Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Untuk menekan harga minyak sawit, pemerintah membuat kebijakan biodiesel yang dananya diambil dari pungutan ekspor CPO.
Subsidi biodiesel nyatanya dinikmati konglomerasi perusahaan sawit besar.
Petani yang seharusnya disubsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit malah terlilit utang, deforestasi juga meluas.
Subsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) lebih banyak dinikmati pengusaha karena mereka ikut menentukan harga biodiesel B30 di rapat Komite Pengarah yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian. Sementara itu, petani sawit terlilit utang untuk meremajakan tanaman. Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan ada potensi kerugian negara dalam subsidi biodiesel Rp 4,2 triliun per tahun. Pengadaan biodiesel yang terpengaruh harga minyak sawit mentah (CPO) juga mendorong deforestasi.
ACARA di Desa Libo Jaya pada 24 Februari lalu itu sebenarnya sosialisasi peremajaan sawit rakyat oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sebagai Ketua Komite Pengarah, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto datang ke desa di Siak, Riau, itu. Ada sekitar 300 petani kelapa sawit yang menghadiri acara bertajuk “Penanaman Perdana Program Peremajaan Sawit Kemitraan Strategis” tersebut. Sinar Mas dan BRI menjadi sponsornya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tolen Ketaren tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ketua Umum Asosiasi Sawitku Masa Depanku (Samade) ini butuh cantelan pejabat pusat sebagai pembina organisasi yang menaungi 14 ribu petani sawit di Riau itu. Serangkaian lobi dan pembicaraan agar Airlangga mau menjadi pembina ia lakukan sejak tahun sebelumnya. “Kami memang meminta beliau,” kata Tolen pada Senin, 4 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada September 2021, misalnya, Tolen datang ke ruang kerja Airlangga di lantai 3 Gedung Ali Wardhana di Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Hadir juga Menteri Luar Negeri Retno P. Marsudi. Bagaimana Tolen bisa bertemu dengan pejabat-pejabat tinggi Indonesia? “Difasilitasi oleh Bapak Tumanggor,” ujar Tolen menyebut panggilan Master Parulian Tumanggor.
M.P. Tumanggor adalah Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia. Dia Bupati Dairi, Sumatera Utara, pada 1999-2009. Ia juga Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi). Dengan jabatan dan kedudukannya itu, Tumanggor acap ikut rapat pembahasan biodiesel—produk turunan minyak sawit—bersama pemerintah. “Kami tak punya akses langsung ke Pak Menteri,” ucap Tolen.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto meninjau stan pameran usai Penanaman Perdana Program Peremajaan Sawit Rakyat di Desa Parit Gajah, Kabupaten Siak, Riau, 24 Februari 2022. ANTARA/Rony Muharrman
Airlangga Hartarto pun bersedia menjadi Ketua Dewan Pembina Samade. Pengukuhannya di sela acara program peremajaan sawit di Desa Libo Jaya itu. Tolen Ketaren berdiri di samping Airlangga memegang bendera organisasi didampingi para pengurus Samade. Akun Instagram Airlangga membagikan foto pengukuhan itu beberapa menit setelah acaranya selesai.
Di media massa, acara ini ramai menjadi perbincangan karena para petani sawit menyatakan kebulatan tekad mendukung perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilihan umum. Ada dugaan Airlangga memakai petani sawit untuk menunjukkan kesetiaan kepada Presiden Joko Widodo. “Itu aspirasi pekebun yang menikmati harga sawit,” kata Tolen mengklarifikasi.
Bagi Samade, kehadiran Airlangga menjadi prestisius karena ia juga Ketua Komite Pengarah BPDPKS, lembaga yang memberikan subsidi peremajaan sawit kepada petani. Kekuasaan Komite Pengarah BPDPKS begitu luas. Beranggotakan tujuh menteri, Airlangga berkuasa menentukan narasumber rapat ketika menentukan nilai subsidi untuk petani sawit hingga subsidi biodiesel.
Dari enam tugas BPDPKS, semuanya dikendalikan oleh Komite Pengarah. Bahkan untuk urusan menentukan faktor konversi subsidi biodiesel, yang seharusnya kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, rapat komite ini jadi penentu akhir. Masalahnya, Airlangga melibatkan pengusaha sawit dengan menunjuk lima orang sebagai narasumber keputusan-keputusan Komite Pengarah BPDPKS.
Melalui Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 134 Tahun 2020 pada 2 Maret 2020, Airlangga menunjuk lima pengusaha sawit: Arif P. Rachmat, anak mantan CEO Astra, T.P. Rachmat, yang mendirikan PT Triputra Agro Persada Tbk; Franky Oesman Widjaja, anak taipan Eka Tjipta Widjaja yang memimpin Sinar Mas Group; Martias Fangiono alias Pung Kian Hwa dari Surya Dumai Group; dan Martua Sitorus, pendiri Wilmar Group. Satu lagi Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia.
Di mana posisi Tumanggor? Meski bukan narasumber yang ditunjuk Airlangga, ia mengaku acap diundang ikut rapat pembahasan biodiesel sebagai Ketua Aprobi. Tak hanya di era Airlangga, kata Tumanggor, ia diundang rapat sejak BPDPKS didirikan pada 2015 oleh Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil.
Menurut Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto, keberadaan pengusaha sawit sebagai narasumber Komite Pengarah membuat subsidi selalu timpang antara petani dan industri besar. “Ini konflik kepentingan,” tuturnya pada Kamis, 7 April lalu. “Pengusaha kan maunya untung terus.”
Jika melihat data penyaluran dana BPDPKS pada 2015-2021, apa yang dikhawatirkan Darto memang benar. Hampir 80 persen dana yang dikelola BPDPKS sebesar Rp 139,2 triliun tersalur kepada pengusaha sawit melalui subsidi biodiesel. Padahal tugas BPDPKS yang utama adalah memperbaiki tata kelola sawit, seperti pengembangan sumber daya manusia, penelitian, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan, serta pembangunan sarana dan prasarana. Menyediakan biodiesel hanya salah satu tugas akhir.
Syahdan, BPDPKS berdiri pada Juni 2015 ketika harga minyak sawit mentah (CPO) Indonesia anjlok di pasar global. Produksi sawit Indonesia ketika itu sebanyak 32 juta ton. Pasar tak sanggup menampung seluruhnya. Akibatnya, pasokan melimpah dan harganya ambrol. Harga CPO yang menembus US$ 1.200 per ton pada 2012 terus turun hingga pada 2015 tinggal US$ 600.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri bawah) saat didapuk menjadi Ketua Dewan Pembina Samade, Desa Libo Jaya, Riau, 24 Februari 2022. Biro KLIP Kemenko Perekonomian
Menteri Sofyan Djalil punya ide menciptakan permintaan di dalam negeri. Caranya, ia mengawinkan dengan janji mengurangi emisi karbon Indonesia dalam Perjanjian Paris—konferensi iklim yang membahas mitigasi pemanasan global pada 2015. Sofyan hendak mengurangi emisi dengan mencampurkannya dengan solar sebagai bahan bakar mesin-mesin industri.
Dengan kebijakan afirmasi itu, permintaan minyak sawit naik sehingga harganya tak anjlok lagi. Industri sawit bahkan leluasa berekspansi meluaskan kebun mereka. Studi David L.A. Gaveau dari The Tree Maps Prancis yang dimuat jurnal PLOS One edisi 29 Maret 2022 menemukan ekspansi perkebunan kelapa sawit mencapai puncak pada 2016, yang penambahannya hampir 800 ribu hektare.
Di tahun dengan kebakaran hutan di sekitar area konsesi sawit paling tinggi menyumbang emisi gas rumah kaca itu, harga CPO naik US$ 100 per ton. Jika diakumulasikan, kehilangan tutupan hutan akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit karena faktor harga CPO pada 2015-2019, menurut temuan Gaveau, tak kurang dari 400 ribu hektare. Jika dikonversi ke emisi, kehilangan hutan itu kira-kira melepas 50 juta ton setara CO2.
Peluncuran Bahan Bakar campuran Biodiesel produk turunan minyak sawit di kementerian ESDM, Jakarta, Juni 2019. TEMPO/Tony Hartawan
Persoalannya, bagaimana pemerintah menyediakan biodiesel agar terlihat ada usaha menurunkan emisi? Menurut Menteri Sofyan, dari 16 kali rapat antara pemerintah dan industri sawit sebelum BPDPKS berdiri, ada kesepakatan skema mendorong perusahaan sawit mau memproduksi biodiesel, yakni dengan subsidi. Industri sawit setuju sumber dananya diambil dari pungutan ekspor tiap ton CPO yang besarnya tergantung harga. Tahun ini, misalnya, tarif pungutan ekspor sawit US$ 375, naik dibanding tahun lalu, seiring dengan harga CPO yang melesat melebihi US$ 1.200.
Maka demikianlah riwayat BPDPKS: lembaga ini menagih pungutan ekspor sawit lalu menyalurkannya sesuai dengan enam tugas dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018. Alokasinya ditentukan rapat Komite Pengarah tadi. Hanya, seperti diduga Mansuetus Darto, ada ketimpangan alokasi yang cenderung menguntungkan pengusaha sawit dibanding tugas dan fungsi BPDPKS yang lain.
Keluhan Darto beralasan. Dari 80 persen subsidi biodiesel itu, penikmat terbesarnya adalah Wilmar Group. Pada Januari-September 2016, misalnya, Wilmar mendapatkan subsidi Rp 4,17 triliun. Grup usaha ini untung Rp 2,85 triliun karena hanya menyetor pungutan ekspor CPO Rp 1,32 triliun. Bandingkan dengan subsidi untuk petani pada 2016 yang hanya Rp 6,59 triliun.
Menurut M.P. Tumanggor, besaran subsidi yang diterima pengusaha tergantung volume fatty acid methyl ester atau FAME. Asam lemak nabati ini merupakan hasil akhir produksi CPO yang menjadi bahan campuran biodiesel. Wilmar, yang hingga 2020 memiliki 232.053 hektare kebun kelapa sawit, selalu menyetor FAME dalam jumlah besar. Selama enam tahun, grup ini menyetor 9,75 juta liter minyak sawit, terbesar dibanding grup-grup usaha lain.
Besaran subsidi adalah selisih harga indeks pasar (HIP) biodiesel dan HIP solar. HIP biodiesel memakai rumus (harga CPO + faktor konversi) x (870 kilogram per meter kubik + ongkos angkut). Angka 870 merupakan patokan konversi dari kilogram ke liter. Dalam Peraturan Presiden Nomor 66, ongkos angkut dan faktor konversi ditentukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi Dadan Kusdiana mengatakan faktor konversi memang ditentukan oleh kementeriannya. Namun besarnya acap diinterupsi pengusaha. Pada 2020, misalnya, Aprobi mengusulkan faktor konversi US$ 100 per ton CPO. “Kami ingin US$ 80 saja,” tutur Dadan.
Karena pandemi Covid-19 merebak, pengusaha mengalah dan bersedia menurunkan besaran konversi CPO sesuai dengan keinginan pemerintah. Kesepakatan itu dituangkan dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 105K pada Juni 2020. Empat bulan kemudian, Aprobi mengusulkan tarif baru kembali ke US$ 100. “Aprobi teriak, kemudian disepakati US$ 85,” ujar Dadan.
Kesepakatan itu, kata Dadan, diputuskan dalam rapat Komite Pengarah BPDPKS. Menurut Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018, seharusnya Komite Pengarah hanya menyusun kebijakan dan mengawasi pelaksanaannya. Nyatanya, angka konversi juga dibahas di sini. “Kami bilang 100, di Komite Pengarah enggak mau. Gimana kalau 95? Kira-kira begitu diskusinya,” Dadan menambahkan.
Cerita Dadan mengkonfirmasi kekhawatiran Mansuetus Darto bahwa ada konflik kepentingan dalam penentuan subsidi biodiesel yang dinikmati pengusaha sawit. Dadan tak menampik ada konflik kepentingan dalam penentuan subsidi biodiesel karena kehadiran pengusaha dalam rapat Komite Pengarah.
Menurut dia, pengusaha berkepentingan menekan tarif pungutan ekspor sawit serendah-rendahnya. Sebaliknya, mereka mengusulkan faktor konversi harga biodiesel setinggi-tingginya agar mendapat subsidi besar. Bagi Dadan, semua orang di Komite Pengarah punya kepentingan masing-masing, termasuk dia sebagai wakil Kementerian Energi agar biodiesel tersedia. “Konflik kepentingan diminimalkan dengan pihak yang banyak dan keputusannya bersama,” ucapnya.
Berbeda dengan keterangan Dadan Kusdiana, M.P. Tumanggor mengatakan harga indeks pasar sepenuhnya ditentukan Kementerian Energi, Lembaga Minyak dan Gas, kadang-kadang dibantu Institut Teknologi Bandung serta Kementerian Riset dan Teknologi, bukan Komite Pengarah. “Pak Martias dan Pak Franky Widjaja yang sering ikut rapatnya,” katanya.
Franky Widjaja tak merespons pertanyaan Tempo yang dikirim ke kantor Sinarmas Group di Sinarmas Land Plaza, Jakarta. Adapun Martias Fangiono mengaku sedang di luar negeri. “Seminggu lagi pulang,” ujarnya melalui pesan WhatsApp pada Selasa, 5 April lalu. Ia berjanji menjelaskan keterlibatannya dalam menentukan besaran subsidi biodiesel di Komite Pengarah BPDPKS.
Soal faktor konversi yang menentukan subsidi biodiesel masuk pengamatan Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut KPK, faktor konversi US$ 85 per ton mendorong potensi kerugian negara sebesar Rp 4,2 triliun. Dari perhitungan KPK, faktor konversi ideal yang saling menguntungkan sebesar US$ 77,31 per ton CPO saja.
Masalahnya, angka faktor konversi US$ 85 per ton sudah paling kecil. Setiap tahun, faktor konversi rata-rata US$ 100 per ton, bahkan pada 2016 sebesar US$ 125. Dengan faktor konversi dan HIP biodiesel yang berubah-ubah, KPK menilai Komite Pengarah tak mendasarkannya pada kajian serta data faktual di lapangan.
Sayangnya, Airlangga Hartarto tak merespons konfirmasi penentuan harga indeks pasar yang menentukan subsidi biodiesel itu. Ia menolak menjawab surat wawancara, bahkan ketika ditemui di kantornya pada 6-7 April lalu. Namun, kata Dadan Kusdiana, perhitungan HIP biodiesel berdasarkan kajian dari Universitas Indonesia, yang dimintai pendapat ketika Komite Pengarah hendak menentukan subsidi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan program mandatori penggunaan B30 di SPBU Pertamina MT Haryono, Jakarta, Desember 2019. TEMPO/Subekti
Penentu lain subsidi biodiesel adalah ongkos angkut. Nilainya ditentukan Menteri Energi. Toh, dalam Keputusan Menteri Energi Nomor 182K/2020 ada perbedaan tarif angkut di rute yang sama, yakni Surabaya-Gresik di Jawa Timur. Tarif ongkos angkut antara Pertamina dan Wilmar Rp 130 per liter, sedangkan antara PT AKR Corporindo dan PT Batara Elok Semesta Terpadu Rp 70 per liter.
Di rute Merak-Bekasi/Marunda, ongkos angkutnya sebesar Rp 260 per liter. Padahal, dalam dokumen simulasi perhitungan, ongkos di rute tersebut dengan memakai moda berbagai jenis truk hanya Rp 66-81 per liter. Artinya, ada potensi kemahalan ongkos angkut Rp 179-194 per liter.
Potensi ongkos angkut biodiesel yang terlalu mahal ini diperkuat oleh perhitungan Sugi Purnoto dari Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia. Menurut Sugi, biaya pengangkutan truk kapasitas maksimum 32 kiloliter dari Merak menuju Bekasi/Marunda sebesar Rp 2.670.000. Jika ongkos angkut minyak sawit Rp 260 per liter, perusahaan sawit mesti membayar ongkos kepada perusahaan angkutan Rp 8.320.000.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2018 hingga semester pertama 2020 juga menyimpulkan penentuan tarif angkut minyak sawit oleh Kementerian Energi belum ekonomis. BPK bahkan menemukan kelebihan pembayaran Rp 1,56 miliar akibat ongkos angkut minyak sawit lebih mahal dari tarif yang ditetapkan Kementerian Energi.
Dadan Kusdiana mengatakan perbedaan tarif ongkos angkut seperti rute Surabaya-Gresik lantaran perbedaan moda. Satu memakai angkutan laut, satu lagi lewat jalur darat. Soal ongkos yang terlalu mahal, Dadan mengatakan penentuan tarif memakai kajian lapangan. “Kami tanya ke asosiasi kalau mengirim dari titik A ke B berapa,” ucap Dadan.
Kuota biodiesel yang mempengaruhi subsidi dari BPDPKS juga ditengarai tak punya dasar. Pada 2020, Keputusan Menteri Energi Nomor 195K/10/MEM/2020 hanya memuat data perusahaan yang mendapatkan kuota biodiesel sebanyak 9,5 juta kiloliter. Dari angka itu, 2,7 juta kiloliter diberikan kepada Wilmar Group lewat dua anak usahanya: PT Wilmar Bioenergi Indonesia dan Wilmar Nabati Indonesia.
Yang lebih aneh adalah kuota menyediakan biodiesel pada 2021. Pabrik biodiesel milik Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, PT Jhonlin Agro Raya, memperoleh kuota 19.675 kiloliter. Padahal pabrik biodiesel di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, itu diresmikan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2021. “Aturannya membolehkan perusahaan masuk di tengah-tengah,” kata Dadan.
Artikel lain:
- Sejarah BPDPKS: Demi Sawit yang Mulia
- Mengapa Subsidi Sawit Dinikmati Korporasi
- Morat-Marit Dana Sawit
- Mengapa BPDPKS Lebih Banyak Menyubsidi Biodiesel
Aturan yang disebut Dadan adalah Peraturan Menteri Energi Nomor 24 Tahun 2021 yang terbit pada 6 Agustus 2021. Pasal 13 memang mengakomodasi perubahan perusahaan serta alokasi volume biodiesel. Namun dalam aturan itu ditegaskan perubahan kuota terjadi jika ada kegagalan pengiriman biodiesel, perusahaan yang ditunjuk tidak beroperasi, perubahan kebutuhan solar, dan perubahan titik serah, bukan karena ada pabrik biodiesel baru.
Dasar penunjukan pemasok biodiesel kepada Pertamina, menurut Dadan, adalah kinerja tahun sebelumnya. Dari data kinerja perusahaan biodiesel, tak semuanya punya kinerja bagus. Realisasi pasokan PT Bayas Biofuels hanya 62,1 persen pada 2019. Tapi, pada 2020, PT Bayas mendapatkan kuota memasok biodiesel sebanyak 813 ribu kiloliter, hampir sama dengan kapasitas produksinya.
Dadan berdalih pada 2020 semua perusahaan mendapatkan kuota sesuai dengan kapasitas karena pada tahun itu baru dimulai program B30—30 persen minyak sawit, 70 persen solar. “Kami putihkan semua,” ujarnya. “Karena kita butuh biodiesel 1,5 kali lebih banyak dibanding 2019.”
Yang tak terdeteksi aturan pemerintah adalah dugaan jual-beli kuota antarperusahaan biodiesel. PT Wilmar Nabati Indonesia tercatat menjual FAME kepada Wilmar Bioenergi sebanyak 18.998 liter pada 2020. Dimintai konfirmasi soal ini, M.P. Tumanggor mengaku tidak tahu. “Yang dibayar adalah jumlah yang dipasok ke Pertamina,” tuturnya.
Soal peran para pengusaha ikut menentukan subsidi biodiesel B30 karena kedekatan dengan para pejabat, Tumanggor tak menyangkalnya. Ia mengaku dekat dengan semua menteri sejak Ketua Komite Pengarah BPDPKS dijabat Sofyan Djalil. Itulah kenapa ia bisa membawa Tolen Ketaren ke ruang kerja Menteri Airlangga Hartarto untuk memintanya menjadi pembina Asosiasi Samade. “Ah, dekat-dekat biasa saja,” kata Tumanggor.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Liputan ini terbit atas kerja sama dengan Jikalahari, Greenpeace Indonesia, Yayasan Auriga Nusantara, yang didukung Rainforest Investigations Network Pulitzer Center. TIM INVESTIGASI. Penanggung Jawab: Bagja Hidayat; Kepala Proyek: Erwan Hermawan; Penulis: Erwan Hermawan, Mahardika Satria Hadi; Desainer: Djunaedi, Rio Ari Seno; Fotografer: Gunawan Wicaksono, Ratih Purnama Ningsih, Jati Mahatmaji; Penyunting Bahasa: Hardian Pratama Putra, Edy Sembodo, Iyan Bastian