Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Svetlana dalam Animasi    

A Daughter’s Memory mendekati kisah penyintas 1965 dengan cara berbeda. Cerita Svetlana Dayani, putri pemimpin PKI yang turut dipenjara pada usia 9 tahun, dituturkan lewat animasi.

3 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGIT berbintang cerlang, bulan bulat besar, jangkrik mengerik, dan gadis kecil bermata kancing bermain Scrabble dengan riang. Film animasi A Daughter’s Memory tampak cocok menjadi ilustrasi dongeng manis pengantar tidur hingga sebuah bayangan hitam besar pria berseragam jatuh di atas papan permainan. Pria itu menyusun huruf di tengah papan Scrabble si gadis kecil: N-J-O-T-O. Dan mimpi buruk pun bermula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gadis kecil itu Svetlana Dayani, putri pertama Njoto, Ketua II Komite Sentral Partai Komunis Indonesia. Setelah PKI dituding sebagai dalang pembunuhan jenderal pada 1 Oktober 1965 dinihari, seluruh keluarga Njoto menanggung dampaknya. Soetarni, istri Njoto, dan keenam anak mereka diciduk tentara di Gunung Sahari pada Oktober 1965. Mereka lalu ditahan di Komando Distrik Militer, Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta. Svetlana berusia 9 tahun waktu itu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kisah Svet—panggilan Svetlana—menjadi satu dari segelintir penuturan penyintas peristiwa 1965 yang diangkat menjadi sebuah film. Berbeda dengan karya lain tentang 1965 seusai Orde Baru yang umumnya menggunakan pendekatan rekonstruksi sejarah lewat wawancara dan pemaparan fakta, A Daughter’s Memory yang menceritakan kisah Svet disajikan dalam bentuk film dokumenter animasi. “Svetlana tidak punya banyak arsip dokumentasi. Kami mereka ulang memorinya lewat animasi agar Svetlana dapat menceritakan kembali kisahnya tanpa menjadi trauma baru,” ujar Kartika Pratiwi, sutradara sekaligus produser A Daughter’s Memory, lewat wawancara telepon pada Kamis, 1 Oktober lalu. 

Svetlana Dayani saat diwawancari Tempo, di kediamanannya di Yogyakata, 28 September 2020. TEMPO/Shinta Maharani

Alasan selanjutnya adalah agar film ini dapat diterima oleh penonton muda. Kartika ingin karyanya dapat digunakan oleh guru sejarah sebagai bahan belajar dan diskusi di sekolah-sekolah. Karena itu pula, alih-alih menampilkan tragedi 1965 secara terang-terangan, film berdurasi 8 menit 40 detik ini lebih menonjolkan sisi cerita yang dapat dimengerti banyak orang, yakni hubungan ayah dengan anak perempuannya. Pendekatan ini mengingatkan pada Persepolis (Marjane Satrapi dan Vincent Paronnaud, 2007), yang membingkai sejarah kekerasan Revolusi Iran lewat memori sehari-hari sebuah keluarga. 

Suara rekaman wawancara dengan Svet dewasa menjadi narasi pengiring sepanjang film ini. Dia mengingat ayahnya sebagai sosok yang teramat sabar. Njoto memangku Svet sembari mengetik. Dia juga membiarkan Svet mengeja beberapa huruf dengan mesin tik itu meski sedang bekerja. Di luar itu, tak banyak yang Svet ketahui tentang sang ayah, termasuk mengapa ia direnggut dari keluarganya. Baru saat bersekolah dia sedikit-sedikit mengerti saat melihat foto ayahnya di dalam buku pelajaran sejarah. “Gembong PKI tulisannya, ha-ha-ha…,” kata Svet dalam film itu. 

Potongan kenangan Svet tentang masa-masa dia dipenjara juga dimunculkan. Karena selnya berada tak jauh dari ruang interogasi, dia sering melihat orang berlumuran darah diseret keluar dari ruang itu. Dia juga mendengar jeritan mereka pada malam hari. Saat pagi tiba, Svet akan disuruh menyapu dan membersihkan asbak di ruangan yang masih menyisakan tanda-tanda telah terjadi penyiksaan itu. Ada cambuk dari ekor ikan pari yang masih berbekas darah. 

Memori kelam itu diilustrasikan sesubtil mungkin lewat bayangan hitam, gambar kaki diseret, atau tubuh Svet yang mengerdil di samping asbak dan puntung rokok, tanpa sekali pun memperlihatkan warna merah darah. Bahasa simbol seperti ini lebih banyak muncul ketimbang penggambaran realistis. “Kami menggunakan simbol agar maknanya lebih dalam, juga melakukan banyak riset tentang pilihan warna,” ucap Kartika, yang bekerja sama dengan kelompok ilustrator dari Studio Batu, Yogyakarta, untuk urusan animasi. 

A Daughter’s Memory diproduksi tahun lalu dan terpilih sebagai pemenang Film Terbaik sekaligus Animasi Terbaik dalam kompetisi film pendek tahunan Australia-Indonesia, ReelOzInd. Produksi film ini adalah rangkaian inisiatif Kotak Hitam Forum yang sejak 2008 aktif membuat dokumentasi dan mengarsipkan temuan-temuan baru terkait dengan peristiwa 1965. Kartika tergabung dalam forum tersebut. Dua tahun sebelum film diproduksi, Kartika bertemu dengan Svet dalam suatu acara di Yogyakarta yang berlangsung hingga larut malam. Kartika mengantar Svet pulang dan mendengarkan ceritanya sepanjang perjalanan. Dari situlah ide membuat film muncul. 

Svet menyambut baik ide pembuatan film tentang dirinya, terlebih dengan konsep animasi. Dia berharap sejarah menjadi lebih mudah dipahami anak muda, terutama untuk melihat sisi kemanusiaan, bukan pertikaian politiknya. 

Perempuan bersenyum lebar dengan rambut seputih awan itu selama puluhan tahun terus hidup dalam kecemasan dan trauma akan kekerasan. Dia sempat melepas nama “Svetlana”, nama pilihan Njoto yang berarti cahaya dalam bahasa Rusia tapi dapat dengan mudah dimaknai sebagai antek PKI pada masa Orde Baru. 

Svet kini tinggal di Yogyakarta bersama anak bungsunya dan seekor anjing bernama Moko di sebuah bangunan setengah jadi. Rumah dengan langit-langit ditutupi terpal itu menempati tanah milik gereja. Pohon matoa, pisang, dan belimbing wuluh tumbuh subur di pekarangannya. Rumah itu berada di suatu gang sempit tempat gerak-gerik Svet masih kerap diawasi. 

Pernah suatu hari tetangga Svet mengetuk pintu rumahnya dan meminta dia melapor kepada ketua rukun tetangga bila ada tamu yang singgah. “Termasuk saudara, saya harus lapor ke ketua RT,” tutur Svet saat ditemui di rumahnya, Senin, 28 September lalu. 

Pada Oktober 2013, anggota Front Anti Komunis Indonesia Yogyakarta menyerang dan melukai sejumlah keluarga korban tragedi 1965 yang sedang menggelar pertemuan di Padepokan Santi Dharma, Bendungan, Sidoagung, Godean, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Akibat kekerasan itu, Svet dan anak-anaknya merasa keselamatan mereka terancam. Berbekal tas dan uang secukupnya, mereka pergi dan mencari tumpangan tempat tinggal, berpindah dari satu rumah ke rumah koleganya di Yogyakarta hingga bertolak ke Jakarta untuk sementara waktu. 

Baru menjelang Natal tahun lalu Svet memberanikan diri pulang. Kejadian itu mengingatkannya pada peristiwa 1965, yang membuat keluarganya terusir dan tercerai-berai. “Kami terpukul. Anak saya mengalami apa yang dulu menimpa saya,” kata Svet penuh getir. 

Poster film A Daughter's Memory. Arsip Kotakhitam Forum

Svet menghabiskan sebagian waktunya bersama penyintas yang bernasib serupa. Melalui Kiprah Perempuan atau Kiper, perkumpulan penyintas 1965, Svet saling membantu dengan penyintas lain. Pertemuan mereka diisi dengan kegiatan arisan setiap dua bulan. Selain itu, mereka saling mendengarkan cerita. Sebagian yang bergabung adalah penyintas yang hidup sebatang kara atau tidak menikah, ada pula yang dijauhi keluarga. 

Selain aktif di Kiper, mantan karyawan perusahaan penyuplai peralatan minyak dan gas di Jakarta ini bergabung dengan Forum Silaturahmi Anak Bangsa, forum yang mempertemukan keluarga korban tragedi 1965 dari kalangan PKI dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Forum ini diadakan untuk menghapus dendam keluarga korban tragedi tersebut.

Svet berhubungan baik dengan Nani Sutoyo, anak tertua Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, perwira tinggi TNI AD yang menjadi korban tragedi tersebut. Nani Sutoyo menghadiri acara perayaan ulang tahun ke-84 Soetarni, ibunda Svet, di Jakarta pada 2012. Dia juga bersahabat dengan Catherine, anak Asisten Logistik Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Donald Isaac Pandjaitan. “Keduanya sering main ke rumah dan kalau ke Yogyakarta selalu mengabari. Mereka saya anggap sebagai kakak,” ujar Svet.

Gadis kecil dengan luka besar itu kini telah tumbuh kuat dan tak mau terus-menerus kalah. Toh, kata Svet, dia tidak melanggar hukum, tidak berbuat onar, tidak melawan pemerintah. Seperti adegan penutup dalam filmnya, dia sudah dapat berkata dengan berani, “Nama saya Svetlana, Svetlana Dayani.” 

MOYANG KASIH, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus