Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Yaya adalah narasumber yang siap menjelaskan persoalan lingkungan, terutama konteks politik yang rumit.
Yaya selalu menunjukkan perhatian pada kepemimpinan masyarakat sipil, terutama orang muda dan perempuan.
“Advokasi bisa disetop penguasa setiap saat. Tapi tak seorang pun bisa menyetop pendidikan.”
"Ketika jiwa besar mati, udara di sekitar menjadi terang, langka, steril. Kita bernapas, sebentar. Mata kita, sebentar, melihat dengan kejernihan yang menyakitkan." (Maya Angelou, When Great Trees Fall)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ITULAH yang banyak orang rasakan ketika Nur Hidayati (Yaya) meninggal, 5 November 2024. Yaya adalah pohon besar itu. Dia pergi meninggalkan begitu banyak kisah. Jejak langkahnya dituturkan ratusan aktivis, tua, muda, dan dari berbagai latar belakang. Di tengah zaman yang serba tersekat-sekat, Yaya adalah sosok yang telaten menjahit, menautkan satu keping dengan kepingan lain, membangun gerakan bersama.
Saya beruntung menjadi salah satu saksi kiprah sang pohon besar. Bagi para jurnalis, Yaya adalah narasumber yang siap menjelaskan persoalan lingkungan, terutama konteks politik yang rumit. Kedalaman pengetahuan serta keluasan jaringan di semua level tidak membuat Yaya meremehkan lawan bicara. Tenang, jernih, tajam, dan tak pernah kehilangan optimisme, itulah Yaya.
Suatu hari pada 2018, Yaya bersama seorang kawan aktivis perempuan, Dewi Hutabarat, singgah ke kantor saya, ketika itu di Tempo Institute. Yaya berkata, “Pada nyadar-enggak, sih, sekarang ini banyak lembaga dipimpin perempuan. Elu di Tempo Institute, gue di Walhi,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama, kami mendaftar deretan pemimpin perempuan ketika itu, ada Asfinawati di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Rukka Sombolinggi di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Dewi Kartika di Konsorsium Pembaruan Agraria, Inda Fatinaware di Sawit Watch, serta Gita Putri Damayana di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. Daftar terus berlanjut.
“Ini momentum yang strategis, kita harus memanfaatkannya buat mendorong kepemimpinan perempuan, bikin serial leadership talk atau sesederhana bikin grup-grup untuk saling mendukung,” kata Yaya. “Seperti kita tahu, tidak gampang menjadi pemimpin perempuan dengan berbagai sebab.”
Sayang sekali, kami tidak sempat merawat dan mengeksekusi gagasan tersebut. Yaya tenggelam dalam jadwal supersibuk sebagai Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang harus berkeliling ke berbagai lokasi di Indonesia.
Perjalanan hidup mempertemukan kami kembali di Climate and Land Use Alliance, sebuah aliansi filantropi untuk isu perubahan iklim. Yaya selalu menunjukkan perhatian pada kepemimpinan masyarakat sipil, terutama orang muda dan perempuan.
Setahun lalu, Mei 2023, saya bersama beberapa kawan mengantarkan Yaya ke Rumah Sakit Siloam. Sel kanker telah menyebar di beberapa organ tubuhnya. Hidup yang selalu tegang, diwarnai advokasi berbagai persoalan lingkungan dan keadilan sosial, sedikit-banyak telah menggerogoti kesehatan tubuhnya. Namun bukan Yaya jika tak berjuang dengan sepenuh hati. Dia tetap tegar dan terus berkontribusi dalam gerakan lingkungan, bahkan di sela serial kemoterapi.
Tubuh Yaya boleh lemah digempur kanker, tapi semangat kepemimpinannya tetap menyala. Dia rajin mengirim pesan kepada kawan-kawan aktivis, bertanya data ini dan itu, atau membesarkan hati kawan-kawan. “Hening, penampilanmu bagus di podcast Kolom Hijau Tempo. Aku bangga sama kamu,” pesannya kepada Hening Parlan, seorang kawan aktivis.
Kamis, 7 November 2024, Walhi menggelar malam mengenang Yaya. Sekali lagi, saya menyaksikan betapa Yaya peduli pada kepemimpinan perempuan. Seorang kawan dari Solidaritas Perempuan berkata, “Saya ingat Mbak Yaya bilang, 'Jangan takut memimpin organisasi yang penuh laki-laki. Sebab, di sanalah perubahan bisa terjadi.'”
Kawan lain bercerita bahwa Yaya berkeras agar Walhi memiliki sebuah rumah yang khusus digunakan untuk pendidikan dan kaderisasi. “Advokasi bisa disetop penguasa setiap saat. Tapi tak seorang pun bisa menyetop pendidikan,” begitu kata Yaya. Walhasil, pada masa kepemimpinan Yaya, Walhi memiliki Rumah Cianjur yang digunakan sebagai pusat pendidikan ekologi.
Yaya, perjalananmu berhenti di usia 51 tahun. Namun spirit yang kau tebarkan semakin kuat. Seperti kata Maya Angelou, ketika jiwa besar tiada, setelah beberapa saat, perasaan damai mekar, perlahan, dan mungkin tak beraturan. Udara dipenuhi semacam getaran listrik yang menenangkan, bahwa kita bisa lebih baik.
Terima kasih, Yaya!
Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.