Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengusaha dan perusahaan besar menambang nikel Sulawesi tanpa izin pelepasan kawasan hutan.
Mereka juga tak menjalankan kewajiban mereklamasi bekas galian tambang nikel.
Luas deforestasi akibat penambangan nikel di Sulawesi mencapai 500 ribu hektare.
DI siang terik Desember 2021, debu jalan tanah merah di Desa Kolono Morowali, Sulawesi Tengah, membubung ketika sebuah truk putih bermuatan tanah mengandung nikel melewatinya. Dari simpang jalan tambang PT Sulawesi Resources, truk bermuatan 30 ton ini turun menyusuri sisi Sungai Laronsong menuju pelabuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari keterangan di plang pada pos yang dijaga dua laki-laki berbaju cokelat, pelabuhan ini milik PT Oti Eya Abadi. Di bibir pantai sudah menunggu satu tongkang berkapasitas 10 ribu ton. Begitu tiba, truk putih itu langsung menumpahkan tanah yang dibawanya. Proses penurunan nikel itu berlangsung 15 menit. Puluhan truk lain antre hendak menumpahkan tanah nikel serupa ke tongkang itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dokumen akta perusahaan yang tercatat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Oktober 2021, pemilik PT Oti Eya adalah Ahmad Ali. Ia anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai NasDem. Posisinya di partai yang dipimpin pengusaha media Surya Paloh itu adalah wakil ketua umum.
Pemilik saham lain adalah Nilam Sari Lawira. Ia tak lain istri Ahmad Ali. Sama-sama dari Partai NasDem, Nilam kini menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tengah. Provinsi ini adalah tempat kelahiran Ahmad Ali, politikus yang terkenal karena pernah menjadi penyandang dana terorisme Poso dan kasus penyalahgunaan narkotiknya pada 2003 lenyap sewaktu mencalonkan diri menjadi Bupati Morowali pada 2013.
Lokasi tambang nikel PT Oti Eya Abadi berada di Desa Ululere, 5 kilometer dari pelabuhan Desa Kolono. Di Ululere, puluhan alat berat tengah mengeruk tanah lalu menumpahkannya ke bak truk. Menurut Basri Tarfin, penduduk setempat, alat-alat berat PT Oti Eya mulai mengeruk tanah di sana setahun lalu. “Sebelum mereka datang kami tanam lada,” ucap laki-laki 44 tahun ini.
Deforestasi di Konawe Utara, November 2020. Istimewa
Kebun lada itu sudah lenyap berganti debu tanah merah saat kemarau dan lubang-lubang bekas galian nikel. Lokasi kebun Basri tak jauh dari area penambangan Oti Eya. Luasnya 2 hektare. Berkali-kali utusan perusahaan mendatanginya untuk membeli lahan dengan harga Rp 120 juta per hektare. Basri menolak. “Kerabat saya menyesal setelah menjualnya ke perusahaan karena kini mereka tak punya penghasilan lagi,” katanya pada akhir Desember 2021.
Di Minerba One Map Indonesia (MOMI)—aplikasi peta tambang mineral dan baru bara milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral—lahan yang sedang dikeruk itu masih berstatus wilayah izin usaha pertambangan. Artinya, area itu belum bisa ditambang. Luasnya 1.896 hektare.
Area itu dulu wilayah kontrak karya PT Inco alias PT Vale Indonesia Tbk. Pada 2015, Kementerian Energi mencabut konsesi ini karena izin Oti Eya menindih konsesi PT Vale. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, izin yang dicabut harus dilelang dan diutamakan untuk perusahaan negara. Karena itu, Kementerian menunjuk PT Aneka Tambang Tbk sebagai pengelolanya pada 2018.
Merasa memegang izin sejak 2010, manajemen Oti Eya menggugat penunjukan Antam ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Di pengadilan tingkat pertama, Oti Eya menang. Namun di pengadilan tingkat banding mereka kalah. “Manajemen Oti Eya mau kasasi,” kata Ahmad Ali, yang mengklaim sudah tak memiliki saham lagi di perusahaan ini.
Menurut dia, yang bersengketa dengan Oti Eya sebenarnya bukan Antam, melainkan Jimmy Widjaja, anak taipan Eka Tjipta Widjaja, pendiri konglomerasi Sinar Mas. Jimmy menjalin kerja sama menambang nikel dengan Antam di area tersebut. Selain di Morowali, Jimmy dan Antam berkongsi menambang nikel lewat PT Tambang Matarape Sejahtera di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Deforestasi di Konawe Utara, Juni 2021. Istimewa
Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan PT Antam, Yulan Kustiyan, tak gamblang menjelaskan konflik dengan Oti Eya. “Kami sudah menang di banding dan sekarang sedang kasasi,” tuturnya. Ia tak menjawab tuduhan Ahmad Ali bahwa ada Jimmy Widjaja di belakang adu gugat ini. Adapun Jimmy tak merespons pertanyaan Tempo. “Bapak lagi rapat,” ujar ajudannya.
Seharusnya, karena sengketa klaim izin menambang nikel masih berlangsung, PT Oti Eya tak bisa mengambil nikel. Ahmad Ali mengakui perusahaannya terus menambang kendati kasus hukumnya belum beres. “Kami menang, kami menambang,” katanya. “Kami berhenti jika kalah.”
Di luar soal sengketa, Oti Eya juga diduga tak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Operasi Oti Eya menambah deforestasi ilegal Sulawesi Tenggara seluas 1.700 hektare selama 2018-2020. Menurut aturan, penambangan tanpa izin membuka hutan hukumannya 10 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar—meskipun hukuman ini dianulir Undang-Undang Cipta Kerja dan hanya diganti dengan denda.
Ahmad Ali mengatakan tak semua area konsesi perusahaannya berada di kawasan hutan. Ada 500 hektare yang berada di area penggunaan lain. Tapi belakangan ia mengklaim para penambang di area Oti Eya adalah penambang ilegal. “Polisi menangkap penambang ilegal di sana,” ucapnya.
Selain Oti Eya, perusahaan lain yang menambang tanpa izin dan hutan di Morowali adalah PT Citra Teratai Indah. Perusahaan milik Karlan Manessa, pengusaha pertambangan Sulawesi Tengah, ini baru masuk Minerba One Data Indonesia (MODI) pada September 2021. Luasnya 689 hektare. “Areanya kecil, tapi ada cadangan nikelnya,” ujar Karlan. Ia mengklaim konsesi perusahaannya di luar kawasan hutan sehingga merasa tak perlu mengurus IPPKH.
Deforestasi di Konawe Utara, November 2021. Istimewa
Komiu, lembaga swadaya masyarakat lingkungan Sulawesi Tengah, menghitung lahan yang tak bisa lagi pulih akibat penambangan nikel hingga 2021 seluas 36 ribu hektare, separuh luas Jakarta. Dari luas tersebut, deforestasi tanpa izin pelepasan kawasan hutan 7.000 hektare. Sementara itu, Yayasan Auriga Nusantara menghitung deforestasi akibat pertambangan nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara seluas 500 ribu hektare.
Selain pengusaha lokal dan politikus yang kisruh menambang nikel, korporasi besar juga punya andil dalam kerusakan lingkungan. Sebut saja PT Bintang Delapan Mineral yang menambang nikel di area seluas 20 ribu hektare sejak 2010. Padahal izin pinjam pakai kawasan hutannya baru terbit pada 2015. Penambangan nikel tanpa izin itu menghancurkan hutan seluas 3.800 hektare.
Bintang Delapan Mineral adalah anak usaha Bintang Delapan Group, pemilik saham PT Indonesia Morowali Industry Park (IMIP), kawasan industri yang mengolah nikel, lewat PT Bintang Delapan Investama. Menurut akta perusahaan, komisaris perusahaan ini adalah Letnan Jenderal Sintong Panjaitan, Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat 1985-1987. Ada juga Mayor Jenderal Hendardji Supandji, Komandan Polisi Militer TNI AD 2006-2007.
Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah Nahardi mengatakan pemerintah daerah tak memiliki kewenangan menindak penambangan nikel tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan. Perencanaan, pelaksanaan, sampai monitoring perusahaan nikel menjadi wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Direktorat Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup Sustyo Iriono menolak berkomentar tentang penambangan nikel ilegal di Sulawesi. Ia meminta pertanyaan diajukan kepada Direktur Jenderal Penegakan Hukum Rasio Ridho Sani. Tapi Rasio tak merespons pertanyaan Tempo.
Selain menyebabkan deforestasi, perusahaan-perusahaan nikel Sulawesi tak menjalankan kewajiban mereklamasi galian tambangnya. Oti Eya masuk daftar 3.048 perusahaan yang tak patuh mereklamasi bekas galian yang dirilis Kementerian Energi. “Saya sudah memberikan jaminan Rp 9 miliar untuk reklamasi,” tutur Ahmad Ali.
Kawasan hutan yang rusak akibat penambangan nikel juga merembet ke Sulawesi Tenggara, provinsi dengan cadangan nikel terbesar di Indonesia, yakni 1,8 miliar ton. Misalnya operasi PT Tiran Indonesia yang memiliki area konsesi 1.400 hektare di Konawe Utara. Perusahaan milik Amran Sulaiman, Menteri Pertanian 2014-2019, ini diduga membangun jalan tambang tanpa IPPKH.
Perusahaan Amran yang lain, PT Andi Nurhadi Mandiri, juga diduga menambang nikel memakai izin pembangunan smelter (pemurnian bijih nikel) pada Juni 2021. Lokasi lahan smelter PT Andi Nurhadi diapit tiga area tambang milik PT Binanga Hartama Raya, PT Alam Raya Indah, serta PT Pernick Sultra.
Dalam rencana perusahaan, PT Andi berkongsi dengan perusahaan Cina, PT Tonghua Jianxin Technology, membangun smelter senilai Rp 4,9 triliun. Namun, dari foto udara pada Juni tahun lalu, bukan smelter yang tampak, melainkan bekas pengerukan nikel. Foto itu terkonfirmasi citra satelit yang menunjukkan tanda pengerukan lahan yang kian masif hingga November 2021.
Juru bicara Tiran Group, induk Tiran Indonesia dan Andi Nurhadi Mandiri, La Pili, menyangkal dugaan perusahaannya menambang nikel memakai izin smelter. “Namanya izin usaha penambangan penjualan kandungan komoditas mineral,” ucapnya. “Jadi kami punya dasar.”
Nama izin yang disebut La Pili itu tak ada dalam tujuh jenis izin penambangan nikel, yakni izin eksplorasi, izin usaha petambangan operasi produksi, IUP khusus operasi produksi, IUP operasi produksi khusus pengolahan dan pemurnian, IUP operasi produksi khusus pengangkutan dan penjualan, serta izin usaha jasa pertambangan. Jika yang dimaksud La Pili adalah IUP OP khusus penjualan, kewenangannya hanya membeli, mengangkut, dan menjual nikel.
Ihwal dugaan membangun jalan tambang tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan, La Pili juga menyangkalnya. Menurut dia, perusahaannya sudah lama menambang nikel di Konawe Utara. “Enggak mungkin perusahaan melakukan hal keliru,” tuturnya. “Cek saja ke lokasi.”
Perusahaan lain yang tercatat tak memiliki izin pelepasan kawasan hutan tapi sudah menambang nikel adalah PT Bosowa Mining. Lokasinya bersebelahan dengan PT Tiran Indonesia. Luas area konsesinya 1.500 hektare. Dari dokumen Kementerian Lingkungan, IPPKH Bosowa baru keluar pada 2019 seluas 984,9 hektare. Tapi, sejak izin tambangnya terbit pada 2011-2018, ada 230 hektare hutan yang terbuka di area konsesi perusahaan keluarga mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla itu.
Kepala Cabang PT Bosowa Mining Andi Muchlis menyangkal berita itu. Ia mengatakan IPPKH perusahaannya terbit pada 2012. Jika ada lahan terbuka sebelum izin pinjam pakai kawasan hutan terbit, ia menduga hal itu akibat perambahan oleh masyarakat. “Saya buka lahan 2013 sekitar 6 hektare untuk membangun kamp, mes, dan jalan,” ujar Andi.
Nikel tiga perusahaan yang menambang tanpa izin pelepasan hutan itu dijual ke dua smelter terbesar di Sulawesi, yakni PT IMIP dan PT Virtue Dragon Nickel Industry. Pemilik saham Virtue Dradgon adalah Shanghai Descent Investment dan Jiangsu Delong Nickel Industry. Menurut dokumen perusahaan, Lodewijk Friedrich, mantan Komandan Jenderal Kopassus TNI AD yang kini Sekretaris Jenderal Partai Golkar, menjadi komisarisnya.
Koordinator Komunikasi dan Hubungan Media IMIP Dedi Kurniawan mengatakan perusahaannya menerima nikel dari Oti Eya, termasuk dari area konsesi Ululere yang sedang diperebutkan dengan Antam. “Sepanjang Oti Eya bisa membuktikan nikelnya legal, kami terima saja,” kata Dedi. “Antam juga tidak komplain.” Tentang penambangan tanpa IPPKH, Dedi tak menjawab.
Tak hanya ihwal legalitas, menurut data Bea dan Cukai Cina sepanjang 2020-2021, ada 4 juta ton ore nikel Indonesia masuk ke pelabuhan negara itu. Nilai transaksinya US$ 236 juta atau lebih dari Rp 3 triliun. Padahal pada periode itu sedang ada moratorium ekspor ore. Presiden Joko Widodo ingin bijih nikel diolah dulu di smelter dalam negeri untuk memberikan nilai tambah.
Chief Executive Officer PT IMIP Alexander Baru mengaku tak paham tentang ekspor ore ke Cina di masa moratorium. Adapun manajemen Virtue Dragon tak merespons pertanyaan ihwal ini. Indrayanto, External Affair Manager Virtue Dragon, membalas pesan Tempo dengan mengatakan, “Humas belum memberikan respons”. Pelaksana harian Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Sugeng Mujiyanto, menjamin tidak ada ekspor ore nikel di masa pelarangan.
Segala hiruk-pikuk itu membuat Basri Tarfin pening. Ia tetap tak berniat menjual kebun lada satu-satunya yang ia punya ke perusahaan nikel. Sambil memandang truk putih yang mengangkut nikel menjauh dari Ulurere, ia bergumam, “Orang miskin makin miskin, orang kaya makin kaya.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit atas dukungan Rainforest Investigation Network Pulitzer Center. TIM INVESTIGASI: Kepala Proyek: Erwan Hermawan; Penyunting: Bagja Hidayat; Penyumbang Bahan: Erwan Hermawan, Dini Pramita, Mahardika Satria Hadi; Periset Foto: Ratih Purnama; Penyelaras Bahasa: Iyan Bastian, Edy Sembodo, Hardian Putra; Desainer: Rio Ari Seno