Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengusaha dan politikus memakai dokumen yang diduga palsu untuk mendapatkan izin menambang nikel di Sulawesi.
Ada suap dalam tiap tahap permohonan izin hingga di aplikasi MODI Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Wakil Ketua Umum Partai NasDem Ahmad Ali, anggota Komisi Hukum DPR, salah satu penambang nikel dengan izin terbanyak.
Puluhan perusahaan menambang nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara—dua provinsi yang memiliki cadangan nikel terbesar di Indonesia—tanpa lelang, memakai dokumen palsu, dan sonder izin pembukaan hutan. Nikel ilegal terjual hingga ke Cina di tengah moratorium ekspor ore. Niat pemerintah membangun sumber energi kendaraan listrik ramah lingkungan mendorong deforestasi lima kali luas Jakarta yang melibatkan politikus, pejabat, pengusaha, hingga mantan aktivis.
RAUT wajah Karlan Azis Mannessa menegang ketika Tempo menunjukkan dokumen persetujuan pencadangan wilayah pertambangan nikel perusahaannya di Sulawesi Tengah yang diduga lancung. Tak seperti respons atas pertanyaan lain, pengusaha asal Palu ini perlu menyeruput es teh leci sebelum menjawabnya. “Ini masalah administrasi,” kata laki-laki 52 tahun ini ketika kami bertemu di sebuah kafe di Jakarta Selatan pada pertengahan Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karlan Azis Mannessa alias Haji Karlan. Twitter.com/@KarlanMannessa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persetujuan pencadangan wilayah adalah dokumen penting bagi perusahaan pertambangan nikel untuk bisa masuk ke Minerba One Data Indonesia (MODI) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Minerba akronim dari mineral dan batu bara, dua jenis sumber daya alam yang pertambangannya diatur dalam aplikasi ini.
Masuk ke MODI adalah target semua pengusaha tambang. Jika nama perusahaan mereka bertengger di sistem online ini, mereka sudah sah menambang bijih nikel atau ore. Masalahnya, tak semua perusahaan yang mendapatkan predikat clean and clear benar-benar telah memenuhi syarat sesuai dengan aturan.
Penelusuran Tempo selama dua bulan sejak Desember 2021 menemukan dugaan pemakaian dokumen palsu tak hanya pada perusahaan Haji Karlan—demikian nama panggilan Karlan Azis Mannessa. Sebanyak 12 perusahaan nikel di Sulawesi Tengah yang terdaftar di sistem pemerintah diduga mendapatkan izin dengan cara serupa. Total luas lahan konsesi nikel mereka 27.481,53 hektare.
Haji Karlan punya empat perusahaan yang terdaftar di MODI. Izin menambang nikel empat perusahaan itu—PT Citra Teratai Indah, PT Gemilang Bumi Lestari, PT Hikari Jeindo, dan PT Kurnia Degess Raptama—diduga beralas dokumen palsu.
Luas lahan konsesi tambang nikel Haji Karlan hampir 15 ribu hektare di kawasan hutan Morowali, Sulawesi Tengah. Artinya, tambang Haji Karlan lebih luas dari Kota Bogor, Jawa Barat, kota satu jam dari Jakarta yang kini menjadi tempat tinggal Presiden Joko Widodo. Sebagian besar lahan konsesinya berada di area pertambangan PT Inco atau PT Vale Indonesia Tbk.
Di Sulawesi Tengah, nama Haji Karlan lumayan harum. Tak hanya menjadi pengusaha pertambangan nikel dan batu bara, ia juga dekat dengan lingkaran politik. Selain punya perusahaan sendiri, ia berkongsi dengan keluarga Kalla di PT Mitra Karya Agung Lestari, perusahaan pertambangan nikel di Morowali. Komisaris perusahaan ini adalah Achmad Kalla, adik mantan wakil presiden Jusuf Kalla.
Dokumen palsu izin perusahaan nikel Karlan, misalnya, terlihat dalam lisensi PT Citra Teratai Indah. Luasnya 689 hektare. Bupati Morowali 2007-2018, Anwar Hafid, menandatangani dokumen wilayah pencadangannya pada 28 September 2008. Cap dokumen berlogo DESDM, merujuk pada nama Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral. Padahal, pada tahun itu, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral masih bernama Dinas Pertambangan dan Energi. “Itu harus diklarifikasi kepada yang mengeluarkannya,” ujar Karlan.
Anwar Hafid mengatakan cap DESDM belum berlaku pada 2008. Namun ia buru-buru membela Karlan. “Seingat saya dia memiliki izin tambang,” tutur politikus Partai Demokrat yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu. “Kalau dia punya pengantar dari bupati sekarang, berarti izinnya bukan dokumen palsu.”
Pengantar yang dimaksud Anwar adalah surat penyerahan izin usaha pertambangan (IUP) kepada Gubernur Sulawesi Tengah. Surat pengantar untuk empat perusahaan Karlan baru terbit pada 1 September 2021, ditandatangani oleh Taslim, Bupati Morowali sekarang.
Masalahnya, Taslim menyatakan tak mengeluarkan surat pengantar itu. Ia bahkan melaporkan hal itu kepada kepolisian karena merasa tak pernah menandatangani surat tersebut. “Tanda tangan Bupati dipalsukan,” kata Bahdin Baid, Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Morowali, pada Senin, 24 Januari lalu.
Menurut Bahdin, perubahan nomenklatur dari Dinas Pertambangan dan Energi menjadi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral berlaku sejak Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Morowali disahkan pada 28 Juli 2008.
Jika mengacu pada peraturan daerah itu, dua perusahaan Karlan, PT Gemilang Bumi Lestari dan PT Hikari Jeindo, seharusnya sudah memakai kode DESDM karena dokumen pencadangan wilayahnya terbit pada 11 dan 13 November 2008. “Entahlah,” ucap Karlan tentang kekisruhan dokumen ini. “Ini kesalahan administrasi atau bagaimana.”
Rupanya, cap-cap palsu ini tertera pula dalam dokumen izin PT Graha Mining Utama. Ini perusahaan yang sahamnya tercatat atas nama anak-anak Ahmad Ali. Anggota Komisi Hukum DPR asal Palu itu kini menjabat Wakil Ketua Umum Partai NasDem, partai dengan perolehan suara terbesar nomor lima dalam Pemilihan Umum 2019 yang juga anggota koalisi pendukung Presiden Joko Widodo.
Ahmad Ali. Twitter.com/madtu_madali
Ahmad Ali, 52 tahun, mencalonkan diri menjadi Bupati Morowali pada pemilihan 2013, tapi gagal. Kepada Tempo, Ali tak menutupi informasi bahwa ia pernah tersangkut penyalahgunaan narkotik pada 2003 dan menjalani hukuman penjara enam bulan. Ali bahkan mengaku pernah menjadi pendana aktivitas terorisme di Poso, Sulawesi Tengah. Ia menjadi politikus NasDem dengan karier meroket. Ali mengaku penghasilannya Rp 5 miliar tiap bulan.
Tambang uangnya adalah nikel. Di Sulawesi Tengah, Ahmad Ali dan Haji Karlan punya konsesi nikel terbanyak, meski baru satu perusahaan Ali yang terdaftar di MODI, yakni PT Graha Mining seluas 624,53 hektare.
Persetujuan pencadangan wilayah tambang nikel PT Graha Mining terbit pada 31 Juli 2008, dua hari setelah Dinas Pertambangan dan Energi berganti nama menjadi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral. Sama seperti perusahaan Karlan, cap dokumen izin perusahaan ini seharusnya DESDM.
Menurut Ali, untuk mengetahui palsu atau asli, dokumen perusahaannya harus dimintakan verifikasi kepada Pemerintah Kabupaten Morowali. “Lihat nomor registrasinya,” ujarnya. Masalahnya, kata Bahdin Baid, pemerintah Morowali tidak bisa mengeceknya lagi karena buku perizinan tambang disita kepolisian ketika mereka mengusut dugaan korupsi perizinan tambang nikel di Sulawesi pada 2012.
Modal Karlan dan Ali untuk memasukkan perusahaan mereka ke MODI Kementerian Energi adalah pendapat hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018 menyebutkan, untuk mendapatkan IUP dan IUP khusus di lahan konsesi bersengketa, pengusaha harus mengantongi penetapan pengadilan atau lembaga terkait yang berwenang.
Pemerintah menafsirkan “lembaga terkait” itu adalah kejaksaan tinggi. Juga Ombudsman dan pengadilan tata usaha negara. Jika satu dari tiga lembaga ini menyatakan permintaan izin pertambangan nikel suatu perusahaan sah, Kementerian Energi akan memasukkannya ke MODI. Hingga Januari 2022, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah menerbitkan 80 pendapat hukum untuk 80 perusahaan. Sebanyak 12 di antaranya sukses masuk MODI.
Kepala Bidang Pertambangan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulawesi Tengah Muhammad Neng mengatakan opini legal kejaksaan, pengadilan, atau Ombudsman merupakan tafsir atas frasa “lembaga terkait” dalam Peraturan Menteri Energi Nomor 26 Tahun 2018. Ada sepuluh perusahaan nikel di provinsi ini yang mendapatkan legalitas melalui laporan akhir hasil (LHAP) pemeriksaan Ombudsman dan kini sedang diverifikasi Kementerian Energi.
Menurut anggota Ombudsman, Hery Susanto, pendapat hukum jaksa semestinya dipakai sebagai bahan pemeriksaan oleh pengadilan. Adapun Syahrudin Ariestal Douw, mantan aktivis lembaga swadaya masyarakat Jaringan Advokasi Tambang yang kini menjadi pengacara, mengakui pembuat naskah opini hukum jaksa biasanya pengacara yang mengurus izin tambang sebuah perusahaan.
Itu sebabnya nama Syahrudin muncul dalam dokumen pengurusan pendapat hukum CV Waskita Karya dan PT Anugerah Tompira Nikel. “Saya hanya membuat surat pengantar untuk dinas, bukan mengurus langsung,” tuturnya.
Akan halnya Hery, namanya tenar sebagai pejabat Ombudsman yang ringan tangan menerbitkan LHAP untuk banyak perusahaan nikel. Ombudsman adalah lembaga negara yang bertugas menangani malaadministrasi pemerintahan. “Pendapat jaksa atau Ombudsman semestinya bukan alas hukum masuk MODI,” ujarnya.
Masalahnya, penerbitan LHAP tidak gratis. Para pengusaha harus mengeluarkan Rp 1,5 miliar untuk mendapatkannya dalam tempo singkat. Tentu saja Hery menyangkal. “Kalau LHAP terbit cepat bukan berarti ada uang pelicin,” katanya. “Itu karena kelengkapan dokumen saja.”
Toh, bau suap meruap hingga ke pengurusan opini hukum Kejaksaan Tinggi Provinsi Sulawesi Tengah. Beberapa pengusaha bercerita, mereka harus mengeluarkan sekitar Rp 5,5 miliar agar perusahaan mereka masuk ke MODI melalui jalur pendapat hukum. Uang ini disebar di banyak tahap: dari Dinas Energi Sulawesi Tengah, Kejaksaan, hingga pejabat Kementerian Energi.
Uang pelicin untuk bupati diberikan terpisah sebagai imbalan atas pembuatan surat pengantar dan dokumen kelengkapan syarat permohonan opini hukum. Setelah opini hukum Kejaksaan terbit, gubernur mengirimkannya ke Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara untuk dimasukkan ke MODI.
Anwar Hafid, Bupati Morowali 2007-2018, mengakui isu uang pelicin izin perusahaan tambang nikel sudah ada saat ia menjabat. Namun Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Hubungan Masyarakat Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Reza Hidayat mengatakan informasi tentang suap itu tidak berdasar. “Opini legal dikeluarkan atas permintaan pemerintah, bukan pengusaha,” ucapnya.
Anwar Hafid. anwarhafid.com
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulawesi Tengah Haris Kariming menyatakan tak pernah meminta uang kepada pengusaha ketika memohon opini legal dari Kejaksaan. Namun dua tenaga ahli Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura santer dikabarkan menjadi perantara pengajuan opini legal Kejaksaan.
Mereka adalah Ronny Tanusaputra dan Ridha Saleh. Ronny tercatat membantu PT Niungriam Energy, sementara Ridha memfasilitasi PT Global Arca dan PT Gemilang Mega Sakti. Ridha mengklarifikasi kabar keterlibatannya dalam pengurusan pendapat hukum untuk perusahaan itu. Namun Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2007-2012 ini meminta klarifikasinya tak dimuat.
Adapun Ronny kini menjabat Direktur Utama PT Tambang Nikel Sulteng, perusahaan milik pemerintah Sulawesi Tengah. Ia mengatakan hanya membantu PT Niungriam yang mendapat hambatan ketika mengurus opini legal. “Saya tidak mengurus atau memfasilitasinya,” katanya.
Opini legal untuk PT Niungriam terbit delapan hari setelah Gubernur Sulawesi Tengah mengirim permintaan kepada Kejaksaan Tinggi pada 14 Desember 2021. Sepekan setelah itu, Gubernur Rusdy mengirim pendapat hukum tersebut kepada Direktorat Jenderal Minerba Kementerian Energi. “Registrasi MODI memakai self-service, tidak dipungut biaya,” tutur Kepala Seksi Pengelolaan Wilayah Mineral Kementerian Energi Satya Hadi Pamungkas.
Tambang PT Oti Eya Abadi di Morowali, Sulawesi Tengah, 20 Desember 2021. TEMPO/Erwan Hermawan
Rupanya, dokumen persetujuan pencadangan wilayah Niungriam juga bermasalah. Dokumen-dokumen izinnya memakai cap Dinas Pertambangan dan Energi. Seharusnya yang tertera cap Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral karena izinnya terbit jauh seusai reorganisasi dinas-dinas Morowali. “Saya kurang paham,” ucap Erick Koswi, komisaris PT Niungriam.
Uang pelicin Rp 5,5 miliar untuk mendapatkan opini legal Kejaksaan Tinggi hingga masuk MODI itu tak seberapa dibanding keuntungan menambang nikel. Haji Adam, pemilik PT Bumi Kalaena Persada, mengamini pengakuan Ahmad Ali. Menurut dia, keuntungan bersih penambang nikel di Sulawesi Tengah kira-kira Rp 1 miliar per pekan.
Hitung-hitungannya sederhana. Harga ore berkadar 2 persen pada November 2021 senilai US$ 55,72 per ton. Dalam sebulan, perusahaan menghasilkan 30 ribu ton ore. Artinya, tiap pekan perusahaan mengantongi Rp 6,3 miliar. Biaya produksi hingga ongkos angkut berkisar Rp 3-4 miliar.
Selain suapnya murah, pemerolehan izin penambangan nikel melalui pendapat hukum kejaksaan menjadi semacam jalur cepat. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara mengatur bahwa IUP khusus konsesi yang sudah dicabut bisa diperoleh melalui lelang. Pasal 75 ayat 3 bahkan mengatur prioritas konsesi bekas itu adalah badan usaha milik negara.
Penambangan nikel di Konawe Utara, 11 Juni 2021. ANTARA
Wilayah konsesi 12 perusahaan nikel di Sulawesi Tengah yang sudah masuk MODI umumnya berada di area konsesi PT Vale Indonesia Tbk di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Misalnya PT Graha Mining Utama milik Ahmad Ali seluas 624,53 hektare yang berada di Blok Bahadopi Selatan di Desa Lalampu, Morowali.
Di blok itu dulu beroperasi PT Sinar Morokarta Perkasa, PT Kayu Kreasi Meredian, dan PT Bumi Matoa Indah. Izin tiga perusahaan itu dicabut karena menindih area PT Vale. Sebelum dan sesudah pencabutan izin tiga perusahaan itu, tak ada jejak PT Graha Mining sama sekali. Padahal, untuk memperoleh pendapat hukum jaksa, syaratnya adalah punya izin menambang nikel.
Ahmad Ali berdalih izin PT Graha tak terangkut ke provinsi ketika kewenangan menerbitkan lisensi pertambangan nikel beralih dari bupati ke gubernur pada 2016. Kini Undang-Undang Cipta Kerja membuka peluang kembali bagi Ahmad Ali untuk memverifikasi izin pertambangannya. “Sepanjang kau punya dokumen, kau bisa buktikan, kau uji di pengadilan, kejaksaan, atau Ombudsman, kau bisa mendapatkannya kembali,” katanya. “Kalau saya melanggar aturan, perusahaan lain juga seharusnya tidak bisa masuk MODI.”
Perusahaan lain di Blok Bahadopi Selatan yang terdaftar di MODI adalah PT Citra Teratai Indah, milik Haji Karlan. Dulu areanya masuk lahan konsesi PT Oti Eya Abadi milik Ahmad Ali. Pada 2019, area konsesi Oti ciut menjadi 3.300 hektare.
Pengolahan biji nikel menjadi feronikel di Kolaka, Sulawesi Tenggara, 8 Mei 2018. TEMPO/STR/M. Taufan Rengganis
Setahun kemudian, area di luar kawasan yang menciut menjadi wilayah pertambangan yang kini konsesinya dipegang PT Citra Teratai. Jika merujuk pada undang-undang, perusahaan ini seharusnya mendapatkan izin meneruskan penambangan melalui lelang. “Jika dilelang seharusnya semua izin dicabut, termasuk Oti Eya Abadi,” ujar Karlan.
Masalahnya, konsesi PT Citra Teratai juga diakui oleh PT Bumi Kalaena Persada. Haji Adam mengaku mendapatkan konsesi area itu melalui penetapan pengadilan tata usaha negara. “Begitu mau didaftarkan ke MODI, konsesi sudah ada yang isi,” tuturnya. Sebaliknya, Karlan menuding, meski izinnya terbit pada 2008-2009, PT Bumi Kalaena baru berdiri pada 2021.
Toh, kekacauan-kekacauan ini tak menjadi bahan pemeriksaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Mereka juga mengabaikan beberapa perusahaan yang area konsesinya berada di hutan lindung, seperti PT Kurnia Degess Raptama milik Karlan. Sebanyak 80 persen areanya, seluas 6.829 hektare, berada di hutan lindung Morowali. “Saya akan minta penurunan status hutan,” ucap Karlan.
Menanggapi kisruhnya izin penambangan nikel di Sulawesi Tengah ini, Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sugeng Mujiyanto mengatakan Kementerian tak punya kewenangan menilai keabsahan dokumen izin perusahaan nikel dari pemerintah daerah. “Kami hanya mengecek tumpang-tindih izinnya,” katanya.
Bahdin Baid, Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Morowali, mengatakan sistem penyaringan MODI Kementerian Energi bolong lantaran Kementerian ataupun pemerintah provinsi tak mengecek setiap perusahaan pertambangan nikel di Sulawesi sebelum memasukkannya ke MODI. “Mereka tak pernah memverifikasi datanya kepada kami," kata dia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tentakel Tambang Nikel". Liputan ini terbit atas kerja sama dengan Jaringan Advokasi Tambang, Yayasan Auriga Nusantara, dan Yayasan Kompas Peduli Hutan, yang mendapat dukungan Rainforest Investigations Network Pulitzer Center. Penanggung jawab: Bagja Hidayat; Kepala proyek: Erwan Hermawan; Penulis: Erwan Hermawan; Penyumbang bahan: Erwan Hermawan, Dini Pramita; Periset foto: Ratih Purwaningsih; Penyunting bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian; Desainer: Rio Ari Seno