Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIANG yang sunyi akhir November 2022 di bukit Mandiodo pecah oleh deru mesin enam ekskavator yang datang mengeruk nikel. Bukit setinggi 20 meter dari permukaan laut itu terhubung oleh jalan berbatu sejauh satu kilometer ke KM 83 jalan trans-Sulawesi yang membentang dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara, ke Morowali di Sulawesi Tengah sepanjang 298,4 kilometer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekskavator kuning dan hijau tosca itu mengeruk, mengumpulkan, lalu menumpahkan tanah cokelat ke bak tiga truk berkapasitas masing-masing 18 ton yang berjejer di sebelahnya. Setelah bak terisi, truk-truk hijau itu beringsut menuruni bukit menuju pelabuhan di Teluk Mandiodo, berjarak 2 kilometer. Pelabuhan di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, ini berada di sebelah pelabuhan ikan Molawe.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua tongkang berbobot 10 ribu ton menunggu di bibir pelabuhan. Salah satunya bernama Langkat Jaya IX. Tiga truk pembawa nikel dari Mandiodo itu langsung menumpahkan tanah yang dibawanya ke tongkang tersebut secara bergantian begitu tiba di bibir pantai. Dua tongkang yang menadahnya akan membawa nikel bukit Mandiodo ke smelter atau pabrik pemurnian bijih nikel di Morosi sejauh 66 kilometer dan ke smelter Morowali di Sulawesi Tengah berjarak 166 kilometer.
Menurut Slamet Riyadi, Kepala Desa Mandiodo, aktivitas pengerukan nikel di desanya berkurang sejak September 2022. Karena itu, puluhan truk dan alat berat terparkir di pelabuhan. Satu ekskavator bahkan terkubur tanah. “Ada razia nikel ilegal,” kata Slamet. “Sebelumnya ramai banget.”
Alat berat menggaruk nikel di blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, 23 November 2022. Foto: Tempo/Erwan Hermawan
Secara resmi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI menutup area konsesi pertambangan nikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) itu. Wilayah konsesi Mandiodo seluas 3.400 hektare menjadi salah satu pusat nikel Sulawesi Tenggara. Ia noktah dari 16 ribu hektare area konsesi Antam yang diperkirakan menyimpan lebih dari 7 juta ton bijih nikel. Letaknya yang strategis karena dekat ke laut membuat para penambang diam-diam mengeruknya, seperti enam ekskavator itu.
Area konsesi nikel Antam itu bertumpang-tindih dengan wilayah konsesi PT Sangia Perkasa Raya. Keduanya bersengketa sejak 2011 hingga PT Antam berhasil menguasai konsesinya pada 2021. Selama konflik itu, izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk area konsesi ini tak terbit. IPPKH adalah izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tanpa IPPKH, pemilik izin usaha pertambangan (IUP) nikel belum bisa mengeruk bijihnya yang terpendam di kawasan hutan.
Ikhsan Erdiansyah, Direktur PT Sangia, menyangkal jika enam alat berat dan tiga truk yang mengangkut nikel di bukit Mandiodo itu disebut milik perusahaannya. Menurut dia, IPPKH untuk Antam pun belum terbit sehingga seharusnya belum ada aktivitas penambangan di sana. “Penambangan liar makin parah,” ujarnya.
Belum turunnya IPPKH untuk Blok Mandiodo tersebab Antam masih bersengketa dengan sepuluh perusahaan lain yang juga mengklaim memiliki area konsesi itu. Di area konsesi yang dulu milik PT Hafar Indotech, pada akhir November 2022, juga terlihat ada aktivitas pengerukan nikel. “Itu bukan alat berat kami,” tutur Sutikno, bos PT Hafar Indotech.
Lalu punya siapa? Menurut Sutikno, sudah bukan rahasia lagi ada praktik penambangan nikel ilegal di Mandiodo sejak 2011. Tapi ia segan menyebut orang-orang di balik perusahaan-perusahaan pengeruknya. “Ngeri bekingnya,” katanya.
Brigadir Jenderal Pipit Rismanto, Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Polri yang memimpin razia penambang ilegal pada September tahun lalu, mengatakan kini tak ada lagi penambang ilegal di Mandiodo. Kepada Tempo, ia meneruskan pesan WhatsApp Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara Komisaris Besar Bambang Wijanarko. Menurut Bambang, penambang nikel Blok Mandiodo kini kontraktor yang mendapat surat perintah kerja dari PT Lawu Agung Mining.
Brigadir Jenderal Pipit Rismanto di Serang, Banten, 31 Oktober 2022. Foto: Tempo/Joniansyah Hardjono
PT Lawu adalah perusahaan yang menjalin kerja sama operasi (KSO) dengan PT Antam mengeruk nikel di Blok Mandiodo, Tapuemea, dan Tapunggaya. Untuk eksploitasi, perusahaan ini berkongsi dengan Perusahaan Daerah Sulawesi Tenggara. Dalam dokumen KSO pada 22 Desember 2021, Antam menugasi PT Lawu mengeruk 7,8 juta ton tanah seluas 3.400 hektare di blok itu selama tiga tahun.
PT Lawu lalu menunjuk sebelas kontraktor untuk menambang nikel di Blok Mandiodo. Salah satunya PT Piramida Ore Mineral. Rahmat Jaya Rahman, Komisaris Utama PT Piramida, mengakui perusahaannya mendapat kontrak menambang nikel dari PT Lawu di area penggunaan lain (APL) eks wilayah konsesi PT Hafar Indotech. Karena hanya memiliki tiga alat berat, Rahmat mengeruk tanah maksimal 800 ton sehari. “Sebulan paling kami dapat 5.000-7.000 ton,” ucapnya.
Masalahnya, PT Lawu atau subkontraktornya pun, bahkan PT Antam, belum memiliki IPPKH sebagai syarat menambang nikel. “Informasinya Antam sudah memohon ke kementerian,” tutur Kepala Kesatuan Pengelola Hutan Laiwoi Utara, Konawe Utara, Muhammad Yusuf Baso. Dengan kata lain, aktivitas penambangan nikel di bukit Mandiodo belum berizin.
Syarif Faisal Alkadrie, Kepala Divisi Sekretariat Perusahaan PT Antam, mengatakan perusahaannya dan perusahaan yang menjalin KSO telah mengantongi rencana kegiatan anggaran biaya (RKAB) yang disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Lokasinya di luar kawasan hutan sehingga tak memerlukan IPPKH. Menteri Energi Arifin Tasrif membenarkan kabar bahwa BUMN tambang itu telah memiliki RKAB pada 2022. Namun ia tak menyebut kuota serta koordinat lokasi penambangannya.
Penambangan nikel di kawasan hutan konsesi PT Aneka Tambang Tbk. di Desa Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, 19 November 2022. Foto: Arsip Tempo
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mensyaratkan setiap pemegang IUP dan IUP khusus wajib punya dan melaporkan RKAB setiap tahun kepada pemerintah. Isi RKAB, antara lain, memuat kuota penambangan dan koordinatnya. Selain itu, pemegang IUP dan IUP khusus wajib mengantongi IPPKH jika menambang di kawasan hutan.
Analisis citra satelit Tempo dan Greenpeace Indonesia menemukan luas penambangan nikel di Blok Mandiodo selama 2022 seluas 228,58 hektare. Padahal luas penambangan dalam RKAB Antam tahun lalu yang disetujui Kementerian Energi hanya 40 hektare. Analisis citra satelit menunjukkan 90 persen area yang sudah ditambang tersebut berada di dalam kawasan hutan.
Para penambang yang menjadi kontraktor PT Lawu Agung Mining bercerita bahwa kandungan nikel yang masih melimpah berada di kawasan hutan. Nikel di area penggunaan lain, menurut mereka, sudah habis dikeruk oleh pemilik konsesi sebelum PT Antam menguasainya. Dengan target bisa mengeduk nikel 75 ribu ton per bulan, kata mereka, satu-satunya cara memenuhinya adalah mengeruk tanah di kawasan hutan.
Salah satu pemegang IUP Blok Mandiodo adalah PT Karya Murni Sejati 27. Menurut Direktur PT Karya Murni Tri Witjaksono, kandungan nikel di kawasan hutan biasanya 1,8 persen ke atas. Artinya, tiap 1 ton tanah mengandung 18 kilogram bijih nikel. Dalam tiap hektare, menurut Tri, tanah yang dikeruk rata-rata muat untuk lima kapal tongkang. Maka, dengan melihat luas hutan yang dikeruk Antam sepanjang 2022 itu, tanah yang sudah diangkut sebanyak 1.140 tongkang.
Kapasitas satu kapal tongkang rata-rata 7.500 ton. Maka nikel yang dikeruk para kontraktor PT Lawu Agung selama tahun lalu sebanyak 8.571.750 ton. Menurut Asosiasi Pengusaha Nikel Indonesia, harga tanah mengandung nikel pada 2022 sebesar US$ 50 per ton untuk kadar 1,8 persen. Dengan begitu, nilai penjualan nikel ilegal US$ 428,6 juta atau Rp 6,7 triliun mengacu pada nilai tukar rupiah terhadap dolar Rp 15.600.
Dokumen terbang untuk mencuci nikel ilegal. Dokumen Tempo
Angka-angka besar ini mengejutkan La Ode Suryono. Ia Direktur Utama Perusahaan Daerah Sulawesi Tenggara yang berkongsi dengan PT Lawu Agung menjadi kontraktor penambangan nikel Antam di Mandiodo. Menurut La Ode, selama 2022, PT Lawu Agung melaporkan penambangan nikel di blok ini hanya 200 ribu ton. “Kami sedang mengauditnya,” ujarnya.
Dari analisis Greenpeace Indonesia terhadap citra satelit Blok Mandiodo, pengerukan nikel di blok ini tak hanya terjadi pada 2022, melainkan dimulai pada 2019. Dalam kurun 2019-2022, penambangan nikel seluas 985 hektare. Artinya, ada lebih dari 36,9 juta ton tanah mengandung nikel yang terjual ke perusahaan smelter nikel di Morosi dan Morowali. Jika harga rata-rata tanah mengandung nikel selama empat tahun tersebut US$ 30,02 per ton, kontraktor tambang nikel Blok Mandiodo mendapatkan pemasukan Rp 21,6 triliun.
Dua smelter penerima nikel Blok Mandiodo antara lain PT Obsidian Stainless Steel di Morosi, Sulawesi Tenggara, dan PT Indonesia Ruipu Nickel and Chrome Alloy di kompleks Indonesia Morowali Industrial Park, Sulawesi Tengah.
Para kontraktor PT Lawu bercerita bahwa seluruh pengiriman nikel ilegal dari Blok Mandiodo itu diketahui oleh manajemen PT Lawu. Pengiriman nikel sukses sampai smelter karena mereka memakai dokumen perusahaan pemegang IUP di Konawe Utara yang memiliki izin lengkap, baik RKAB maupun IPPKH. Para penambang menyebutnya sebagai “dokter” atau dokumen terbang.
Dokumen perusahaan yang paling banyak dipakai untuk meloloskan nikel ilegal Blok Mandiodo adalah milik PT Kabaena Kromit Prathama dan PT Mandala Jayakarta. IUP PT Kabaena seluas 102,6 hektare berada di APL Mandiodo. Sementara itu, luas IUP PT Mandala 107 hektare di luar Blok Mandiodo, yakni di Kecamatan Kepulauan Lasolo, dipisahkan laut dan teluk dengan Blok Mandiodo.
Citra satelit deforestasi akibat penambangan nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Berkat dokumen terbang dua perusahaan tersebut, para kontraktor Antam bisa menjual nikel ke smelter meski tak punya izin. Begitu sampai di smelter, nikel dari kawasan hutan Mandiodo menjadi berstatus APL sehingga tak perlu menyertakan IPPKH. Bagi kedua perusahaan itu, menjual dokumen terbang menguntungkan. Kontraktor Antam membelinya US$ 10 per ton nikel yang mereka jual ke smelter.
Tarif itu terbagi US$ 5 per ton untuk dokumen dan US$ 5 per ton untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atau royalti. Meski PNBP dibayar, negara tetap merugi karena tak menerima PNBP sektor kehutanan akibat penambangan tanpa IPPKH. Tarif PNBP sektor kehutanan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 tergantung fungsi hutannya. Di Mandiodo, hutan yang hilang akibat pengerukan nikel adalah hutan lindung dan hutan produksi terbatas.
Tarif PNBP kehutanan untuk dua jenis hutan itu sebesar Rp 3,5-4 juta per hektare. Di Blok Mandiodo, menurut analisis citra satelit Greenpeace Indonesia, kehilangan hutan selama penambangan 2019-2022 seluas 985 hektare. Sementara itu, di seluruh Konawe Utara kehilangan hutan selama tiga tahun tersebut seluas 8.400 hektare. Belum lagi hilangnya potensi provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi pemanfaatan kayu.
Pengapalan nikel atas nama PT Mandala terekam dalam dokumen 31 Desember 2022. Perusahaan ini tercatat mengapalkan 10 ribu ton tanah mengandung nikel melalui pelabuhan PT Cinta Jaya di Molawe. Nikel sebanyak itu dikirim ke pelabuhan PT Bintang Delapan Terminal di Morowali, Sulawesi Tengah. “Jika benar informasi ini, akan kami laporkan,” kata Yendra, kuasa hukum Direktur PT Mandala Yeniayas Latoruma.
Adapun Direktur PT Kabaena Andi Adriansyah menyangkal jika perusahaannya disebut menjual dokumen terbang untuk mengapalkan 8.000 ton nikel kadar 1,8 persen. Menurut Andi, perusahaannya hanya menjual nikel hasil eksploitasi sendiri sebanyak 1,5 juta ton per tahun. “Kami menjual nikel kadar 1,6 persen ke bawah,” ucapnya. IUP PT Kabaena berbatasan dengan Blok Mandiodo. Sewaktu Tempo mendatangi area yang dipenuhi bebatuan itu pada pekan ketiga November 2022, tak terlihat ada aktivitas penambangan.
Modus pencucian nikel ilegal ini tergolong rapi karena ada “biaya koordinasi” dengan polisi, jaksa, hingga aparat hukum kementerian sepanjang pengiriman nikel hingga ke smelter. Para kontraktor di Mandiodo, Kendari, hingga Jakarta mengaku menyediakan US$ 16 per ton untuk keperluan ini. “Dengan semua biaya itu, dari harga US$ 50, kami hanya mendapat US$ 3 per ton,” kata seorang kontraktor lokal.
Nama Brigadir Jenderal Pipit Rismanto, Direktur Tindak Pidana Tertentu Polri, santer disebut-sebut sebagai beking para kontraktor tambang nikel ilegal. Dalam sebuah video interogasi polisi terhadap seorang kontraktor nikel yang diterima Tempo, mereka menyebut nama Pipit sebagai aparat di belakang mereka.
Ketika Tempo meminta konfirmasi tentang penambangan ilegal di Mandiodo kepada Pipit, pertanyaan melalui WhatsApp itu sampai kepada para kontraktor di Konawe Utara. Tiga kontraktor dari perusahaan berbeda terbang ke Jakarta untuk mengkonfirmasi pesan tersebut.
Artikel lain:
- Orang Kuat Tambang Ilegal
- Para Elite di Jalan Tambang
- Dampak Smelter Terhadap Ekonomi Wilayah
- Mogok Berujung Bentrok
- Wawancara Menteri Energi Soal Penyebab Penambangan Nikel Ilegal Marak
- Wawancara Windu Aji Sutanto
Kepada Tempo, mereka malah blak-blakan bercerita tentang peran Pipit membekingi penambang nikel ilegal. Menurut mereka, Jenderal Pipit mulai masuk ke tambang Konawe Utara ketika menyegel area penambangan PT Karya Murni Sejati pada September 2021. Pipit menuduh aktivitas eksploitasi PT Karya Murni ilegal karena berada di area konsesi Antam.
