Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah berusaha mengakomodasi yang pro dan kontra dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Prevalensi kasus kekerasan terhadap perempuan turun, tapi jumlahnya masih tinggi.
Pemerintah menargetkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual bisa disahkan tahun ini.
DIPERJUANGKAN sejak 2016, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tak kunjung disahkan. Kini rancangan itu masuk Program Legislasi Nasional sebagai inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat dalam sidang paripurna pada 18 Januari lalu. Pemerintah memperkuat rancangan itu dan berusaha mengakomodasi aspirasi kelompok yang menentang rancangan ini bisa segera dijadikan undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati menilai ada kebutuhan mendesak agar rancangan itu segera menjadi undang-undang karena jumlah kasus kekerasan masih tinggi, termasuk kekerasan seksual. “Sejak November 2021, tiada hari tanpa pemberitaan kekerasan seksual terhadap perempuan, terutama terhadap anak-anak,” katanya dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Abdul Manan dan Linda Trianita, di kantornya pada Jumat, 25 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan masih tinggi, sekitar 20 ribu kasus lebih per tahun sejak 2018 dan yang tertinggi pada 2021 dengan 25.210 kasus. Dalam wawancara sekitar satu jam, Bintang menjelaskan pentingnya undang-undang ini, terobosan yang bisa dilakukan, dan potret kesetaraan gender kita.
Apa yang dilakukan pemerintah agar rancangan ini bisa disahkan?
Kami menunggu. Apa yang menjadi tugas pemerintah sudah kami lakukan semaksimal mungkin. Kami menerima rancangan itu pada 28 Januari, lalu digelar rapat. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) menjadi leading sector. Dalam hal pembahasan, ada empat kementerian, yaitu Kementerian PPPA, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Sosial. Dalam penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM), ada 12 kementerian dan lembaga. Waktu itu Imlek, (tapi kami) tidak mengenal libur. Betul-betul dikebut pembahasannya. (Pemerintah menyerahkan DIM pada 11 Februari). Pemerintah menyadari betul urgensi dan kemendesakan rancangan ini untuk bisa disahkan menjadi undang-undang.
Apa yang baru dari usulan pemerintah?
Kalau substansi, tidak banyak berubah. Kami menguatkan versi DPR. Ada beberapa hal yang kami harapkan dalam rancangan ini, beberapa terobosan, yaitu soal penyelenggaraan pelayanan terpadu. Bagaimana ini bisa menjawab apa yang menjadi permasalahan di masyarakat dan memberikan kepentingan terbaik kepada korban.
Apakah nanti di setiap provinsi, kabupaten, atau kota ada layanan terpadu?
Betul. Sebenarnya sudah ada dalam bentuk unit pelaksana teknis daerah pemberdayaan perempuan dan anak (UPTDPPA). Sekarang sudah dibentuk di 31 provinsi dan 198 kabupaten/kota. Dulu UPTDPPA hanya melayani enam fungsi layanan dasar. Ke depan, tata kelolanya akan berubah. Istilahnya one stop service. Korban datang, di sana dia akan mendapat pelayanan yang komprehensif. Itu terobosan yang akan kami jawab dalam rancangan ini. Rancangan ini akan memberi pendampingan, dari pelayanan, perlindungan, sampai rehabilitasi sosial.
Selama ini praktiknya seperti apa?
Sebelumnya, (UPTDPPA) hanya menangani proses pelaporan. Ketika proses pemeriksaan kesehatan dan lain-lain, korban harus ke tempat lain.
UPTDPPA itu nanti akan bertransformasi menjadi layanan terpadu?
Menjadi pelayanan terpadu. Kalau dulu UPTDPPA hanya di bawah pengampu urusan perempuan dan anak, ke depan dengan tata kelola baru. Ini disepakati dengan Kementerian Dalam Negeri karena yang bisa intervensi ke daerah kan Kementerian Dalam Negeri. Nanti istilahnya on call. Misalnya ada enam layanan dasar yang ditangani UPTD. Yang lain, soal rehabilitasi dan pemeriksaan, oleh dinas kesehatan. Untuk penyidikan, on call ke kepolisian. Sekali korban masuk, dia mendapat pelayanan dan penanganan yang komprehensif dalam satu atap. Substansi lain yang juga merupakan terobosan adalah soal restitusi.
Bagaimana konsep restitusi dan kompensasinya?
Pemerintah mengenal kompensasi di Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Di sana dimuat kompensasi untuk kasus terorisme dan pelanggaran hak asasi berat. Seperti dalam kasus Bandung (kekerasan seksual di pondok pesantren di Cibiru), dasar hukum (kompensasi dan restitusi) tidak ada. Pemerintah tidak mungkin menanggung jika kejahatan oleh individu. Kalau disebut restitusi, itu ditanggung pelaku atau pihak ketiga, yang bisa keluarga atau perusahaan kalau kasusnya tindak pidana perdagangan orang. Pihak ketiganya bukan pemerintah.
Bagaimana strategi pemerintah menghadapi partai politik yang tidak setuju rancangan ini?
Berbagai upaya kami lakukan. Komunikasi kami lakukan dengan pimpinan DPR. Setelah tahun 2020 (rancangan itu) dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional, kami melakukan komunikasi intensif. Tidak hanya dengan yang mendukung, tapi juga yang kontra. Belajar dari itu, Kementerian ingin meminimalkan multitafsir atas rancangan ini.
Seberapa serius pemerintah mendorong pengesahan? Mengapa tidak bisa secepat pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja atau Undang-Undang Ibu Kota Negara, misalnya?
Sangat amat serius. Apalagi Presiden sudah mengeluarkan pernyataan. Ketika rancangan disahkan dan dikirim ke pemerintah, kami tidak mengenal siang dan malam. Tidak ada kalender merah. Semua hitam. Artinya, serius. Dalam seminggu DIM kami selesaikan. Mengenai pembahasan (rancangan) ini, mudah-mudahan saat DPR reses, (mereka) menyerap aspirasi. Mungkin karena rancangan ini menyangkut publik, masyarakat luas, perlu hati-hati.
Bagaimana dengan kendala politik?
Strategi politik itu juga penting. Lobi-lobi itu tetap kami lakukan dengan berbagai partai.
Apakah kasus kekerasan cenderung meningkat?
Saya sering mengatakan, kasus yang terungkap yang meningkat. Pertengahan Desember 2021, kami merilis survei pengalaman hidup perempuan, anak, dan remaja bersama Badan Pusat Statistik dan akademikus. Kekerasan terhadap anak ataupun perempuan menurun, walaupun masih cukup memprihatinkan karena prevalensinya masih tinggi. Kekerasan ini kan fenomena gunung es. Yang dilaporkan sangat sedikit dari kejadian yang sebenarnya. Tapi, mulai November 2021, tiada hari tanpa pemberitaan kekerasan seksual terhadap perempuan, terutama anak-anak. Yang memprihatinkan lagi, yang cukup miris, itu terjadi di tempat seperti lembaga pendidikan berasrama.
Kami menyampaikan apresiasi atas partisipasi masyarakat yang berani melapor. Seperti kasus di Bandung, orang tuanya yang sensitif melihat perubahan anaknya, kemudian berani melapor. Dia tidak hanya menyelamatkan anaknya sendiri, tapi juga anak-anak lain. Terungkapnya kasus ini akan membuat lebih banyak yang bisa diselamatkan. Di Hari Perempuan Internasional tahun ini dan tahun sebelumnya, kami mendorong mereka agar berani bicara. Itu yang kami harapkan. Makin orang berani melapor, berani mengungkap, lebih banyak yang bisa kita selamatkan. Makanya belakangan ini yang dibilang kasus meningkat itu kasus terungkap yang meningkat.
Apa masalah hukum utama dalam penanganan kasus kekerasan seksual?
Masih ada kekosongan (hukum). Makanya rancangan ini akan menjawab kekosongan itu dan ada beberapa terobosan baru. Jadi betul-betul memberikan kepentingan terbaik bagi korban. Ini kan juga beririsan dengan undang-undang yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga, lembaga perlindungan saksi, tindak pidana perdagangan orang. DIM pemerintah sudah memastikan muatannya tidak tumpang-tindih dengan undang-undang lain, termasuk dalam soal kekerasan berbasis online.
Mengapa kasus yang sampai ke pengadilan sedikit?
Selama ini korban menganggap (kasus) itu aib. Itu yang kami dengar. Ini tantangan bagi aparat penegak hukum. Kita harus memberikan penanganan yang cepat dan tuntas agar yang mengalami kekerasan berani melapor karena akan ditangani dengan baik dan tuntas.
Seberapa yakin rancangan ini bisa disahkan menjadi undang-undang?
Ini kan menunggu waktu saja. Kalau lolos, pasti, lah. Ini kan inisiatif DPR. Pemerintah tinggal menunggu undangan pembahasan. Kami siap kalau diajak melakukan pembahasan siang dan malam untuk mempercepat pembahasannya.
Apakah pemerintah punya target waktu pengesahan?
Kami tidak memasang target bulan. Yang penting tahun ini disahkan. Kalau bisa, makin cepat, makin baik, ya, agar ada satu payung hukum yang bisa memberikan perlindungan komprehensif kepada korban.
Apa yang dianggap paling krusial dalam kasus kekerasan seksual?
Yang sangat memprihatinkan belakangan ini tentu kasus Bandung. Juga di Aceh, yang ayah kandung dan anak kandung sampai punya dua anak. Mereka (korban) kan tidak berani mengungkapnya. Di Bandung, kasusnya tahun 2016 dan Aceh tahun 2015. Ada hal penting yang bisa kita lakukan secara bersama, bukan hanya kami di kementerian ini. Seperti kasus Bandung, di lembaga pendidikan berasrama. Kami mengharapkan kasus kekerasan ini tidak harus ditangani di hilir. Penanganan di hulu jadi penting. Saya mengapresiasi kementerian/lembaga lain dalam hal pencegahan untuk lembaga seperti pendidikan berasrama, apalagi berbasis agama. Ini harus menjadi catatan. Tidak hanya ketika memberikan izin harus diseleksi, izin itu harus diikuti pengawasan. Bagi satuan pendidikan yang berasrama, kementerian/lembaga atau yang membawahkannya harus melakukan pengawasan semaksimal mungkin untuk mencegah di hulu. Kalau di hulu ada pencegahan dengan pengawasan, ketika memberi izin lebih selektif, saya yakin kita bisa menekan kasus kekerasan ini.
Kadang ada upaya menghalangi penegakan hukum oleh para pendukung pelaku, seperti kasus di Jombang, Jawa Timur.
Di dalam rancangan ini ada pasal untuk menjerat yang menghalangi-halangi. Dalam kasus Jombang, ini kasus lama. Ini terkait dengan relasi kuasa. Ini kan sudah ada langkah maju. Setidaknya sudah P21 (perkara siap dilimpahkan ke kejaksaan). Ini yang ditunggu pendamping korban. Tinggal eksekusi saja.
Menteri PPA Bintang Puspayoga menjumpai siswa sekolah dasar saat melakukan kunjungan kerja ke Trenggalek, 16 Februari 2022. Dok. Humas Pemkab Trenggalek
Kasus kekerasan seksual mencuat belakangan ini. Apa pemicunya?
Pertama, karena faktor media sosial. Kedua, orang sudah berani bicara terbuka, tidak lagi menganggapnya aib. Dulu kan dianggap aib keluarga. Apalagi, untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga, sama sekali (korban) tak berani melapor karena dianggap aib. Sekarang ini tantangannya (justru) ketika korban melapor, bagaimana (penegak hukum) menangani kasusnya secara tuntas sehingga akan lebih banyak kasus yang terungkap.
Apa sebenarnya akar masalah dari kekerasan seksual ini? Ekonomi, budaya?
Pasti, lah, ada faktor ekonomi. Kalau kita bicara kekerasan seksual, yang selama ini sangat miris adalah perkawinan anak. Itu kan (karena) faktor kemiskinan, ekonomi. Juga karena budaya. Di daerah tertentu masih ada budaya melegalkan perkawinan anak ini.
Bagaimana penanganannya?
Akan berat kalau menyelesaikan di hilir saja. Hulu akan jadi penting.
Kekerasan dalam rumah tangga apakah juga meningkat di masa pandemi?
Kekerasan dalam rumah tangga, perkawinan anak, tidak hanya terjadi di Indonesia, global juga begitu, sebagai dampak dari pandemi. (Menurut data Simfoni PPA, pada 2021, ada 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan dan sebanyak 6.045 kasus merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga.)
Dalam Global Gender Gap Index 2021, Indonesia berada di peringkat ke-101 dari 156 negara, turun 16 tingkat dari tahun sebelumnya. Bagaimana potret kesetaraan gender kita?
Saya melihat partisipasi perempuan di publik dari tahun ke tahun sudah menunjukkan angin segar. Keterwakilan perempuan di DPR sudah meningkat meski belum mencapai kuota 30 persen seperti yang diperjuangkan. Masih belum. Tingkat partisipasi angkatan kerja masih menjadi pekerjaan rumah. Kami di Kementerian, sejak 2021, mengembangkan model Desa atau Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak. Ada 10 indikator yang dipakai. Salah satunya partisipasi perempuan. Mengapa pakai ini? Kami melihat praktik baik.
Regulasi pemberdayaan dan perlindungan perempuan cukup banyak, tapi implementasinya sangat sulit. Di tingkat akar rumput, kami pernah (menerima) testimoni dari pemimpin perempuan, hampir 3.900 kepala desa perempuan. Kami jadikan percontohan di Bone. Di sana ada 59 kepala desa perempuan. Tidak sampai satu tahun, mereka sudah bisa menihilkan perkawinan anak. Mereka buat dalam peraturan desa yang diikuti program, kegiatan, dan penganggaran. Praktik baik ini juga disosialisasi saat pengajian, sunatan, dan lain-lain. Yang sangat mengena di hati masyarakat adalah sanksi sosial. Kalau ada perkawinan anak, kepala desa tidak datang bila diundang. Di tingkat desa, kepala desa tidak datang. Itu kan jadi bahan pembicaraan. Itu akhirnya bisa menihilkan perkawinan anak.
Apa kendala terbesar untuk mewujudkan kesetaraan gender? Bagaimana mengatasinya?
Budaya patriarki yang berabad-abad. Tembok ini yang perlu kita kikis dengan sosialisasi dan pemahaman. Sebanyak 49,42 persen populasi adalah perempuan. Kalau perempuan sendiri saling mendukung, saling menginspirasi satu sama lain, jangan saling sirik, saya yakin tembok tebal itu mulai terkikis. Kami melihat Indeks Pembangunan Manusia dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) sudah ada pergerakan meski tidak signifikan. Peningkatan sudah ada.
Apakah kapasitas Kementerian bisa menjawab tantangan ini?
Sering saya sampaikan bahwa harapan masyarakat sangat besar terhadap kementerian ini karena melihat nomenklatur. Tapi masyarakat tidak tahu bahwa fungsi kami terbatas, hanya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan. Eksekusinya di lembaga lain. Misalnya, soal keberhasilan di bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan, ada perempuan dan anak di sana. Sebab, perempuan mengisi setengah populasi dan anak sepertiga. Kalau bicara keberhasilan ekonomi perempuan dan anak, orang tidak pernah melirik Kementerian. Tapi, ketika ada masalah perempuan dan anak, ini Kementerian mengerjakan apa, ya? Apalagi kalau ada kasus kekerasan, pasti begitu. Ya, kami terima saja.
I Gusti Ayu Bintang Darmawati
Tempat dan tanggal lahir: Denpasar, 24 November 1968
Riwayat pendidikan:
• S-1 Jurusan Studi Manajemen Universitas Ngurah Rai, Bali;
• S-2 Program Studi Kajian Budaya Universitas Ngurah Rai, Bali
Riwayat pekerjaan:
• Kepala Seksi Purbakala dan Museum pada Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, Bali;
• Kepala Seksi Pengembangan Warisan Budaya pada Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, Bali;
• Inspektur Pembantu Wilayah III pada Inspektorat Kota Denpasar, Bali;
• Asisten Administrasi Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Denpasar, Bali;
• Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo