Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Minat Baca

Menurut survei, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang suka membaca. Menurut badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, dari 72 negara yang disurvei, kita di urutan ke-61, satu tingkat di atas Botswana. Benarkah serendah itu?

3 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Vaksin corona

  • Minat baca

  • Sampah laut

Minat Baca

MINAT baca buku orang Indonesia sangat rendah, menurut banyak survei mumpuni. Hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang suka membaca. Menurut badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, dari 72 negara yang disurvei, kita di urutan ke-61, satu tingkat di atas Botswana. Juaranya Singapura. Benarkah serendah itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisa jadi. Lalu bandingkan dengan lama orang Indonesia mengakses Internet dibanding negara lain: tiga setengah jam sehari, melampaui Jerman dan negara-negara maju. Indonesia memasuki zaman disrupsi begitu cepat seraya melupakan syarat utama agar kita bijak di dunia maya: kemampuan membaca dan bernalar. Tanpa kemampuan membaca hal-hal yang tertulis, kita akan gagal memahami makna yang tersirat dalam dokumen tulisan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut saya, ini berbahaya karena dalam masyarakat yang rendah literasinya akan muncul polarisasi lantaran ketidakmampuan tiap orang memahami pendapat dan argumen. Jadi, selain perbedaan pilihan politik yang selalu disebut sebagai biang polarisasi orang Indonesia dewasa ini, akar masalahnya mungkin karena rendahnya masyarakat kita dalam membaca.

Sebaiknya ini menjadi perhatian pemerintah dan kita semua. Masyarakat beradab tak akan bisa terwujud tanpa literasi yang baik. Demokrasi yang bertanggung jawab tak akan berjalan mulus tanpa gairah membaca yang tumbuh. Sebab, membaca adalah pintu ke arah ilmu pengetahuan. Dan ilmu pengetahuan menyediakan kebajikan.

Sekarang saya dengar Menteri Pendidikan hendak menyederhanakan kurikulum. Itu langkah yang baik karena anak-anak sekolah sekarang seperti tersiksa belajar lantaran terlalu banyak mata pelajaran. Sebaiknya penyederhanaan itu mendorong anak menjadi suka membaca.


Dewi B.

Bogor, Jawa Barat


Minim Sampah

MENURUT data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 37 persen sampah bermuara di laut. Artinya, jika kita memproduksi 64 juta ton sampah setahun, ada 24 juta ton sampah di laut. Betapa mengerikan. Kita tahu banyak penyakit muncul dari laut karena keanekaragaman hayati makhluk hidup di dalamnya yang tinggi. Jika laut merana karena sampah, malapetaka akan datang kian cepat.

Membuang sampah dengan tertib seharusnya menjadi budaya hidup kita sehari-hari. Mesti ada kampanye agar hidup tiap orang minim sampah. Sebab, membuang sampah dengan tertib pun kita tak punya pengolahnya. Kita bisa lihat mobil sampah ke rumah kita itu menumpuk dan mencampur sampah begitu saja. Artinya, sampah itu tak diolah lagi. Di tempat pembuangan akhir pun jadinya sampah menggunung. Di televisi, bisa kita lihat sampah di Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, seperti gunung.

Hidup minim sampah adalah solusi bagi alam yang tengah menghadapi ancaman pemanasan global ini. Tanpa mengurangi sampah dari rumah, dari tiap individu, kita akan makin tenggelam oleh problem sampah yang tak kunjung terselesaikan dan ada jalan keluar. Maka sepanjang kita belum punya solusi menangani sampah, dengan memanfaatkannya kembali, mengurangi sampah adalah solusi yang masuk akal dan arif.

Kementerian Komunikasi atau Kementerian Lingkungan Hidup perlu melibatkan sekolah untuk mengurangi sampah. Jadi kampanyenya tak lagi sekadar buang sampah pada tempatnya, tapi kurangi sampah sekarang juga. Hidup minim sampah akan menyelamatkan kita, menyelamatkan planet bumi. Tentu saja kampanye ini harus dibarengi dengan kebijakan yang mendorong dunia usaha agar membuat solusi dalam kemasan produk. Saya tidak punya pengetahuan soal ini. Tapi, jika kita peduli pada lingkungan, seharusnya ini menjadi prioritas.


Putri Hermawan

Yogyakarta


Vaksin Covid

PEMERINTAH terus menaruh harapan besar pada produksi vaksin. Dari narasinya, agaknya pemerintah menjadikan vaksin sebagai senjata pamungkas menyelesaikan pandemi virus corona. Tapi seorang profesor dari Universitas Airlangga, Surabaya, mengatakan vaksin justru akan membahayakan dan makin membuka pintu pada virus lain yang lebih ganas. Artinya, vaksin corona bukan solusi jitu, setidaknya untuk saat ini.

Karena itu, sebelum solusi yang benar-benar ampuh ditemukan, sebaiknya kita patuh pada protokol kesehatan. Agaknya ini satu-satunya cara memutus rantai penyebaran virus. Setelah tujuh bulan pandemi, ekonomi menjadi tersendat sehingga kita terpaksa keluar dari rumah untuk mencari penghasilan. Karena itu, peluang penularan menjadi makin terbuka.

Maka, untuk menyeimbangkan ekonomi dan kesehatan, tiap individu perlu sadar bahwa corona hanya bisa dilawan dengan tidak lagi berperilaku sembarangan. Corona telah benar-benar mengubah hidup kita. Tapi, di negara-negara yang sudah bebas dari kasus baru, masyarakatnya patuh dan tes massal digenjot. Jadi, meskipun vaksin belum ada dan efektivitasnya diragukan, kita masih punya harapan segera bebas dari pandemi ini jika semua patuh jaga jarak, tak berkerumun, selalu memakai masker, dan rajin mencuci tangan memakai sabun.


Maria Dini

Jakarta Selatan

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus