Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Copras-capres Zaman Sekarang

Robertus Robet
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

19 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA mulanya, presiden adalah sebuah peristiwa, bukan jabatan, apalagi kekuasaan. Kejadian itu dicatat pada 18 Agustus 1945, pukul 13.45-14.42 WIB. Munculnya Presiden Indonesia diantarkan dengan satu kalimat pendek, tanpa debat, tanpa basa-basi, tapi dengan penuh niat oleh Otto Iskandardinata:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berhubung dengan keadaan waktu, saya harap supaya pemilihan presiden ini diselenggarakan dengan aklamasi dan saya majukan sebagai calon yaitu Bung Karno sendiri. (Tepuk tangan.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sukarno menjawab:

Tuan-tuan, banyak terima kasih atas kepercayaan Tuan-tuan dan dengan ini saya dipilih oleh Tuan-tuan sekalian dengan suara bulat menjadi Presiden Republik Indonesia. (Tepuk tangan.)

Otto Iskandardinata menyatakan sebuah kalimat yang nyaris performatif: seperti mantra-mantra pendek yang tak sempat mengapung di udara dan dengan segera menjelma menjadi kenyataan. Sebagai predikat, presiden adalah kebaruan. Kebaruan untuk suatu negeri menjelang kemerdekaannya. Namun, sebagai “kenyataan kepemimpinan”, presiden di sana seperti sudah lama ada. Itu sebabnya Sukarno menyambut pendek saja ucapan Otto tersebut dan 23 anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menerimanya tanpa pertanyaan. Sukarno secara de facto diterima dan menjadi presiden bahkan sebelum jabatan itu ada sebagai sebuah predikat.

Yang juga penting dari peristiwa pendek itu adalah presiden pertama diadakan secara kilat. Dengan itu, Otto dan para anggota PPKI lain mengisyaratkan ada yang lebih penting dari presiden, yakni kemerdekaan. Dari situ kita tahu bahwa presiden lahir sebagai satu syarat saja dari suatu kesadaran kolektif, solidaritas untuk menyelamatkan proyek bersama “Indonesia merdeka”. Jadi aklamasi Otto boleh dibilang hanya meneguhkan kenyataan politik yang sudah diterima sebagai realitas oleh semua orang di masa itu. Dalam sejarah Indonesia, presiden pada mulanya adalah predikat sederhana yang tumbuh dalam kesukarelaan kolektif dan kesadaran akan universalitas perjuangan untuk kebebasan suatu bangsa.

Sejarah serupa terjadi dalam pengalaman presiden pertama di Amerika Serikat. Amerika adalah negara yang melahirkan jabatan presiden dalam sejarah umat manusia. George Washington adalah manusia pertama di planet ini yang menyandang jabatan itu. Amerika mengkreasi jabatan ini pada 1787. 

Presiden berakar dari kata Latin, “presidiare”, yang dalam bahasa Inggris berarti “to sit before” atau dalam bahasa Indonesia bisa kita terjemahkan secara longgar menjadi “orang yang punya wewenang duduk memimpin sidang”.  Sebelum dipakai sebagai nama untuk jabatan pemimpin negara, kata “presiden” dipakai untuk aneka nama jabatan. Salah satunya Presiden Harvard College.

Washington dipilih sebagai Presiden Amerika nyaris sebagaimana Sukarno dipilih sebagai Presiden Indonesia pertama. Washington dianggap sebagai pilihan pertama sekaligus satu-satunya yang paling pantas memimpin negara yang baru merdeka itu. Ia pemimpin dan pahlawan perang selama Revolusi Amerika. Ia juga warga favorit Virginia, yang di masa itu merupakan negara bagian terbesar di Amerika. 

Itu sebabnya dalam Constitutional Convention 1787, setelah diusulkan oleh Benjamin Franklin, ia secara aklamasi ditunjuk menjadi presiden. Jabatan ini dikukuhkan pada pemilihan presiden 1789, saat dia menjadi satu-satunya presiden dalam sejarah Amerika yang mendapat semua suara electoral college. Dalam suratnya kepada James Madison, Washington mengusulkan nama jabatannya “Presiden” tanpa embel-embel gelar kehormatan.  

Washington dan Sukarno adalah orang-orang pertama yang menjadi presiden bahkan sebelum jabatan itu ada. Mereka memimpin karena memperjuangkan seluruh cita-cita masyarakat baru. Jadi, dengan itu, jabatan presiden di sana lebih sebagai nama dari kesediaan mengemban tugas besar. Presiden adalah simbol pemimpin dalam perjuangan. Washington mengukir sejarah kepresidenan yang dimulainya secara gemilang dengan berhenti seusai periode keduanya. Sukarno, setelah membuka sejarah kepresidenan Indonesia dengan gemilang, mengakhirinya sebagai seorang autokrat, dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor III Tahun 1963 menjadi presiden seumur hidup. 

Dari dua kisah ini, kita melihat dua makna presiden. Yang pertama adalah presiden dalam orisinalitasnya sebagai peristiwa singular. Presiden sebagai pengemban misi suatu bangsa. Ia lahir dari sejarah yang tak mungkin direplikasi dan diulangi. Yang kedua adalah presiden sebagai jabatan publik dan pemegang kekuasaan yang dirutinkan.

Tergelincirnya seorang presiden ke dalam autokrasi, bahkan kediktatoran, hanya mungkin terjadi dalam suatu sistem saat jabatan presiden mulai dirutinkan sebagai jabatan dan kekuasaan—masa ketika ia menafsirkan dirinya sendiri sebagai wakil “yang satu” sehingga berkehendak terus menjadi satu-satunya. Dalam soal ini, kita mesti belajar dari Presiden Soeharto.

Dalam sejarah kekuasaan Indonesia, kehendak akan “yang satu” itu secara unik dan nyaris menakjubkan muncul dalam peringatan Hari Anak Nasional pada 13 Juli 1994. Kepada Presiden Soeharto, yang saat itu sedang menikmati 27 tahun masa kekuasaannya, Hamli, anak sekolah dasar dari Banggai, Sulawesi Tengah, bertanya: “Kenapa presiden di Indonesia cuma satu padahal Indonesia sangat luas?”

Jika dilihat dari kacamata sekarang, pertanyaan biasa ini bisa jadi sudah dirancang sebagai bagian dari public relations Istana Negara. Namun, dalam suasana politik masa itu, kekuasaan Presiden Soeharto nyaris menjadi jabatan yang keramat dan tak boleh dipertanyakan. Maka, sekalipun muncul dari mulut seorang anak SD, pertanyaan tersebut terasa “ngeri-ngeri sedap” buat penonton di masa itu.

Soeharto menjawab pertanyaan anak itu dengan pertama-tama menjelaskan bahwa, kalau Presiden Indonesia ada dua atau tiga orang, pemerintahan tidak berjalan baik. Kalau pemimpin banyak, ucap Soeharto, kapten negara rusak. Tapi presiden yang cuma satu itu, katanya, hanya menjalankan apa yang diputuskan rakyat. Soeharto melanjutkan bahwa, walaupun satu, presiden terikat kepada Garis-Garis Besar Haluan Negara, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi memang Presiden Indonesia tidak boleh (lebih dari satu), hanya satu saja untuk lima tahun. Setelah lima tahun boleh dipilih kembali. 

Sampai di sini, penjelasan Soeharto terasa normal dan masuk akal. Namun, setelah menjawab pertanyaan anak SD itu, Soeharto balik bertanya: “Kenapa kamu tanya begitu? Siapa yang suruh, hah? Karena hanya ingin tahu saja?  Kalau di rumah kan juga begitu, kan, bapak cuma satu.”

Melalui jawaban-jawaban itu, jelas bahwa Soeharto juga bermaksud mengklaim semacam singularitas peristiwa dari jabatannya. Dalam ungkapan post factum, Soeharto (dan semua autokrat) menyatakan bahwa ia tak pernah berpikir menjadi presiden. Ia hanya menerima tugas sebagai pejabat presiden pada 1967 untuk mengisi vacuum of power. Namun klaim singularitas peristiwa ini terasa hambar dan karena itu gagal, apalagi bersama kekuasaannya muncul persoalan besar kemanusiaan. 

Yang paling menarik justru ketika ia membuat metafora presiden dengan bapak di rumah. Di sini argumen Soeharto bergerak melampaui argumen teknis konstitusional. Ia masuk ke justifikasi kekuasaan dengan mengajukan paham kekuasaan yang dianutnya. Dengan membandingkan kekuasaannya yang “satu” sebagaimana kekuasaan “bapak di rumah”, ia menempatkan dirinya sebagai sentra dan pusat keutamaan seluruh kehidupan politik.

Satu presiden di sini bukan lagi masalah administratif atau kewajiban konstitusional. Satu presiden di sini adalah soal deklarasi atas sentralisme kekuasaan, kekuasaan tunggal yang tak boleh dibagi-bagi. Paham kekuasaan tunggal ini terbukti dianut oleh Soeharto. Ia berkuasa untuk dipilih terus-menerus per lima tahun pada 1968, 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan baru berhenti setelah diturunkan oleh gerakan mahasiswa pada 1998. 

Dari segi ini, kita mesti mencatat dan menghargai orang-orang yang dengan nekat mendeklarasikan diri sebagai calon presiden menantang Soeharto di masa kekuasaannya. Mereka tahu akan gagal, tapi dengan menempuh risiko hal itu dilakukan demi membuka kemungkinan perubahan. Mereka tak pernah menjadi presiden, tapi melalui tantangan itu mereka menjadikan presiden kembali sebagai peristiwa dan perjuangan.

Sejak reformasi 1998, presiden-presiden telah turun-naik silih berganti. Era pemilihan presiden langsung memunculkan industri baru di seputar jabatan ini. Yang pertama industri survei, yang kedua kini industri media sosial. 

Dalam suasana demokratis, banyak orang ingin menjadi presiden. Dulu presiden dimulai sebagai peristiwa yang singular, kini calon presiden dimulai dengan dua kemungkinan: kalau bukan dari “centre-centre” yang memakai nama tokoh, kemungkinan lain melalui survei, pemasaran, atau video-video pendek jalan-jalan ke pasar yang dirancang tim sukses mereka.

Sementara dulu presiden adalah pernyataan kerelaan langsung dan solidaritas yang tak membutuhkan lampiran visi dan misi, di masa kini banyak orang ingin menjadi presiden dengan mengandalkan curriculum vitae, spanduk, dan potongan poster di simpang-simpang jalan. Sementara dulu presiden muncul sebagai kualitas kepemimpinan yang kemunculannya mendisrupsi penindasan, kini para calon presiden mesti muncul dari anak tangga partai dan kalkulator para oligark.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus