Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Marapu menjadi penanda identitas terpenting orang Sumba.
Pada 2018, jumlah pemeluk Marapu di Sumba Timur diperkirakan sekitar 16 ribu orang.
Pemerintah Kabupaten Sumba Timur tak kunjung mengesahkan Marapu sebagai komunitas adat.
ALKISAH seorang peternak bernama Umbu Pala tiba di pesisir Pulau Sumba ratusan tahun silam. Berdiam di kawasan sabana bernama Yuara Ahu, dia melepas ternaknya untuk merumput. Di tempat itu pula dia mendirikan tempat hamayang atau sembahyang. “Umbu Pala mendoakan keselamatan ternaknya di situ,” kata Tay Daku Hamang, 80 tahun, kepada Tempo melalui seorang penerjemah pada 9 Agustus lalu. Daku Hamang adalah sesepuh kabihu—sebutan untuk marga—Mbarapapa, yang dipercaya sebagai keturunan Umbu Pala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Daku Hamang, cerita soal Umbu Pala diwariskan turun-temurun. Di padang rumput itu kini terdapat satu tempat hamayang yang dinamai Katuada Njara Yuara Ahu. Bentuknya adalah empat pohon rimbun setinggi belasan meter. Para keturunan Umbu Pala juga berdoa di situs bernama Bulla, mata air di Hutan Bulla, yang digunakan dalam upacara meminta hujan. Di dua tempat itulah lebih dari sepuluh marga yang tinggal di Kecamatan Umalulu bersembahyang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka menjadi bagian dari penganut Marapu. Ada juga pemeluk Marapu dari berbagai marga lain dengan leluhur dan tempat sembahyang berbeda-beda. Buku Injil dan Marapu: Suatu Studi Historis-Teologis tentang Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba Periode 1876-1990 karangan Frederiek Djara Wellem, dosen sejarah gereja di Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, Nusa Tenggara Timur, menyebutkan “marapu” merupakan kepercayaan terhadap Sang Pencipta, arwah nenek moyang, makhluk halus, dan kekuatan sakti yang dipercaya mampu memberi perlindungan dan pertolongan.
Antropolog dari Universitas Udayana, Bali, Purwadi Soeriadiredja, dalam disertasinya berjudul “Marapu: Agama dan Identitas Budaya Orang Umalulu, Sumba Timur” pada 2013 menjelaskan, kepercayaan Marapu menjadi penanda identitas terpenting orang Sumba, selain paraingu atau perkampungan besar dan kabihu atau marga. “Tatanan hidup beragama menjadi sumber tatanan hidup lain,” ucap Purwadi saat dihubungi pada Kamis, 17 September lalu.
Menurut Purwadi, penganut Marapu mengenal empat golongan dalam struktur sosialnya, yakni maramba atau bangsawan, rato atau imam, kabihu—bisa diartikan sebagai marga—atau orang merdeka, dan atta yang bermakna hamba. Golongan bangsawan memiliki posisi penting di tiap perkampungan atau paraingu. “Mereka juga biasanya berperan sebagai mangu tanangu atau tuan tanah,” Purwadi menulis dalam disertasinya.
Kehidupan penganut Marapu tak henti diwarnai tekanan dari penguasa. Purwadi mencontohkan, pada zaman kolonial, pemerintah Belanda berupaya mengubah kepercayaan mereka dengan mendatangkan pastor dan pendeta ke Pulau Sumba. Pada masa Orde Baru, mereka pun ditekan untuk memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah. Namun sebagian berkeras tak mengubah keyakinan. Sikap itu membuat para pemeluk Marapu kesulitan mengurus kartu tanda penduduk dan akta pernikahan.
Dalam acara dialog nasional yang digagas Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional pada 2018 di Jakarta disebutkan jumlah penganut Marapu di Sumba Timur sekitar 16 ribu orang. Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengakui eksistensi penganut Marapu. Pada 24 Februari 2015, direktorat di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan itu menerbitkan Surat Tanda Inventarisasi Organisasi Penghayat Marapu. Namun Pemerintah Kabupaten Sumba Timur tak kunjung mengeluarkan peraturan daerah yang mengesahkan Marapu sebagai salah satu komunitas adat.
Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora membantah tak mengakui eksistensi pemeluk Marapu. Dia mengklaim berupaya menyelamatkan Katuada Njara Yuara Ahu yang terancam rusak setelah kehadiran perkebunan tebu yang dikelola PT Muria Sumba Manis. Namun dia menilai penganut Marapu tak lagi melakukan hamayang di sana karena mayoritas sudah memeluk Kristen. “Tapi kami menghargai situs itu sebagai bagian dari budaya,” Gidion mengklaim.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo