Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Elang jawa berkembang biak secara alami di Taman Nasional Gunung Halimun Salak selama pandemi.
Minimnya perjumpaan dengan manusia membuat elang jawa yang sangat langka dan menuju kepunahan tersebut dapat hidup nyaman.
Beberapa jenis satwa kerap terlihat di daerah-daerah tak lazim di kawasan TNGHS selama pandemi karena tak takut akan berpapasan dengan manusia.
RAMA dan Dyghta, sepasang elang Jawa (Nisaetus bartelsi), mendapatkan lagi keturunan keempat selama empat tahun menghuni Pusat Suaka Satwa Elang Jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di Bogor, Jawa Barat. Pada 11 Maret 2022 dinihari telur yang dierami Dhygta selama 50 hari menetas. Detik-detik menetasnya telur hewan langka calon penguasa langit Gunung Salak dan Halimun itu dipantau dan disiarkan langsung lewat kanal YouTube milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak Rabu, 9 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, pada 7 Juli 2020, pasangan itu sukses menetaskan anak setelah bergantian mengerami telur selama 42 hari di tengah-tengah pandemi Covid-19. Anak mereka diberi nama Parama yang memiliki arti “paling unggul”.
Menurut Wardi Septiana, anggota staf Pengendali Ekosistem Hutan TNGHS, Parama kini telah berusia 1,5 tahun. Parama masih tinggal di dalam kandang dan dalam kondisi telah siap untuk dilepasliarkan ke alam. Adapun Rama dan Dygta sebetulnya berasal dari Jawa Timur. Pasangan elang Jawa ini diserahkan oleh petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur kepada Pusat Suaka Satwa Elang Jawa untuk direhabilitasi.
Momen bersejarah lain di TNGHS adalah ketika pasangan Prabu dan Ratu menetaskan anak mereka, Prawara, pada Jumat, 9 April 2021 pukul 05.47, lagi-lagi di tengah pandemi virus corona. Prawara yang dalam bahasa Sanskerta berarti “paling terkemuka” itu betul-betul lahir di alam liar setelah telurnya dierami selama 47 hari, tepatnya di Blok Cidahu TNGHS.
Jauh sebelum Prawara lahir, petugas telah mengamati Prabu dan Ratu dari berpasangan hingga kawin dan membangun sarang di ketinggian sekitar 965 meter dari permukaan laut. Di sarang dari kumpulan ranting kering inilah Prawara lahir dengan warna tubuhnya yang masih serba putih. “Itu kelahiran elang Jawa terbaru yang kami pantau di alam liar,” kata Wardi, yang juga Koordinator Pusat Suaka Satwa Elang Jawa TNGHS.
Perilaku pasangan yang kerap dijuluki Pratu ini telah diamati secara intensif sejak Desember 2020. Pengamatan ini diikuti dengan pemasangan kamera pengawas beresolusi tinggi yang mampu memperbesar gambar 25 kali pada Januari 2021. Kamera tersembunyi ini dipasang dengan ekstra-hati-hati di pohon dengan ketinggian hampir 15 meter. Hal ini dilakukan supaya pasangan tersebut tak merasa terusik lalu berpindah ke tempat lain.
Pada masa pengeraman telur itu, semua jalur pendakian di TNGHS, dari Pasir Rengit hingga Cimelati, ditutup untuk umum sejak Desember 2019. Sementara itu, kawasan wisata lain di sekitar TNGHS seperti Javanaspa ditutup sejak Maret 2020, meskipun sempat dibuka dalam hitungan pekan sebelum ditutup kembali karena pandemi.
Menurut Wardi, elang Jawa sangat sensitif akan keberadaan manusia. Ia mengingat, pada 2015 ketika mata elang Jawa yang sangat tajam menangkap keberadaan petugas di daerahnya, sang penguasa langit itu langsung berpindah sarang. Saking sensitifnya, Wardi menjelaskan, pada 2019 ada elang yang meninggalkan sarangnya begitu saja ketika tiba-tiba sebatang ranting pohon jatuh dan menyenggol cabang tempat mereka bersarang. “Telurnya ditinggalkan saja,” tuturnya.
Wardi mengatakan kondisi pandemi yang membuat TNGHS hampir tak terjamah manusia membuat elang Jawa nyaman. “Terus bertelur menunjukkan mereka sudah hidup nyaman,” ucapnya. Selain itu, ancaman perburuan manusia ikut berkurang. Meskipun demikian, di pasar, penjualan elang Jawa cenderung menurun dari hasil pantauan petugas. Namun ancaman itu masih ada.
Selama penutupan, menurut Kepala Balai TNGHS Ahmad Munawir, beberapa satwa liar jadi bebas bergerak tanpa takut berpapasan dengan manusia. “Ternyata berdampak bagi satwa-satwa yang biasa bermain atau wilayah jelajahnya dekat situ, untuk berani turun,” ujar Munawir. Ia menyebutkan beberapa satwa itu seperti landak yang mendekati dapur di Blok Loji serta macan tutul Jawa di sekitar area berkemah. Petugas mendapati jejak, kotoran, dan sisa bangkai rusa, makanan sang kucing besar. “Populasi macan tutul di TNGHS sekitar 60 ekor,” katanya.
Di TNGHS, macan tutul termasuk tiga satwa kunci selain owa Jawa dan elang Jawa. Menurut profesor riset konservasi macan tutul Jawa, Hendra Gunawan, banyak faktor yang mempengaruhi populasi kucing besar itu. Macan tutul, kata dia, merupakan predator puncak yang dapat memangsa hewan berukuran kecil hingga besar, dari luwak hingga babi hutan.
Menurut Hendra, kemampuan inilah yang membuat macan tutul dapat bertahan hidup. Di samping itu, macan tutul jantan merupakan satwa teritorial yang memiliki area khusus. Dengan kata lain, Hendra menambahkan, makin banyak macan tutul, makin luas habitat yang dibutuhkan. Namun, dari penelitiannya pada 2010 untuk wilayah Jawa Tengah, hutan yang memiliki kesesuaian habitat tinggi bagi macan tutul hanya 30,86 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalur pendakian dilokasi habitat kelinci Sumatera, di Taman Nasional Kerinci Seblat, Maret 2020/Tempo/Febrianti
Ia menilai hutan konservasi, seperti TNGHS, lebih aman untuk macan tutul saat ini. Macan ini dinyatakan sebagai satwa kritis yang nyaris punah sejak 2007 di dalam International Union for Conservation of Nature Red List. Padahal, sebagai puncak rantai makanan, macan tutul menjadi spesies kunci bagi kelestarian dan integritas ekosistem hutan. “Ia menjadi pengendali populasi satwa mangsanya sehingga jumlahnya tidak sampai meledak dan menjadi hama,” tutur Hendra.
Peran lain predator puncak, menurut Hendra yang juga Peneliti Ahli Utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi KLHK, adalah menjaga kesehatan ekosistem. “Macan tutul umumnya memangsa satwa yang mudah diburu, yaitu yang lemah atau sakit-sakitan,” tuturnya. Pola itu ikut menghentikan potensi penularan penyakit dari hewan ke lingkungan manusia atau ke hewan ternak.
Sementara itu, selama masa pandemi, TNGHS kedatangan beberapa satwa yang dilepasliarkan di taman tersebut. Pada Desember 2020, misalnya, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat melepaskan 30 individu kukang Jawa (Nycticebus javanicus). Satwa yang disebut malu-malu itu salah satu primata yang terancam punah dan masuk Apendiks Convention International on Trade of Endangered Species yang artinya dilarang diperdagangkan.
Sebelumnya, pada 16 Juli 2020, seekor elang ular bido (Spilornis cheela) kembali ke rumahnya di TNGHS. Menurut Kepala Balai Munawir, TNGHS merupakan ekosistem yang cocok untuk pelepasliaran kukang Jawa dan elang karena daya dukung habitatnya yang makin baik. Ia bahkan berencana menelusuri informasi keberadaan ajag atau Javan dhole (Cuon alpinus), anjing hutan yang langka, di area TNGHS.
Selain itu, menurut Munawir, beberapa jenis satwa liar terlihat pada lokasi-lokasi obyek daya tarik wisata alam, di antaranya macan tutul di Blok Loji, owa Jawa di Blok Sukamantri, dan kodok merah di sisi timur. Sebelumnya satwa-satwa ini sangat sulit dijumpai di area-area tersebut karena adanya aktivitas manusia.
Selepas masa pandemi, Munawir mengatakan, ia akan mengubah pola wisata di Loji dari sebelumnya wisata massal menjadi wisata dengan minat khusus yang diatur dalam paket-paket. “Sehingga kita bisa atur jumlah orang yang datang ke tempat ini agar tidak crowded,” katanya.
•••
PANDEMI juga memberikan berkah bagi Taman Nasional Gunung Ciremai ketika petugas menemukan tikus berbulu cokelat dengan motif kotak di sepanjang ekornya. Tikus ini belum pernah diidentifikasi sebagai satwa liar yang menetap di TNGC. Namun, berdasarkan identifikasi awal, hewan pengerat tersebut diduga sebagai tikus ranai (Haeromys sp.).
Kabar baiknya lagi, tutupan hutan di kawasan TNGC meningkat. Pada 2018, sebelum masa pandemi, tutupan hutan sekitar 76 persen. Jumlahnya meningkat menjadi 80 persen dalam waktu tiga tahun, 2021. Dengan demikian, hanya tinggal 20 persen area terbuka di kawasan TNGC atau sekitar 2.950 hektare. Kabar baik ini disampaikan oleh TNGC melalui akun Instagram resmi mereka.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) juga dikejutkan oleh kembalinya kelinci Sumatera (Nesolagus netscheri), kelinci endemik Sumatera yang sangat langka. Kelinci Sumatera enam kali terekam dalam kamera jebak yang dipasang petugas balai untuk memantau satwa. Pada awal November 2020, petani bernama Suparno yang tinggal di kaki Gunung Kerinci menemukan seekor kelinci itu hanyut terseret banjir di parit dan membawanya pulang untuk dipelihara.
Menurut Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Kerinci TNKS Nurhamidi, kelinci Sumatera terakhir terlihat petugas patroli pada 2003 di sekitar area Danau Belibis. Nurhamidi mengatakan, waktu TNKS ditutup karena pandemi, mereka memasang 12 kamera jebak di sepanjang jalur pendakian Gunung Kerinci. Kamera-kamera itu berhasil merekam 16 spesies, di antaranya kelinci Sumatera, beruang madu, burung delimukan zamrud, burung sempidan Sumatera, kucing emas, dan kucing batang.
Menurut Ardinis Arbain, ahli biologi dari Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Andalas, TNKS yang makin minim aktivitas manusia karena pandemi bisa jadi membuat kelinci Sumatera ini makin leluasa beraktivitas. “Teori besarnya, kelinci ini hanya dapat hidup baik di lingkungan yang minim polutan dan interaksi manusia,” tuturnya. Ia menyarankan pembuatan zona inti di dalam TNKS supaya keberadaan kelinci Sumatera dan keseimbangan ekosistemnya terjaga selepas masa pandemi.
Riuhnya kemunculan satwa liar pada masa pandemi juga diamati oleh para peneliti di dunia. Menurut majalah Nature edisi 22 Juni 2020, penampakan hewan liar di perkotaan itu sebagai dampak dari “antropause”, istilah untuk menjelaskan berkurangnya lalu-lalang manusia akibat Covid-19. Di Montreal, Kanada, misalnya, terjadi penampakan sigung, rakun, rusa ekor putih, hingga kelinci dan rubah.
Selain Kanada, yang melaporkan penampakan hewan langka antara lain Kota Nara, Jepang (penampakan rusa sika); pantai California, Amerika Serikat (kalkun); San Felipe, Panama (rakun); Kota Santiago, Cile (puma); pelabuhan Trieste, Italia (lumba-lumba); dan Tel Aviv, Israel (serigala). Menurut Nature, sangat penting untuk memahami hubungan antara perilaku manusia dan satwa liar. Sebab, hal itu adalah kunci untuk melestarikan keanekaragaman hayati global, menjaga integritas ekosistem, serta memprediksi zoonosis global dan perubahan lingkungan.
ANWAR SISWADI (BANDUNG) | FEBRIANTI (JAMBI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo