Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konflik antara masyarakat adat di Papua dengan perusahaan kayu telah berjalan puluhan tahun.
Masyarakat terpinggirkan dari hutan yang menjadi ruang hidup mereka.
Masyarakat yang memprotes ulah perusahaan kerap mendapatkan intimidasi dan kekerasan serta cap anggota gerakan separatis.
SETAHUN lalu, 27 Juli 2020, tiga marga yang menghuni wilayah lintas negara Kampung Naga di Boven Digoel, Papua, dan Kampung Kuem di Papua Nugini, mengirim surat gugatan kepada PT Tunas Timber Lestari. Perwakilan marga Kuranop, Ekogi, dan Gembenop memprotes operasi anak usaha Korindo Group itu karena masuk wilayah adat mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat adat cemas Korindo melakukan praktik seperti tahun sebelumnya yang membabat hutan lalu menanaminya dengan sawit melalui izin baru dan anak usaha baru. “Kami sudah terlampau marah,” tutur Kaspar Ekogi, 68 tahun, pada akhir April lalu. “Kami dianggap orang asing di tanah sendiri.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT Tunas Timber Lestari berdiri pada 20 April 2010. Perusahaan ini mengantongi izin hak pengusahaan hutan Papua seluas 214.935 hektare dari Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Wilayah konsesi Tunas Timber meliputi distrik Jair, Kombut, Mindiptana, dan Sesnukt di Kabupaten Boven Digoel, kabupaten paling timur Papua di perbatasan Papua Nugini.
Pembukaan hutan di RKT 2021 PT Inocin Abadi yang diduga sudah dibuka di tahun sebelumnya. Forest Watch Indonesia/Aziz
Pemilik perusahaan ini adalah Kim Hoon, Arifin Tatang Nurshofwan, dan Vinoba Chandra. Modal awal Rp 5 miliar sebagian besar dipasok PT Pelayaran Korindo, sedangkan sisanya dari PT Bade Makmur Orissa. Dua perusahaan itu milik Korindo Group, konglomerasi Korea Selatan yang beroperasi di Indonesia sejak 1969.
Menurut catatan PT Ayamaru Sertifikasi, yang menilai kinerja pengelolaan hutan produksi lestari pada 2018, PT Tunas Timber Lestari awalnya bernama PT Tunas Sawaerma yang mengantongi izin sebagai perusahaan kayu pada 1989. Operasi Tunas Timber baru dimulai pada 2010 setelah mendapat perpanjangan izin pada 2009 dari Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban.
Kaspar mengingat, pada tahun itu, manajemen Tunas Timber mengumpulkan seluruh masyarakat adat pemilik ulayat di Distrik Getentiri. Perusahaan berjanji meningkatkan kualitas kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan masyarakat jika penduduk adat bersedia melepas lahan mereka. “Sampai sekarang ganti rugi tidak pernah ada,” ujarnya.
Menurut Gerson Gembenop, tokoh marga Gembenop, perusahaan memberikan bagi hasil kepada masyarakat pemilik ulayat Rp 10 ribu per meter kubik kayu, yang tak pernah berubah sejak 2010. Uang diberikan secara kolektif kepada ketua dusun dua kali setahun Rp 150 juta.
Ketua dusun adat membagikan uang itu merata ke setiap orang pemilik tanah ulayat, termasuk anak-anak. Setelah dibagi, setiap orang menerima Rp 500-600 ribu setahun. Padahal Gerson tahu kayu meranti dari tanah adat yang dijual Tunas Timber berharga Rp 5-13 juta per meter kubik.
Gerson mengatakan, sebelum Tunas Timber datang, mereka hidup sejahtera. Dari berburu, memancing, dan menjual rotan dan damar, setiap orang mendapat Rp 10 juta per bulan. Gerson pernah bekerja serabutan di Tunas Timber dengan gaji yang acap dipotong tanpa alasan. Rata-rata gaji buruh seperti dia Rp 700 ribu per bulan. Sementara itu, harga bahan pangan di Papua dua-tiga kali lipat lebih mahal dari harga pangan di Jakarta. Sementara harga sekilogram telur Rp 24 ribu, di Papua bisa tembus Rp 40 ribu.
Manajemen PT Tunas Timber, menurut Gerson, tak transparan mensosialisasi rencana penebangan. Akibatnya, masyarakat adat tak tahu kapan hutan di tanah ulayatnya ditebang. “Mereka tebang dulu baru minta izin,” ucap laki-laki 54 tahun ini.
Di luar penebangan, hutan ulayat juga ditebang untuk akses jalan. Laporan Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Manokwari menyebutkan lebar jalan utama Tunas Timber rata-rata 12 meter sejauh 30 kilometer dan jalan cabang selebar 8 meter sejauh 70 kilometer.
Belakangan, Tunas Timber juga menebang kayu Cina (Podocarpus sp). Padahal, Kaspar Ekogi menjelaskan, tak ada jenis kayu ini yang masuk rencana kerja produksi Tunas Timber. “Ini membuat kami makin kesal karena hutan dibabat habis,” katanya.
Diameter kayu Cina yang ditebang juga di bawah 40 sentimeter, batas lingkar pohon yang boleh dibabat. Menurut aturan Tebang Pilih Tanam Indonesia dan Tebang Rumpang, diameter pohon yang boleh ditebang di hutan daratan tanah kering 30 tahun mesti di atas 40 sentimeter. Akibat tebang habis ini, penduduk tiga marga kesulitan mencari sagu, makanan pokok orang Papua.
Masalahnya, masyarakat adat tak bisa berbuat banyak. Menurut Kaspar, jika ada penduduk memprotes, esoknya datang tentara atau polisi. Dengan intimidasi seperti itu, penduduk adat lebih memilih bungkam. Mereka paling takut dicap sebagai anggota gerakan separatis jika memprotes ulah Tunas Timber.
Masyarakat adat selalu ingat kejadian pada 2018. Waktu itu Linus Omba, Ketua Kampung Naga, berurusan dengan Korindo Group. Tanah ulayat Linus masuk wilayah konsesi PT Inocin Abadi, juga anak usaha Korindo Group. Ia pun memasang salib kayu berwarna merah setinggi empat meter di wilayah PT Papua Agro Lestari, perusahaan perkebunan sawit Korindo Group.
Di wilayah konsesi itu Linus juga memasang papan bertulisan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2002 yang menyebut hutan adat bukan hutan negara. Bendera Merah Putih juga dipasang agar ia tak dicap sebagai anggota kelompok separatis. Hasilnya, polisi mendatangi rumahnya. Mereka membawa Linus ke kantor Kepolisian Sektor Asiki. Para polisi memaksa laki-laki 42 tahun ini mencabut salib dan bendera. “Di dekat telinga saya mereka menembakkan pistol,” tuturnya.
Pangkal kemarahan Linus adalah ketika manajemen PT Inocin berunding dengan Ketua Adat Suku Marind mengenai lahan yang masuk dalam rencana kerja tahunan 2015-2020. Masalahnya, menurut Linus, lahan yang diklaim suku Marind itu adalah tanah ulayat warga Omba dari suku Wambon Tekamerop.
Tempat penimbunan kayu PT Tunas Timber Lestari di dalam kawasan hutan. Forest Watch Indonesia/Aziz
Sepanjang 2015-2018, ia meminta bernegosiasi dengan Inocin dan dipertemukan dengan Ketua Adat Marind untuk meluruskan persoalan. “Perusahaan tidak mau ikut campur, malah meminta kami berunding secara adat dengan orang Marind,” ujarnya.
Manajer Advokasi Yayasan Pusaka Tigor Hutapea mengatakan pola yang kerap digunakan perusahaan untuk menguasai wilayah adat adalah dengan menciptakan konflik di antara masyarakat adat. "Duduk adat seringkali tidak membuahkan solusi karena perusahaan berani investasi uang agar masyarakat yang pro perusahaan tetap berpihak kepada mereka," kata dia.
Manajer hubungan masyarakat Korindo Group, Yulian Mohammad Riza, membantah jika tindakan perusahaannya menyebabkan konflik horizontal suku adat di Papua. “Mekanisme mendapatkan izin dari pemilik ulayat sudah sesuai dengan prosedur,” katanya dalam keterangan tertulis pada 29 Juli lalu. Ia menjelaskan penyelesaian konflik antarmarga diserahkan kepada suku-suku yang bersengketa.
Korindo, menurut Yulian, hanya bertindak sebagai penerima izin. Ia mengklaim konflik perusahaan dengan masyarakat adat sudah selesai. Ia menunjukkan bukti Korindo mendapat pengakuan Tropical Forest Foundation melalui studi social impact assessment (SIA), sebagai salah satu indikator Forest Stewardship Council tak lagi mengalami konflik perusahaan dengan masyar
Menanggapi kekisruhan ini, Bupati Boven Digoel Hengky Yaluwo berjanji memanggil semua pengelola perusahaan di wilayahnya untuk memperbarui hubungan dengan masyarakat adat. “Kepentingan masyarakat adat harus didahulukan oleh para pengusaha di sini,” katanya. Hengky berjanji tak segan mengusir perusahaan yang tak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat adat.
Ancaman Hengky didahului FSC. Lembaga nonprofit sertifikasi pengelolaan hutan dari Bonn, Jerman, ini mencabut sertifikat Korindo di Papua pada 16 Oktober dengan alasan “kegagalan menyepakati verifikasi independen.” Salah satu pertimbangan pencabutan adalah pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi perusahaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo