Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bekas Ketua Mahkamah Agung Ebrahim Raisi terpilih menjadi Presiden Iran.
Dia dituduh terlibat dalam eksekusi sekitar 5.000 tahanan politik pada 1988 sehingga masuk daftar hitam Amerika Serikat.
Raisi sudah lama diprediksi akan menjadi pengganti Ayatollah Ali Khamenei.
BERJUBAH hitam-putih dengan turban hitam membekap kepala—simbol keturunan Nabi Muhammad dalam tradisi Syiah Iran—Ebrahim Raisi datang ke sebuah masjid di selatan Teheran pada Jumat siang, 18 Juni lalu. Calon Presiden Iran itu memasukkan surat suara ke sebuah kotak plastik dan kemudian melambaikan tangan kepada orang-orang yang sedang menunggu giliran mencoblos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, rakyat Iran berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara untuk memilih presiden, anggota parlemen, dan anggota Majelis Ahli, para ulama yang berwenang memilih Pemimpin Tertinggi Iran. Setelah memberikan suaranya di Teheran, Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei meminta masyarakat melakukan hal yang sama. “Semua suara diperhitungkan. Datanglah, coblos dan pilih presidenmu,” katanya seperti dikutip Al Jazeera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah dan Khamenei khawatir masyarakat kurang mendukung pemilihan umum sehingga mengurangi legitimasi pemerintah baru nanti. Berbagai jajak pendapat sebelum pemilihan menunjukkan rendahnya minat pemilih. Jajak pendapat Badan Pemungutan Suara Mahasiswa Iran, yang berafiliasi dengan pemerintah, misalnya. Khamenei memperingatkan bahwa jumlah pemilih yang rendah akan memperkuat musuh negara itu.
Pemilihan kali ini diwarnai aksi boikot dan kampanye “golongan putih”. Pada Rabu, 16 Juni lalu, sebanyak 110 aktivis politik dan sipil di negeri itu, termasuk Abolfazl Ghadiani, tokoh Organisasi Mujahidin Revolusi Islam Iran (MIRIO), menyerukan pemboikotan pemilihan. Berbagai tokoh dan kelompok, termasuk bekas presiden Mahmoud Ahmadinejad, juga menyatakan tak akan mencoblos dalam pemilihan ini.
Protes mencuat setelah Dewan Wali, lembaga di bawah Pemimpin Tertinggi yang berwenang menentukan para kandidat, mendiskualifikasi ratusan calon. Para kandidat yang tersingkir itu antara lain sejumlah tokoh reformis dan calon presiden, seperti Ahmadinejad, Wakil Presiden Es'haq Jahangiri, dan bekas ketua parlemen Ali Larijani. Jajak pendapat Iran International pada Mei lalu menunjukkan, jika Ahmadinejad maju, dia akan mendapat lebih banyak suara daripada bekas Ketua Mahkamah Agung, Ebrahim Raisi, kandidat yang dijagokan Khamenei.
Calon Presiden iran Ebrahim Raisi memberikan suaranya di sebuah tempat pemungutan suara diTeheran, Iran 18 Juni 2021. Majid Asgaripour/WANA (Kantor Berita Asia Barat) via REUTERS
Menjelang pemilihan, tiga calon presiden, yakni Mohsen Mehralizadeh, Ali Zakani, dan Saeed Jalili, mundur. Kursi presiden jadi rebutan empat calon, yakni Ebrahim Raisi; mantan Gubernur Bank Sentral, Abdolnaser Hemmati; Panglima Korps Garda Revolusi Mohsen Rezaei; dan anggota parlemen, Amir Hossein Ghazizadeh Hashemi. Dengan tiadanya nama-nama kuat, kemenangan Raisi tak terbendung. Pada Sabtu, 19 Juni lalu, ia dinyatakan unggul telak. Dari 28,6 juta suara yang masuk, sekitar 90 persen sudah selesai dihitung. Raisi mengumpulkan 17,8 juta suara.
Pemilihan presiden kali ini sangat penting karena akan menentukan penguasa Iran berikutnya. Ayatollah Khamenei kini berusia 82 tahun. Dalam waktu tak lama lagi, Iran memerlukan pemimpin baru. Ebrahim Raisi digadang-gadang sebagai penggantinya.
Menurut konstitusi, jika Khamenei wafat dan Majelis Ahli tak segera menentukan penggantinya, pemerintah akan dipimpin oleh suatu dewan sementara yang terdiri atas presiden, Ketua Mahkamah Agung, dan satu dari enam anggota Dewan Wali. Konstitusi tak menentukan batas waktu berlakunya dewan ini, yang memungkinkan dewan memimpin dalam waktu tak terbatas.
Ebrahim Raisol-Sadati Raisi lahir dari keluarga ulama pada 14 Desember 1960 di Masyhad, kota di Provinsi Razavi Khorasan, timur laut Iran. Kota ini terkenal sebagai pusat ziarah kaum muslim Syiah karena terdapat makam Imam Reza, imam kedelapan dari 12 imam Syiah. Ayatollah Khamenei juga berasal dari kota ini.
Pada usia 15 tahun, dia masuk Hawza Ilmiyah Qom, madrasah Syiah di Qom, dan kemudian berguru kepada Ayatollah Sayyed Muhammad Mousavi Nezhad. Pada 1976, dia kembali ke Qom dan berguru kepada beberapa ulama, termasuk Ayatollah Borujerdi, dan belajar di sekolah yang dikelola Ayatollah Pasandideh di bawah bimbingan Imam Khomeini, yang kemudian memimpin Revolusi Islam Iran.
Pada 1983, Raisi menikah dengan Jamileh Alamolhoda, putri Ayatollah Sayyid Ahmad Alamolhoda, ulama yang menjabat perwakilan Khamenei di Provinsi Razavi Khorasan. Jamileh adalah guru besar madya di Shahid Beheshti University, Teheran, dan Presiden Institute of Fundamental Studies of Science and Technology di kampus tersebut.
Di situs web pribadinya, Raisi mengaku telah meraih gelar doktor di bidang yurisprudensi dan hukum Islam di Shahid Motahari University. Ketika Revolusi Islam Iran pecah dan Shah Reza Pahlavi digulingkan pada 1979, Raisi terlibat dalam berbagai demonstrasi yang mendukung revolusi. Dia kemudian menjadi jaksa di berbagai kota, mulanya di Karaj pada 1981.
Pada 1988, Ayatollah Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran, mengeluarkan perintah pembentukan komisi khusus. Tugas komisi adalah mengeksekusi anggota Organisasi Mujahidin Rakyat Iran (PMOI), organisasi politik militan yang hendak menggulingkan pemerintah, dan kelompok kiri yang dinilai murtad.
Laporan Amnesty International pada 2018 memperkirakan sekitar 5.000 tahanan politik dieksekusi pada tahun tersebut dan mengungkap sejumlah pejabat yang terlibat, termasuk Raisi. Kasus pembantaian ini masih gelap karena hingga kini tak ada satu pun pengadilan digelar, meskipun banyak keluarga korban yang menuntut kasus tersebut diselidiki dan dibuka. Raisi tak pernah memberikan penjelasan atas tuduhan tersebut. Situs webnya juga tak menyebutkan ihwal periode berdarah ini. Pemerintah Amerika Serikat memasukkannya ke daftar hitam karena pelanggaran hak asasi manusia pada 2019.
Pada 1989, surat-surat kepada Khomeini yang ditulis wakilnya, Hossein Ali Montazeri, yang mempertanyakan soal eksekusi ini, bocor ke publik. Rekaman suara pertemuan Montazeri dengan para pejabat yang bertanggung jawab atas eksekusi itu pada Agustus 1988 beredar di Internet.
Amnesty melaporkan, dalam sebuah ceramah pada 2018, Raisi tidak membantah kabar pertemuannya dengan Montazeri. Tapi dia menekankan bahwa “selama periode itu, saya bukan ketua pengadilan. Ketua mahkamahlah yang menjatuhkan vonis, sementara jaksa mewakili rakyat”.
Penunjukan Khamenei sebagai Pemimpin Tertinggi baru pada 1989 mempercepat kenaikan Raisi di jajaran penyelenggara peradilan. Raisi menjadi Jaksa Agung Teheran pada 1989, Kepala Organisasi Inspeksi Umum pada 1994, Wakil Ketua Mahkamah Agung pada 2004, dan Ketua Mahkamah Agung pada 2014. Dia juga menjadi anggota Majelis Ahli dan jaksa di Pengadilan Khusus Ulama, yang mengadili serta menghukum para ulama.
Khamenei juga menunjuk Raisi sebagai Ketua Astan Quds Razavi, yayasan amal berpengaruh yang mengelola makam suci Imam Reza. Posisi ini memungkinkan Raisi menjalin hubungan dekat dengan Korps Garda Revolusi Islam, yang dikenal sebagai mitra ideologis dan penyokong ekonomi yayasan itu.
Jalan politik Raisi bermula ketika dia maju dalam pemilihan presiden melawan calon inkumben, Hassan Rouhani, pada 2017. Upaya ini gagal dan Raisi hanya mendapat 38 persen suara. Tahun ini, dia maju kembali dengan dukungan penuh Khamenei. Posisinya sebagai keturunan Nabi Muhammad juga memberi legitimasi kuat untuk memimpin negeri berbasis Islam itu.
Namun Raisi hanya sedikit berbicara mengenai kebijakan luar negeri. Di masa kampanye, dia lebih banyak melemparkan janji memperbaiki ekonomi dan mendorong peran perempuan dalam perekonomian. “Kami akan mengutamakan kepentingan nasional,” ucapnya dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi pemerintah. “Kami percaya bahwa sanksi yang menindas harus dicabut dan tidak ada upaya yang harus dilakukan (mengenai hal tersebut).”
Dalam debat calon presiden, Raisi menyatakan akan menerapkan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), kesepakatan nuklir Iran yang diteken di Wina pada 2015. Presiden Amerika Serikat Joe Biden berjanji bergabung kembali dengan JCPOA, yang ditinggalkan Amerika di bawah Presiden Donald Trump.
IWAN KURNIAWAN (Al Jazeera, Iran International, Radio Free Europe, BBC)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo