Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
10 NOVEMBER adalah hari Thermopylae.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tanggal itu, di tahun 1945, di Surabaya, milisi Indonesia, umumnya kurus ceking dan hanya pegang karabin, sebagian adalah anggota Tentara Keamanan Rakyat yang baru dibentuk, bertempur; mereka menghadapi pasukan infanteri Sekutu, bagian dari Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEL) yang datang ke Indonesia, sebuah negara yang baru empat bulan sebelumnya menyatakan diri merdeka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasukan Sekutu itu terlatih, berpengalaman tempur, bersenjata canggih, dan dibantu serangan udara. Sekitar 15.000 orang di pihak Indonesia tewas, dan hanya 800 orang di pihak Sekutu.
Tentu kita kenal cerita ini. Tapi apakah sebenarnya “10 November”?
Tanggal itu—atau peristiwa itu—disebut “Hari Pahlawan”. Sebutan itu sebuah ikhtisar. Sebab, konflik dan kekerasan di Surabaya tak hanya berlangsung di hari itu dan kata “pahlawan” hanya meringkas macam-macam kisah keberanian dalam perang yang berlangsung tak seimbang itu.
Secara sporadis, sejak akhir Oktober, beberapa bentrokan terjadi, diselang-selingi gencatan senjata. Entah di saat mana, pada 30 Oktober, dalam tembak-menembak antara pasukan Indonesia dan pasukan AFNEL, seorang perwira tinggi Inggris, Brigadir Jenderal Mallaby, terbunuh. Mobil Buick-nya di dekat Jembatan Merah terbakar. Sekutu murka, pertempuran menjadi-jadi.
Tapi “10 November” bukan hanya itu. Ia mencakup juga pelbagai peristiwa di pertengahan September, ketika pasukan Belanda yang datang sebagai bagian dari tentara Sekutu mengibarkan bendera merah-putih-biru di menara Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit), tempat mereka menginap. Mereka pasti menganggap wilayah itu sejak dulu milik kerajaan mereka. Tapi seorang Surabaya yang tak menerima klaim itu dengan berani memanjat menara dan merobek warna biru dari bendera Belanda yang berkibar itu, dan yang muncul merah-putih.
“10 November”, pendek kata, adalah saat peristiwa-peristiwa. Seperti dikisahkan dengan kocak oleh Idrus dalam novel Surabaya, tak semuanya heroik; ada yang konyol, menggelikan, dan brutal. Semuanya tak tepermanai, tak bisa diformulasikan, tak bisa dikalkulasi. Tak seorang pun pemimpin merancangnya. Bung Karno dan Bung Hatta—yang baru beberapa bulan sebelumnya dinyatakan sebagai presiden dan wakil presiden republik—bahkan tak menduganya.
Dari atas, yang kelihatan memang hanya satu peta yang kompak. Kekuasaan di podium, terutama kekuasaan Sekutu, sebagaimana umumnya kekuasaan imperial, selalu rabun. Dalam myopia mereka, tak terlihat bahwa dasar realitas yang hidup selamanya ruwet dan tak konsisten, multiplicité inconsistantes, kata Alain Badiou. Dalam rabun mereka, juga wishful thinking mereka, Indonesia tak berubah, tetap sebuah koloni yang jinak. Mereka tak tahu bahwa di dalam koloni yang dulu mereka kuasai itu ada yang mereka abaikan atau injak—yang ternyata bisa menyeruak, malah meledak.
Perwira tentara Sekutu, Mayor Jenderal Robert Mansergh, mungkin melihat pasukan kerempeng dengan bedil tua itu soal yang gampang. Ia juga rabun, atau jumawa. Ia memberi mereka ultimatum, menuntut mereka menyerahkan senjata. Pemuda-pemuda Indonesia menolak. Saya bayangkan mereka menjawab, “Ambil sendiri”, dan mengokang senapan—seperti 300 patriot Sparta di bawah pimpinan Leonidas menjawab ultimatum Raja Persia yang mengepung mereka dengan 800.000 anggota pasukan di Thermopylae.
Leonidas dan pasukannya tewas. Tapi mereka berhasil menahan tentara Persia selama tiga hari di celah sempit di Lamia. Dan sejak 480 sebelum Masehi itu, Thermopylae jadi kata yang bercerita tentang keberanian manusia untuk tak takluk, meskipun kalah. Thermopylae kini penanda sikap heroik dalam situasi yang contingent, yang genting, yang serba mungkin.
Pada satu hari di tahun 1945, mungkin dalam bayang-bayang Pertempuran Surabaya, Chairil Anwar menulis sebuah sajak pendek, juga tentang tekad dan suasana yang serba mungkin yang dialami para prajurit yang menjaga tanah air:
Mulai kelam
belum buntu malam,
kami masih saja berjaga:
Thermopylae?
—jagal tidak dikenal? —
tapi nanti sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang....
Sajak ini bukan catatan kemenangan. Yang menggerakkan hati justru prediksi yang suram bahwa “sebelum siang membentang/kami sudah tenggelam hilang”.
Saya membacanya bukan sebagai sikap fatalistis. Saya membacanya seperti kalimat Chairil dalam sajaknya yang lain, tentang perlawanan Diponegoro yang menghadapi musuh yang pasti menang: “sekali berarti/sudah itu mati”.
Sebagaimana bagi pemuda-pemuda di Surabaya di tahun 1945, bagi Diponegoro, “mati” tak mengejutkan. Yang diutamakan adalah “berarti”. Yang diutamakan adalah hidup dengan nilai yang menggerakkan manusia sejak masa sebelum Masehi, sesuatu yang universal, yang membuat manusia jadi subyek dalam tekad yang seakan-akan kekal—di zaman seperti hari ini ketika orang tak peduli apa yang baik dan yang buruk, yang jujur dan tak jujur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Thermopylae"