pemilih bahwa yang penting memilih presiden, yang lain terserah. Artinya, pemilihan anggota legislatif tidak lagi tersosialisasi dengan baik sehingga masyarakat tidak menganggap itu penting.

Anda setuju dengan usul itu?

Saya setuju sekali. Tapi, buat saya, yang terpenting adalah regulasinya. Kalau undang-undangnya sudah ada sejak jauh hari, oke. Kemudian jangan dibuat serentak yang seperti ini karena berat sekali bagi penyelenggara. Kalau bisa, tiga surat suara cukup.

Bagaimana kalau tetap serentak tapi secara elektronik atau e-voting?

Pertama, apakah infrastruktur kita sudah siap? Kalau di Jawa serta sebagian Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi, oke. Tapi bagaimana dengan Indonesia bagian timur? Memasukkan hasil scan C1 (dokumen berisi catatan penghitungan suara di TPS) ke Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU saja sinyalnya naik-turun. Lagi pula, ada kecurigaan yang begitu tinggi terhadap proses rekapitulasi.

Artinya, dengan e-voting, proses rekapitulasi bisa makin dicurigai?

Iya. Bahkan, di beberapa negara maju, masyarakatnya sudah meminta pemilu secara manual lagi. Di Filipina pernah terjadi kerusakan pada alatnya. Akhirnya mereka tetap menghitung secara manual hasil print dari alat tersebut. Selain itu, hacker kita kan jago-jago. Apakah sistem keamanan kita sudah mumpuni?

Banyak kesalahan entri data di Situng KPU. Ada yang menganggap kesalahan itu sebagai kecurangan. Tanggapan Anda?

Curang dari mana? Situng adalah bentuk transparansi KPU. Kalau kami tidak transparan, dari mana orang tahu bahwa ada C1 yang salah? Bagaimana orang bisa mengoreksi? Lagi pula, sampai saat ini, baru ada 105 salah entri dari sekitar 200 ribu data yang masuk.

Adakah yang disengaja?

Kami belum menemukan yang disengaja. Kalaupun ada, kami hajar. Sama seperti petugas KPPS, petugas entri data kami kelelahan. Kami punya 25 operator dan verifikator. Kami sudah memerintahkan mereka, jangan ada kesalahan lagi.

Kubu Prabowo-Sandiaga merasa kesalahan itu merugikan mereka.…

Ada juga salah entri yang menguntungkan pasangan calon 02 (Prabowo-Sandiaga). Lagi pula, walaupun salah, Situng bukan hasil resmi Pemilu 2019. Situng hanya berisi hasil scan C1 dari TPS. Memang ada beberapa kesalahan C1, misalnya jumlah pemilih berbeda dengan jumlah surat suara yang digunakan karena saksinya tidak ngeh. Tapi itu hanya bisa diperbaiki dalam jenjang rekapitulasi di atasnya, yakni di kecamatan, lewat formulir DA1. Jadi jangan melihat Situng karena C1 tidak bisa diutak-atik walaupun salah.

Ada pula kasus surat suara tercoblos sebelum pemungutan suara dimulai. Apakah karena petugas KPPS tidak netral?

Bisa jadi, walaupun itu perlu diinvestigasi. Seperti di Sumenep, Jawa Timur, kemungkinannya seperti itu. Kami langsung memecat semua petugasnya dan kami ganti. Bisa juga motifnya uang atau tekanan. Saat ini, dalam penghitungan di kecamatan, ada yang coba-coba memasukkan suara partai ke suara calon anggota legislatif. Jadi sedang ada persaingan antar-calon legislator dalam satu partai. Saya bilang, tidak bisa. Kalau ada yang melakukannya, itu pidana.

Anda dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena memiliki hubungan keluarga dengan Yuga Aden, anggota Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga….

Saya siap mengklarifikasi. Dia kan pernah bekerja di dunia infotainment, mantan wartawan, masak, saya melarang dia mendampingi Sandi? Sebelum ini ramai di media sosial, saya pernah menyampaikan kepada Ketua KPU bahwa Yuga abang saya. Malah saya kenalkan. Tapi saya profesional. Saya tidak pernah membuka satu pun rahasia kantor kepada Yuga dan tidak pernah sekali pun dia meminta saya memenangkan pasangan calon 02. Menurut kabar yang viral itu, hubungan abang-adik inilah yang menyebabkan server KPU down. Server mana yang down? Lagi pula, apa hubungannya?

Situs KPU sempat sulit diakses setelah pemungutan suara….

Memang lemot karena banyak orang mengakses. Selain itu, banyak serangan yang membuat lambat. Tapi sudah kami selesaikan.

Menurut pelapor, Anda seharusnya menyampaikan hubungan keluarga itu kepada publik….

Sudah saya sampaikan hal itu dalam rapat pleno. Setahu saya, hubungan keluarga yang mesti disampaikan kepada publik itu kalau dengan peserta pemilu.

Seberapa sering Anda berkomunikasi dengan Yuga?

Enggak sering. Kami sama-sama sibuk. Terakhir kali bertemu saat ibu kami meninggal pada 1 April lalu. Nah, karena itu, ketahuan. Di foto profil Facebook, saya pasang foto ibu. Di status Facebook Yuga yang terakhir, dia juga pasang foto ibu. Kami bertemu hanya selama tiga hari untuk tahlilan. Setelah itu, selesai. Enggak ada pertemuan khusus dengan dia soal pemilu.

Ada yang mengatakan perusahaan milik Yuga juga merupakan perusahaan Anda dan Anda menyuplai perusahaan itu dengan data….

Enggak ada. Tanya saja kepada pasangan calon 01, apakah pernah saya perlakukan berbeda? Begitu juga dengan pasangan calon 02. Ini soal integritas. Saya sudah memberikan klarifikasi kepada pasangan calon 01. Lagi pula, kalau ada perlakuan yang menguntungkan pasangan calon 02, pasti kelihatan. Tapi mekanisme yang ditempuh sudah benar, yaitu melaporkan hal ini kepada DKPP. Yang salah adalah memviralkannya, seakan-akan saya yang membuat server KPU down.

Ada pula tudingan Anda diusung koalisi partai pendukung Prabowo dalam pemilihan komisioner KPU di Komisi II DPR. Pembelaan Anda?

Salah. Saya tidak tahu siapa yang memilih saya. Dari 55 anggota Komisi II, ada 54 anggota yang memilih saya. Kalau cuma dari tiga partai yang disebut itu, cukup enggak?

 


 

Ilham Saputra

Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 21 Mei 1976

Pendidikan: STM Negeri 1 Budi Utomo, Jakarta (1991-1994), Diploma III Akademi Pimpinan Perusahaan, Jakarta (1995-1998), Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia (2000-2006)

Karier: Centre for Electoral Reform (1999-2004), Aceh Development Fund (2005-2008), Wakil Ketua Komisi Independen Pemilihan Aceh (2008-2013), Aceh Civil Society Task Force (2014-2017), Komisioner Komisi Pemilihan Umum (2017-2022)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus