Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELANTIKAN Nicolas Maduro Moros sebagai Presiden Venezuela merupakan permulaan berat. Saat dia hendak berpidato Jumat dua pekan lalu, corong pengeras suara bekas sopir bus yang berkarier politik hingga bisa menjadi lingkar sahabat terdekat pemimpin revolusi Venezuela, Hugo Chavez, ini diserobot seorang pria berpakaian merah.
Tanpa basa-basi si pria langsung meneriaki Maduro dengan lantang. Ia pun berlaku sangat agresif seolah-olah hendak menyerang Maduro. Kelakuannya menghebohkan seisi ruang resepsi. Beruntung aparat keamanan segera menangkapnya. Insiden itu menjadi riak awal kepemimpinan Maduro di negara yang akan ia pimpin selama empat tahun mendatang.
"Saya tak mengerti terhadap kinerja keamanan sekarang ini," katanya menggerutu kepada media, seperti dikutip Reuters, seusai pidato pengukuhannya. Maduro merasa Venezuela kini tak seaman saat Chavez berkuasa. Banyak kondisi berubah seiring dengan kepergiannya.
Sejak pemilihan umum pada 14 April lalu, Venezuela terbelah dua. Satu kubu berada di pihak Maduro, yang ingin melestarikan semangat revolusi El Comandante—julukan Hugo Chavez Frias—yang wafat karena kanker. Sedangkan di pihak lain, warga berdiri di jalanan bersama para pemimpin oposisi. Jumlah keduanya tak berbeda jauh, terpaut sekitar 235 ribu orang saja atau setara dengan 1,8 persen dari total 19 juta pemilih.
Di malam setelah pemilihan, sekelompok orang tak dikenal tiba-tiba mengamuk di beberapa bagian pinggir Karakas, ibu kota Venezuela. Rumah sakit diserang, markas besar sayap kiri dibakar. Tertulis ancaman-ancaman kematian di dinding kota bagi aktivis Chavismo—gerakan revolusi Bolivarian Chavez. Tercatat delapan anggota Chavistas tewas. Bentrokan antara pendukung Chavez dan pihak oposisi pun tak terhindarkan beberapa kali.
"Setelah Venezuela tenggelam dalam kekaguman selama 14 tahun di bawah kepemimpinan Sang Komandan, kini Maduro dihadapkan pada kondisi nyata demokrasi," ujar David Segarra dalam tulisannya yang diunggah di situs venezuelaanalysis.
Negara pemilik cadangan minyak terbesar di dunia itu, kata Segarra, kini menghadapi serangan-serangan tak terlihat yang tak jelas asalnya. Maklum, negara-negara besar—salah satunya Amerika Serikat—kesal kepada Venezuela. Lantaran sejak Venezuela dipimpin gerakan sayap kiri, Abang Sam nyaris tak punya lahan pengeboran minyak di sejumlah lepas pantai negara tersebut. Semua dinasionalisasi.
Menurut data World Energy, Venezuela berada di urutan teratas dalam hal cadangan minyak dunia dengan 296,5 miliar barel per tahun, disusul Arab Saudi (265,4 miliar barel per tahun). Namun Venezuela tak termasuk negara yang berpengaruh dalam industri minyak dunia karena produksi dan investasinya seret. Di bawah kepemimpinan Chavez, produksi minyak nasional mandek di angka tiga juta barel per hari. Investasi baru yang dilakukan perusahaan minyak nasional, PDVSA, hanya mencapai US$ 11 miliar, jauh di bawah Petrobras (Brasil) yang bisa menghasilkan US$ 42 miliar. "Dulu itu dilihat sebagai kebodohan Chavez, tapi kini berbalik. Cadangan minyak dan semua kekayaan lain merupakan kekuatan baru bagi Maduro sebagai daya tawar baginya untuk berbicara di dunia internasional," ucap Segarra.
Venezuela di bawah kepemimpinan Maduro dijanjikan tak akan jauh berbeda dengan saat dipimpin Chavez. Bahkan, dalam pidato pengukuhannya seperti dikutip New York Times, Maduro tegas berkata akan menggunakan tangan yang lebih tangguh daripada Chavez demi mempertahankan semangat revolusioner kaum gerilya. Terbukti, dalam sepekan pemerintahannya, perombakan besar-besaran dilakukan; kabinet disterilkan dari unsur oposisi; bahkan para pegawai rendahan yang ketahuan mendukung lawan politik dibebastugaskan.
Namun, di balik kesangarannya itu, rupanya Maduro berpikir betul soal investasi yang mandek. Walau ia tak punya program baru, ada sedikit langkahnya membuka diri, termasuk kepada Amerika Serikat. Rabu pekan lalu, dia mengawalinya dengan mengganti Kepala Misi Diplomatik Venezuela di Washington. Calixto Ortega, yang sebelumnya duduk di parlemen Amerika Latin, diutus Maduro melobi pemerintah Presiden Amerika Barack Obama, yang baru bulan lalu memutus hubungan komunikasi dengan Venezuela. "Ia yang paling tahu soal Amerika Serikat. Sekarang kami ingin hubungan terbaik dengan semua bangsa di dunia, tapi atas dasar saling hormat, bukan ancaman dan saling curiga," kata Maduro seperti dikutip venezuelaanalysis.
Jawaban Amerika masih dingin. "Kami tak mengetahui adanya upaya melonggarkan sanksi kepada Venezuela belakangan ini," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri, Patrick Ventrell. Namun tanggapan ini tak membuat Maduro mengurungkan niat. Sejawat Chavez di Bolivarian Revolutionary Movement 200 (MBR-200) itu bertekad membuka saluran komunikasi dengan dunia luar. Maduro sadar dia tak seagung Chavez, yang ia kenal sejak 1980. Karena itu, dia butuh dukungan tak sekadar dari para Chavistas.
Toh, Maduro tetap bersetia kepada El Comandante. Sebuah buku berisi ajaran dan garis besar pemikiran Chavez tak pernah lepas dari genggamannya. Namun dia juga perlu bergegas meneruskan usaha pengentasan rakyat miskin. Berdasarkan data statistik pemerintah Venezuela, El Comandante telah mengangkat taraf separuh kehidupan orang miskin di Venezuela dari yang asalnya 80 persen dari 35 juta menjadi tinggal 40 persen. "Itu terus memotivasi saya," kata Maduro.
Sandy Indra Pratama
Orang Indonesia di Pentas Maduro
TIGA pekan lalu sebelum pemilihan umum di Venezuela berlangsung, pada sebuah panggung di ujung jalan lurus yang sengaja dibendung di Guatire, calon presiden Nicolas Maduro Moros menyebut nama Indonesia. Di hadapan ratusan ribu pendukung, ia menyeret seorang pria berbalut kemeja batik putih dengan syal hijau khas gerakan petani dunia.
ambut dan kenalkan ini saudara saya, Henry Saragih, ujar lelaki 50 tahun ini sambil menggenggam dan mengangkat tangan pria asal Indonesia itu ke udara, seperti tayangan di portal YouTube yang diunggah Multimedio VTV.
Setelah memperkenalkan, Maduro menyerahkan gelanggang kampanyenya itu kepada Henry, Ketua Serikat Petani Indonesia yang juga menjabat Koordinator Jenderal Organisasi Petani Internasional (La Via Campesina). Henry berorasi mendukung Maduro. ¡±Saya datang menyokong perjuangan Venezuela melalui dukungan estafet kepemimpinan dari Chavez kepada Maduro. Sebab, kelangsungan perjuangannya bukan hanya untuk rakyat Venezuela, melainkan juga buat kaum miskin yang ada di dunia,¡± katanya. Setelah berbicara, Henry menghadiahi sebuah karya drawing dari seniman Indonesia bergambar dirinya bersama Chavez dan Maduro berlatar gunung dan lahan pertanian.
Dua pekan setelah kampanye itu, Henry bercerita kepada Tempo seputar pengalamannya. Menurut dia, kesempatan berawal dari undangan yang diterima lewat pesan pendek di telepon selulernya satu bulan sebelumnya. "Undangan disampaikan oleh ketua serikat petani Venezuela untuk menghadiri kampanye menunjukkan solidaritas sekaligus undangan untuk berziarah ke makam El Comandante," ucap pria kelahiran Deli Serdang itu.
Henry tiba di Karakas sehari sebelum kampanye. Tak ada satu pun informasi soal dirinya akan didapuk berbicara di atas pentas. Itu semua inisiatif Maduro. "Buah tangan tak direncanakan diberikan di atas panggung," kata pria 49 tahun yang sejak 2006 akrab dengan Hugo Chavez itu.
Sandy Indra Pratama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo