Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perbudakan terhadap pecandu narkoba terjadi di rumah Bupati Langkat selama satu dasawarsa.
Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin mengklaim membina para pecandu narkoba.
Terbit diduga melanggar hak asasi manusia.
BERLUAS separuh lapangan badminton, ruangan itu berdiri di belakang rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-Angin, di Desa Raja Tengah, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Terali dengan besi-besi sebesar jempol orang dewasa menutup ruangan tersebut. Sel itu disebut sebagai lokasi perbudakan yang diduga dilakukan oleh Terbit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hanya satu, dua kurungan besi juga berada di rumah Terbit di Desa Raja Tengah. Bilik itu berjarak sekitar 50 meter dari griya Terbit yang terlihat paling bagus dan menjulang di antara rumah-rumah sekitarnya. Pagar tembok setinggi tiga meter memisahkan rumah Terbit dari kerangkeng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberadaan kerangkeng di rumah Terbit diungkap Migrant Care—organisasi kemasyarakatan sipil yang menangani kasus pekerja migran. Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah mengaku mendapat laporan dari masyarakat setelah Terbit digulung Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap proyek infrastruktur.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Anis, penghuni sel diduga mengalami perbudakan karena bekerja selama sepuluh jam setiap hari tanpa digaji. Anis lantas melaporkan peristiwa itu kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada Senin, 24 Januari lalu. “Kewenangan Bupati Langkat dipertanyakan karena bisa mendirikan rumah rehabilitasi,” ujarnya.
Tomi Tarigan, 25 tahun, pernah tinggal di sel itu selama setahun. Ia masuk kerangkeng itu pada awal Januari 2020. “Kami menyebutnya sebagai masa pembinaan,” katanya di Langkat pada Kamis, 27 Januari lalu.
Warga Desa Raja Tengah ini bercerita, kala itu dia masih menjadi pemadat. Semua warga desa tahu bahwa Cana—sapaan karib warga desa kepada Terbit—membangun fasilitas rehabilitasi pecandu narkotik di belakang rumah. Mengetahui layanan itu gratis, orang tua Tomi melaporkan anaknya kepada tim Bupati. Ia lalu dijemput pegawai Terbit dan dijebloskan ke dalam sel.
Tomi mengaku tak pernah menerima sosialisasi ihwal bahaya narkotik. Yang sering ia dengar justru wejangan bahwa bekerja mencari uang itu susah, sehingga tak patut dipakai untuk membeli candu. Bagi Tomi, ceramah itu cara ampuh menyembuhkan pemadat.
Menurut Tomi, penghuni sel mengerjakan berbagai kegiatan selama menghuni kereng—sebutan warga setempat untuk kerangkeng. Salah satunya beribadah, yang biasanya dilakukan malam hari sebelum tidur. Saat Tomi tinggal di sana, ada 30 orang menghuni sel pertama dan 25 orang di sel kedua. Mereka berbagi alas tidur, sebagian di dipan kayu, sisanya di lantai beralaskan ambal.
Penghuni yang dianggap hampir sembuh dari kecanduan narkotik biasanya ditempatkan di sel kedua. Mereka disuruh menggarap kebun sawit milik Terbit Rencana Perangin-Angin. Tomi pernah mengumpulkan buah sawit dari pohon untuk dibawa ke pabrik PT Dewa Rencana Perangin-angin, fasilitas produksi yang juga dikuasai Terbit.
Tomi menganggap cara itu membantu pecandu narkotik untuk lepas dari jeratan zat adiktif. Ia menganggap pecandu narkotik tak bisa dikurung terus karena bisa jenuh dan mengalami depresi. “Maka kami dibina dengan bekerja di kebun atau pabrik,” ucapnya.
Meski bekerja saban hari tanpa dibayar dan tak pernah mendapat libur, Tomi tak keberatan. Ia menganggap bekerja di kebun Terbit sebanding dengan fasilitas yang diterima selama menghuni kerangkeng, dari makanan hingga pelayanan kesehatan. Ia mengaku diberi makan tiga kali sehari, kadang dengan lauk ayam dan ikan.
Tomi dinyatakan sembuh dari candu pada awal 2021. Ia lalu direkrut menjadi sopir truk kelapa sawit di perusahaan Terbit. Ia tersinggung ketika sel milik Terbit disebut kerangkeng. Menurut Tomi, penghuni memperoleh pelayanan yang layak dari pegawai rehabilitasi yang bekerja untuk Terbit.
Pengecekan terhadap kerangkeng yang digunakan sebagai tempat rehab narkoba di kediaman Terbit Rencana oleh petugas kepolisian, di Desa Raja Tengah, Kuala, Sumatera Utara, 24 Januari 2022. Istimewa
Warga sudah lama mengetahui keberadaan bilik terungku di halaman rumah Terbit. Seorang perempuan Desa Raja Tengah berkisah, kerangkeng itu lazim dipakai orang tua untuk menakut-nakuti remaja nakal di kampungnya. Biasanya orang tua mengancam akan memasukkan para pemuda ke kereng jika bandel.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sumatera Utara Komisaris Besar Hadi Wahyudi menyatakan dua sel di rumah Terbit merupakan tempat rehabilitasi narkoba. Tapi lokasi itu tak mengantongi izin alias ilegal.
Menurut Hadi, Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Langkat pernah menyambangi kerangkeng milik Terbit pada 2017. Petugas sudah meminta pengelola rehabilitasi itu untuk mengajukan permohonan izin resmi sehingga dapat memenuhi standar kelayakan rumah penyembuhan pemadat. “Izinnya belum juga dibuat hingga operasi tangkap tangan oleh KPK,” ujar Hadi.
Kepala Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Sumatera Utara Suku Ginting juga mengungkapkan bilik kurungan yang dikelola Terbit tak berizin. Fasilitas di dalam sel pun tak layak.
BNN Sumatera Utara telah memeriksa 13 dari 48 penghuni kerangkeng. Sebelas orang dinyatakan pernah mengonsumsi narkotik. Rinciannya, dua orang mengalami ketergantungan obat kategori berat, lalu sembilan lainnya tergolong ringan. Dua orang sisanya diduga mengalami gangguan kejiwaan berdasarkan hasil pemeriksaan.
Dua pecandu narkoba berat sedang menjalani rawat inap dan sisanya diizinkan rawat jalan. Penghuni yang ditengarai menderita masalah kejiwaan sudah dirujuk ke rumah sakit jiwa. “Ada yang berkelahi, mengambil dodos untuk mencuri sawit. Pasien yang dibawa ke sana pokoknya yang orang tuanya sudah angkat tangan,” kata Ginting.
Saat Tempo berkunjung ke kerangkeng Terbit pada Kamis, 27 Januari lalu, ada kasur, selimut, tikar, dan bantal bekas penghuni yang tersusun di atas dipan. Berlembar-lembar kertas berisi daftar nama dan alamat penghuni sel terserak di lokasi. Di atas daftar nama tertera tulisan “Kereng 2”, yang berarti penghuni sel kedua.
Di sudut kamar terdapat toilet terbuka dengan tembok satu meter menutupi jamban di dalam ruangan itu. Dindingnya berkerak dan berlumut. Di sana tertempel ambalan kayu untuk menaruh perlengkapan penghuni. Perlengkapan seperti baju, alat mandi, Alkitab, dan obat-obatan tersimpan di kotak gabus. Setiap boks tertulis nama pemilik dan tanggal masuk sel.
Pengacara Terbit, Muhendra Roza, enggan berkomentar mengenai dugaan eksploitasi dan keberadaan kerangkeng itu. “Saya belum diberi mandat untuk berbicara soal itu. Silakan bertanya ke keluarga,” tuturnya. Abang Terbit, Iskandar Perangin-Angin, yang juga tersangka suap proyek infrastruktur, pun bungkam saat ditanyai para pewarta pada Senin, 24 Januari lalu.
Terbit pernah menceritakan tentang kerangkeng itu di kanal YouTube milik istrinya, Tiorita Rencana. “Jadi ini bukan tempat rehabilitasi, ini adalah tempat pembinaan yang selama ini saya buat untuk membina masyarakat yang menyalahgunakan narkoba,” ujar Terbit. Video ini diunggah pada 27 Maret 2021.
Sel itu berdiri sejak sepuluh tahun lalu. Terbit mengklaim sudah ada sekitar 3.000 pasien yang pernah dibina di sana. Ia mengungkapkan sedikitnya seratus orang ingin mendaftar masuk ke bilik rehabilitasi setiap hari.
Terbit pun menjelaskan peran istrinya, yaitu mengurus makanan hingga kesehatan para pecandu. “Saya serahkan menu makanan dan kesehatan kepada Ibu karena lebih paham,” kata politikus Partai Golkar ini. Ia mengklaim ikhlas menolong orang tua yang anaknya menjadi pecandu narkotik.
Seorang penyelidik yang mengetahui kasus pengurungan di rumah Terbit mengatakan sel memang dibagi dua jenis, sel pertama dan kedua. Bilik pertama biasanya dipakai untuk pasien rehabilitasi yang baru masuk. Mereka yang sudah menjalani perawatan dapat bergeser ke bilik kedua jika dinyatakan sembuh dari ketergantungan narkotik.
Narasumber ini mengungkapkan, berdasarkan informasi dari penghuni, mobilitas pasien di sel pertama sangat dibatasi. Sebab, penghuni baru berpotensi membuat onar lantaran masih memiliki ketergantungan tinggi terhadap narkoba. Sedangkan penghuni di bilik kedua boleh bekerja di kebun dan pabrik milik Terbit.
Menurut penyelidik ini, penyiksaan diduga terjadi di bilik pertama. Pasien baru yang tak dapat diatur dan diberi wejangan berpotensi mendapat kekerasan dari penghuni lama. Tomi Tarigan, bekas penghuni sel, membenarkan.
Ia menyebutkan ada sistem senior dan junior di dalam kereng. Setiap bilik juga ada kepala kamar. “Pemukulan itu biasa terjadi karena pecandu narkoba kalau dinasihati dengan kata-kata enggak masuk,” ujarnya.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Choirul Anam mengatakan lembaganya terus mendalami sejumlah informasi, khususnya mengenai dugaan perbudakan dan pelanggaran hak asasi manusia saat kereng itu beroperasi. Menurut hasil investigasi sementara, ditemukan korban tewas di kerangkeng milik Bupati Langkat. “Polisi juga mendapat informasi serupa dengan korban berbeda. Makin lama kasus ini makin terang benderang,” kata Anam.
DEWI NURITA, ADINDA ZAHRA (LANGKAT), SAHAT SIMATUPANG (MEDAN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo