Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam lakon Der gute Mensch von Sezuan, Bertolt Brecht memaparkan apa yang belum terjawab: apakah kebaikan perlu?
Kini orang berbohong, berkhianat, dan berbalik gagang tanpa mempertimbangkan kehadiran sesama.
Dalam cerita Brecht, orang baik sangat penting bagi keselamatan hidupa--palagi bagi mereka yang ditipu, dikalahkan, dan disakiti
DI sebuah kota miskin di Sichuan, penjual air itu berdiri di pintu gerbang, menantikan dewa-dewa datang. Namanya Wang. Ia berjualan sesuatu yang tak selalu bisa diperjualbelikan dan, dalam ketidakstabilan hidupnya, ia mencoba berharap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi, sebagaimana dikisahkan Bertolt Brecht dalam lakon terkenalnya, Der gute Mensch von Sezuan, kehidupan memang mencekik. Di kota itu, bertahun-tahun Wang melarat—seperti yang lain-lain. Jika musim kering, ia harus berjalan jauh mendapatkan air. Jika musim hujan, ketika orang tak punya problem buat mandi, minum, dan mencuci, Wang tak dapat penghasilan. Setengah putus asa, ia percaya (atau berharap) dewa-dewa akan bisa menolong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika seorang pedagang ternak yang sering bepergian jauh membawa kabar bahwa tiga dewa tertinggi akan datang, Wang pun menunggu.
Tapi sebenarnya ketiga dewa itu punya agenda lain. Mereka tak berniat menolong. Mereka hanya hendak menampik pandangan orang-orang atheis yang berkata, “Dunia mesti diubah karena tak seorang pun bisa jadi baik dan tetap baik.” Maka di kota Cina itu mereka ingin menemukan orang baik, biarpun cuma satu.
Tapi tak mudah. Ketika mereka cari tempat menginap, tak ada yang mau menerima tiga tamu dari jauh itu. Akhirnya hanya seorang pelacur, Shen Te namanya, yang murah hati. Ketiga dewa itu ditampungnya di kamarnya yang sempit, gratis. Shen Te mendapat uang untuk bayar sewa rumah dengan menjual tubuhnya di jalanan.
Esok harinya salah satu dari dewa itu jatuh hati menyaksikan kebaikan si pekerja seks; ia memberinya seribu lebih kopeng perak.
Dengan uang itu Shen Te membuka toko tembakau. Dalam beberapa bulan ia jadi orang berada. Tapi ia terlampau baik. Segera orang-orang datang mengerumuninya, mengakali, meminta bantuan ini-itu.
Semua dikabulkan. Lama-kelamaan ia kewalahan. Akhirnya ia punya cara mengelak: ia berubah—ia menyamar—jadi Shu Ta, sepupu lelaki pebisnis yang bakhil, bahkan bengis. “Kita hanya dapat menolong satu dari saudara-saudara yang malang dengan menginjak-injak selusin lainnya”—itu kesimpulannya.
Brecht, dalam lakon ini, tak menganjurkan apa-apa. Tapi ia memaparkan apa yang sampai hari ini belum terjawab: apakah “kebaikan” perlu? Apakah sikap ethis—yang selalu berarti sikap “baik” kepada liyan—tak akan merintangi tujuan dan kepentingan kita sendiri?
Pertanyaan itu tak hilang, justru ketika sikap ethis dikesampingkan. Kini orang berbohong, berkhianat, dan berbalik gagang tanpa mempertimbangkan kehadiran sesama. Kini thema klasik “tujuan-menghalalkan-cara” dipraktikkan beramai-ramai bukan hanya dalam perang yang buas, melainkan juga dalam politik yang konon punya cita-cita luhur, di Amerika ataupun di Indonesia.
Dan yang “baik” kian membingungkan.
Para analis politik yang merasa pintar akan menganggap formula “tujuan-menghalalkan-cara” tak perlu disesali. Itu lumrah, terutama dalam pergulatan hidup. Para pemenang yang jemawa akan membanggakan diri dan mencemooh jika ditanya “di mana sikap ethismu?”.
Pelan-pelan, tak ada lagi gugatan. Tak ada keraguan yang menyiksa perasaan—sesuatu yang dialami Shen Te tapi tak dipedulikan para dewa. Shen Te baik hati tapi tragis; para dewa terlalu dewa. Mereka hanya ingin mengukuhkan sikap mereka yang ingin membantah asumsi kaum atheis.
Di akhir lakon, para dewa pun pergi, setelah merasa menemukan apa yang mereka cari: penanda kebaikan bernama Shen Te. Sementara itu, Shen Te sendiri tak sanggup (dan tak berambisi) jadi teladan yang heroik....
Dalam cerita Brecht, adanya “orang baik” sangat penting bagi keselamatan hidup—apalagi bagi mereka yang ditipu, dikalahkan, dan disakiti. Tapi apa yang dimaksud “baik”? Apa yang disebut “ethis”? Tak ada hukum yang jelas.
Mungkin memang tak harus jelas. Hidup tak berjalan mengikuti Plato, yang idenya tentang apa yang “baik” lebih bersifat “ilmu”, argumen yang abstrak, bukan bersifat “laku”. Bersama Hans-Georg Gadamer, kita lebih baik melihat ke Aristoteles: basis pengetahuan moral adalah oraxis, ikhtiar. Yang disebut “moralitas” sering terlalu seperti khotbah. Yang penting adalah sikap “ethis” yang dilakukan dan dipergulatkan sehari-hari. Yang penting, untuk memakai kata-kata Richard Rorty, adalah “ordinary narratives”, narasi biasa tentang orang-orang yang, melalui pengorbanan dan jerih payah, membuat hidup sedikit lebih baik, tak membuka pintu bagi kekejaman.
Dan itu tidak muluk. Dalam Der gute Mensch von Sezuan kita bisa menemukannya bukan hanya dalam Shen Te, melainkan juga Wang, si miskin yang tak ingin menelantarkan perempuan malang tapi mulia itu.
Dari sanalah, masyarakat—atau kebersamaan—bisa membentuk diri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo