Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qaris Tajudin*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua orang ingin bahagia. Saya juga. Tapi saya pernah menjadi orang yang sangat tidak bahagia. Ketidakbahagiaan itu tidak hanya membuat saya pernah sangat emosional, tapi juga mengganggu kesehatan tubuh saya: sesak napas setiap pagi, beberapa kali hampir pingsan saat mendapat masalah atau kelelahan, dan sebagainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untungnya, sekarang masalah ketidakbahagiaan itu sudah bisa saya atasi. Setelah berhasil mengatasinya, saya banyak membaca buku tentang kebahagiaan dari beragam agama, aliran filsafat, guru spiritual, ahli psikologi, dan neurosains.
Yang menarik adalah, selain memiliki pemahaman sendiri tentang kebahagiaan, setiap agama, budaya, dan aliran pemikiran membentuk sendiri kata bahagia yang sesuai dengan pemahaman masing-masing. Karena itu, menerjemahkan secara tekstual kata bahagia atau kebahagiaan menjadi sesuatu yang kurang tepat.
Kata bahagia dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Sanskerta, bhagya. Artinya bukan bahagia seperti yang kita pahami saat ini, tapi lebih cocok jika diterjemahkan sebagai keberuntungan. Bhagya ini lebih dulu diadopsi bahasa daerah, seperti Jawa dan Sunda, dan dipakai sebagai nama orang.
Dalam bahasa Sanskerta sendiri (juga Pali), kata yang kerap dipakai untuk kebahagiaan adalah sukha, yang kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi suka. Kata ini berasal dari su yang berarti baik dan kha yang berarti lubang sumbu. Intinya adalah mendapat kelegaan dan kebebasan. Kata sukha berseberangan dengan dukha (duka) yang berarti penderitaan.
Mengartikan kebahagiaan sebagai keberuntungan seperti saat kita menggunakan bhagya juga terjadi dalam bahasa Inggris. Kata happy berasal dari hap yang berarti peluang dan keberuntungan. Sebagian besar bahasa Eropa awalnya mengartikan kebahagiaan sebagai keberuntungan, kecuali Welsh--yang mengartikannya sebagai kebijakan.
Dalam bahasa Arab, kebahagiaan diwakili kata sa’adah. Kata ini kemudian membentuk kata yang banyak dijadikan nama, seperti Said (pria yang bahagia), Saidah (perempuan yang bahagia), atau Masud (yang dibahagiakan).
Anehnya, kata ini dalam berbagai bentukannya hanya disebut dua kali dalam Al-Quran. Keduanya ada dalam satu pembahasan di dua ayat yang amat berdekatan (Surat Hud ayat 105 dan 107). Itu pun tidak membahas bagaimana kita bisa hidup bahagia di dunia, tapi tentang kebahagiaan di kehidupan akhirat.
Apakah ini artinya tidak ada konsep kebahagiaan di dunia dalam Islam? Tidak juga. Dalam Islam, kondisi kejiwaan paripurna atau sempurna digambarkan sebagai jiwa yang tenang (nafs muthmainnah), seperti pada Surat Al-Fajr ayat 27-30.
Ini mirip dengan kata kebahagiaan dalam literatur filsafat Yunani, eudaimonia. Kata itu sesungguhnya berarti jiwa yang baik (eu “baik” dan daimon “jiwa”). Tapi, saat diterjemahkan ke bahasa Inggris, disederhanakan sebagai happiness.
Kebahagiaan memang sedang menjadi tren. Hal ini bisa kita lihat dari persentase penggunaan kata bahagia (dibanding kata lain) dalam literatur bahasa-bahasa Eropa. Google memakai mesinnya untuk menelisik kata dalam buku-buku yang terbit sejak 1800-an hingga 2012. Kita tahu, hal ini mungkin dilakukan karena sebagian besar buku berbahasa Eropa sudah ada dalam bentuk elektroniknya.
Sebagian besar literatur Eropa (Italia, Spanyol, Prancis) menunjukkan persentase pemakaian yang meningkat sejak awal abad ke-20. Hanya bahasa Inggris dan Rusia yang persentasenya tinggi di awal abad ke-19, lalu menurun sampai tahun 1980. Dari pertengahan 1980-an hingga kini, persentasenya kembali meningkat.
Pembahasan soal kebahagiaan belakangan ini kemudian mempopulerkan banyak istilah lain, seperti awareness (kesadaran) dan mindfulness (perhatian). Penerjemahan mindfulness sebagai perhatian memang penyederhanaan dari konsep tersebut. Kedua kata itu merangkak naik penggunaannya sejak 1960-an dan meroket pada 1990-an.
Apakah meningkatnya pemakaian kata bahagia menunjukkan masyarakat yang lebih bahagia atau tidak bahagia?
Entahlah.
*) WARTAWAN TEMPO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo