Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tonotwiyat atau Hutan Perempuan menjadi sebutan untuk hutan bakau di Kampung Injros, Distrik Abepura, Papua, yang hanya boleh dimasuki oleh perempuan.
Hutan bakau yang menjadi sumber bahan pangan alami bagi warga Injros kini rusak karena pembangunan venue dayung untuk Pekan Olah Raga Nasional.
Karena rusaknya lingkungan hutan bakau, kini tinggal tersisa 10 perempuan yang menjalankan tradisi sebagai penjaga Hutan Perempuan di Kampung Injros.
HUTAN bakau sudah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Kampung Injros, Distrik Abepura, Papua. Turun-temurun mereka menjaga hutan mangrove yang luas itu di kampung. Warga Injros bahkan menganggap hutan bakau adalah milik kaum perempuan yang sangat dihormati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tonotwiyat. Demikian warga Injros menamai relasi erat hutan bakau dengan kaum perempuan. Tonot berarti hutan, sementara wiyat merupakan ajakan kepada sesama perempuan untuk datang ke hutan bakau mencari kerang. Hutan bakau pada akhirnya menjadi tempat berbagi para perempuan Injros.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tetua perempuan Injros, Adriana Youwe Marauje, mengatakan hutan memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan kaum Hawa di Teluk Youtefa. Mereka biasa mencari kerang, ikan, dan bia nor alias siput yang bersembunyi di balik belukar dan lumpur hutan bakau. “Setiap kali ada pesta adat, sudah pasti kaum perempuan menyiapkan makanan,” ujar tetua yang biasa disapa Mama Ani itu.
Injros, yang dikenal juga sebagai Kampung Enggros, adalah pecahan dari kampung yang tadinya mencakup Tobati dan Kayu Pulo. Injros sendiri berarti kampung kedua setelah pecah dari Tobati menyusul tsunami yang terjadi pada 1930-an. Luas kampung Injros 4,7 kilometer persegi atau sekitar 3 persen dari area Distrik Abepura. Menurut data Badan Pusat Statistik Kota Jayapura pada 2018, ada 104 keluarga yang tinggal di Injros.
Hutan bakau sudah lama menjadi andalan warga Injros untuk mendapatkan pasokan bahan makanan alami. Memiliki akses khusus memasuki rimba mangrove, para perempuan Injros juga berperan menjadi penjaga hutan. Tradisi ini pula yang membuat kaum laki-laki dilarang masuk atau merambah hutan bakau.
Larangan bagi para pria memasuki hutan bakau juga berhubungan dengan kebiasaan kaum perempuan ketika mencari bahan pangan. Ketika musim teduh tiba dan laut tenang, para perempuan menggunakan perahu bercadik masuk ke hutan bakau. Selain menangkap ikan, mereka mencari kerang dan bia nor. “Ketika mencari bia atau siput itu, kami tanpa busana dan berendam masuk ke lumpur bakau,” kata Mama Ani pada Juli lalu.
Menurut Mama Ani, di tengah-tengah usaha mencari ikan, kerang, dan bia di lumpur bakau, para perempuan saling bercerita. Mereka juga berbagi pengalaman. “Kami akan menceritakan rahasia masing-masing keluarga,” kata perempuan 65 tahun itu.
Para laki-laki di kampung sudah paham bahwa hutan bakau yang menjadi milik kaum perempuan itu tak boleh diganggu. Laki-laki yang nekat masuk ke hutan bakal mendapat sanksi. Pasalnya, di dalam hutan bakau itulah para perempuan biasa mencurahkan unek-unek mereka. “Hutan itu khusus untuk perempuan. Di situlah kami bisa curhat kami punya masalah,” ucap Mama Ani.
Kaum perempuan biasa pergi hingga dua jam dari kampung untuk mencari kerang, kepiting, dan teripang. Mereka memakai jaring dan alat tangkap bambu untuk berburu kepiting di Teluk Youtefa. Menggunakan perahu, mereka lalu menyusuri hutan bakau mencari bahan pangan tambahan. Sebagian dikonsumsi sendiri, sisanya dijual. Selain mencari bahan pangan, mereka mengumpulkan batang tumbuhan bakau untuk kayu bakar.
Hutan bakau sekitar Kampung Enggros-Tobati, Jayapura, Papua, Agustus 2020. Jubi/Tempo/Engel Wally
Tradisi menjaga “Hutan Perempuan” ini membawa Kampung Injros menempati peringkat ketiga dalam lomba peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 2016 di Jakarta. Sebelumnya, mereka menjadi juara di tingkat provinsi. “Kami juara karena hutan ini alami, dan cuma kami yang memiliki Hutan Perempuan,” tutur Kepala Kampung Injros, Origenes Merauje.
Ancaman kerusakan kini membayangi kelestarian hutan tempat para perempuan Injros mencari ikan dan kerang. Apalagi ada sebagian hutan yang dibongkar, terimbas pembangunan sejumlah infrastruktur jalan dan arena lomba dayung untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) yang bakal digelar di Papua tahun depan. Habitat ikan dan kerang pun rusak.
Para perempuan Injros mulai kesulitan memperoleh stok makanan yang biasanya diraup di dalam hutan mangrove. Padahal, sebelum laut dan hutan tercemar, mereka bisa mendapatkan banyak ikan dan kerang. Suplai bahan pangan itulah yang biasa disumbangkan sebagai lauk untuk makan bersama kala pesta rakyat di kampung digelar.
Mama Ani menginginkan pembangunan venue dayung bisa disesuaikan dengan kondisi alam. Fasilitas seperti itu, menurut dia, seharusnya dibangun menggunakan tiang panjang atau dengan membuat jembatan dari kayu. “Bukan menimbun hutan dengan karang, apalagi menebang pohon-pohon,” ujarnya.
Tetua perempuan Injros lain, Mama Bertha Sani, mengatakan perubahan lingkungan membuat tak semua perempuan Injros mau menjalankan tradisi mencari bahan pangan di hutan bakau. Ikan, siput, dan kerang makin sulit diperoleh. Sebagian perempuan pun beralih ke laut, menggali pasir dan membalik rumput laut untuk mengumpulkan kerang.
Walhasil, partisipasi para perempuan dalam tradisi menjaga Hutan Perempuan di Kampung Injros berkurang. Apalagi mereka lebih suka mencari kerang di laut ketimbang masuk ke dalam lumpur bakau yang kini penuh sampah. Penimbunan karang di sekitar hutan bakau pun sudah mengganggu habitat ikan dan kerang.
Menurut Mama Bertha, saat ini tersisa 10 perempuan berusia sekitar 60 tahun yang masih mempertahankan tradisi mencari kerang di Hutan Perempuan. “Mungkin mencari di laut lebih mudah,” kata perempuan 60 tahun itu. Ia pernah mengalami saat-saat panen kerang berlimpah.
Dulu, Mama Bertha bisa mengumpulkan 100 kilogram kerang. Sekarang dia cuma bisa mengisi setengah ember. Kerang-kerang itu dijualnya di tepi jalan Holtekamp Hamadi, Jayapura. Harganya Rp 50 ribu per kilogram. “Mencari dua hari, baru bisa jualan,” ucap Mama Bertha. “Capek sekali mencari barang ini. Sekarang banyak orang buang karang dan sampah, kerang jadi sedikit.”
Aktivis perempuan Papua dan antropolog, Dominggas Nari, mengatakan hanya tersisa sekitar 10 perempuan yang melanjutkan tradisi mencari bahan pangan di hutan bakau. Menurut alumnus Universitas Indonesia itu, Adriana Youwe adalah perempuan tertua di kampung Injros yang masih masuk-keluar hutan bakau berburu kerang.
Adriana Youwe mengatakan tak ingin hutan bakau dibongkar. Para perempuan kampung bahkan tak pernah mendapat informasi bahwa akan ada proyek pembangunan, termasuk venue dayung untuk PON 2021, yang akhirnya mengubah hutan bakau mereka. Adriana bersama warga kampung memprotes pembangunan ini karena tidak sesuai dengan kearifan lokal.
Ketua Adat Port Numbay yang juga Ondoafi Kampung Nafri, George Awi, pun mengecam perubahan bentang alam, apalagi sampai merombak lingkungan hutan bakau. Padahal di dalam kawasan mangrove itu ada sumber makanan untuk warga kampung. “Itu Hutan Perempuan,” kata George.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, DOMINGGUS A. MAMPIOPER, TIMOTEUS MARTEN (JAYAPURA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo