Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASALAH judi terkait dengan mental dan sarana. Urusan mental memang ruwet karena banyak faktor yang mempengaruhi. Lingkungan sosial, pendidikan, pemahaman agama, dan mungkin masih banyak faktor lain saling terkait. Semua agama pada intinya melarang orang berjudi. Mempertaruhkan harta benda untuk kesenangan sesaat adalah nafsu buruk yang dilarang agama. Selain itu, mendapatkan harta bukan melalui jalan yang benar adalah sesuatu yang tidak disarankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sarana yang bisa dipakai untuk perjudian bisa apa saja. Sarana ini mengikuti zamannya yang bisa berubah. Sarana yang menghibur menjadi daya tarik tertentu. Misalnya sabung ayam. Bali di masa lalu, sebagai contoh, di setiap desa ada balai khusus untuk sabung ayam. Judi ini pun berizin resmi yang dikeluarkan pemerintah. Kini, setelah lahir undang-undang yang melarang perjudian (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974), balai khusus sabung ayam itu sudah tak ada lagi. Semua bentuk perjudian, termasuk sabung ayam, dikategorikan tindak pidana. Balai khusus berubah menjadi balai serbaguna. Namun sabung ayam masih ada secara sembunyi-sembunyi di tempat yang dianggap tidak diketahui polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masih memakai contoh di Bali, judi lokal yang menggunakan uang kepeng begitu banyak ragamnya. Setelah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 diberlakukan, judi ini pun masih marak, mungkin karena sulit diberangus lantaran tidak semeriah sabung ayam. Praktik judi dengan sarana uang kepeng ini akhirnya berkurang setelah pemuka agama gencar memberi pencerahan bahwa uang kepeng adalah sarana ritual keagamaan (Hindu) yang tak patut dijadikan sarana judi.
Ada kemungkinan juga para pejudi menemukan sarana baru yang lebih modern, yakni judi buntut yang mendompleng Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). SDSB resmi dari pemerintah, sedangkan buntutnya, dua sampai empat angka paling belakang, adalah gelap dan milik bandar judi entah di mana. Ketika pemerintah menghentikan SDSB, judi buntut tetap marak dengan nama toto gelap (togel). Totonya konon resmi ada di luar negeri, lalu digelapkan oleh bandar-bandar di dalam negeri dengan pengepul yang berkeliaran di desa-desa.
Pencandu judi bisa memilih sarana apa pun karena bandar judi punya banyak pilihan sarana. Pertandingan sepak bola tak lepas dari judi. PSSI kewalahan mengusut mafia bola dan (dianggap) sulit menemukan bandar judinya. Pertandingan sepak bola tentu tak bisa dihapuskan seperti SDSB, tapi keterlaluan jika hasil pertandingan sepak bola diatur oleh bandar judi.
Jadi, judi itu sulit dihapus karena menyangkut mental manusianya. Perlu ada revolusi moral, jika memakai istilah keren. Namun judi bisa dikurangi jika sarananya dibatasi. Lalu, apakah judi online yang marak belakangan ini bisa dikurangi? Seharusnya bisa dengan membatasi sarananya itu.
Sarana judi online ada dua. Pertama, aplikasi perjudiannya. Ini bisa diblokir pemerintah dan hal itu sudah dilakukan. Kedua, ponsel yang dipakai para pejudi. Bisakah hal ini dibatasi? Pernah ada kewajiban setiap orang yang ingin memfungsikan telepon selulernya dengan membeli SIM card baru harus diregistrasi dengan benar. Memasukkan nama dan identitas yang sesuai dengan e-KTP dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang benar. Jika hal ini diberlakukan lagi dengan ketat, setiap pejudi online, termasuk aktivitas pembukaan rekening untuk judi lewat ponsel, bisa dilacak. Bahkan bisa disanksi sesuai dengan UU tentang Penertiban Perjudian. Registrasi ponsel secara ketat ini merupakan cara yang tidak sulit diterapkan di era digital.
Sungguh menyedihkan, muncul kesan negara dengan budaya adiluhung ini dihuni oleh pejudi terbanyak. Triliunan rupiah dibuang ke luar negeri, sementara di dalam negeri butuh biaya yang banyak untuk berbagai proyek. Satgas pemberantasan judi online harus kerja keras. Bukan saja memblokir aplikasi perjudian dan menutup rekening terkait dengan judi, tapi juga mengawasi warga—termasuk aparat negara—agar tidak terlibat judi online. Salah satu caranya adalah meregistrasi pemilik ponsel sesuai dengan identitas yang benar.