Direktur PT Karya Murni Tri Witjaksono mengatakan, meski polisi sudah menyegel dan memasang garis polisi di area pertambangan yang disebut ilegal itu, aktivitas pengerukan tetap berjalan. Tri menunjukkan dokumen berita acara pengawas lingkungan hidup KLHK pada 27 Oktober 2021 yang menyebut penambangan oleh PT Lawu Agung sebagai aktivitas ilegal. “Artinya PT Lawu sudah menambang nikel sebelum menjadi kontraktor Antam,” ujarnya.
Brigadir Jenderal Pipit Rismanto mengaku tak memonitor lagi penambangan nikel di area yang diklaim PT Karya Murni setelah menyegelnya. Menurut dia, aktivitas penambangan nikel PT Karya Murni ilegal karena perusahaan ini kalah oleh PT Antam dalam gugatan konsesi Mandiodo di pengadilan pada 2014. “IPPKH mereka juga sudah dicabut,” ucapnya.
Soal namanya disebut-sebut sebagai beking penambangan nikel ilegal, Jenderal Pipit meminta dipertemukan dengan penuduhnya. “Jangan membuat isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” katanya. “Sudah saya perintahkan penegakan hukum. Tapi, kalau pelakunya aparat selain polisi, itu di luar kewenangan kami.”
Adapun Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengaku baru mendengar ada dana koordinasi dengan aparat penegak hukum kementerian untuk meloloskan nikel ilegal. “Mohon sampaikan siapa orangnya,” tutur Ridho. Sementara itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Dody menolak mengomentari pelicin untuk jaksa dengan alasan sedang cuti.
Manajemen PT Antam tak merespons tuduhan menyediakan “biaya koordinasi” untuk aparat keamanan agar bisa menjual nikel meski tak memiliki dokumen pemanfaatan kawasan hutan. Syarif Faisal Alkadrie hanya mengatakan perusahaannya telah meminta aparat menertibkan penambangan ilegal di area konsesi mereka.
Windu Aji, di Brebes, Jawa Tengah, Desember 2018. Foto: Dok. Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Brebes
Windu Aji Sutanto, pengusaha kelahiran Brebes, Jawa Tengah, pada 1976 yang disebut-sebut sebagai pemilik PT Lawu Agung Mining, tidak merespons surat permintaan konfirmasi Tempo. Pertanyaan melalui WhatsApp pun hanya ia baca tanpa membalasnya. Dalam akta perusahaan, Windu memiliki 95 persen saham PT Lawu Agung Mining melalui PT Khara Nusa Investama.
Soal ribut-ributnya dengan PT Murni Sejati, Windu Aji pernah diajak menyelesaikannya oleh Akbar Faizal. Politikus Partai NasDem ini rupanya kakak sepupu Audy Siddieq, pemilik saham PT Murni Sejati. Akbar bercerita bahwa ia mengundang Windu ke kantornya di Nagara Institute pada Februari 2022. “Dia menawarkan kami jadi kontraktor di bawah Lawu,” katanya. “Dia bilang, perusahaan itu punya Pak Kapolri.”
Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membantah klaim Windu tersebut. Ia mengatakan tak punya hubungan dengan perusahaan tambang mana pun di Konawe Utara. Adapun manajemen PT Lawu Agung Mining mengirim surat jawaban atas nama Divisi Humas tanpa menyertakan nama. Dalam surat itu, manajemen PT Lawu mengklaim rugi akibat penambangan nikel ilegal di Blok Mandiodo. “Kami akan tegas menangkap penambang ilegal,” tulis mereka
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Liputan ini dukung oleh Rainforest Investigations Network Pulitzer Center. TIM INVESTIGASI: Penanggung jawab: Bagja Hidayat; Kepala proyek: Erwan Hermawan; Penulis: Erwan Hermawan, Mahardika Satria Hadi; Penyumbang bahan: Erwan Hermawan, Mahardika Satria Hadi, Rahma Dwi Safitri (Jakarta, Morowali, Morosi), Rosniawanti Fikri Tahir (Kendari); Desainer: Rio Ari Seno; Penyunting bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian