Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Kamp Peselancar dari Hutan Toloulaggo

Pohon meranti, katuka, dan keruing di hutan Toloulaggo di Siberut Barat Daya ditebangi. Kayunya untuk membangun kamp peselancar.

23 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pohon-pohon besar dan tinggi dari jenis meranti, keruing, dan katuka di hutan Toloulaggo di Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, ditebangi oleh masyarakat.

  • Kayu-kayunya dijual kepada pemilik resor dan penginapan peselancar di pulau-pulau kecil di Siberut Barat Daya.

  • Penginapan yang berada di dalam kawasan hutan produksi itu harus mengurus perizinan berusaha pemanfaatan hutan sebelum 3 November 2023.

PULAU Libbut di mulut Teluk Katurei di ujung tenggara Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, merupakan salah satu destinasi para peselancar dari mancanegara. Di pulau kecil di Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, yang bisa dikelilingi dalam lima menit berlari ini sedang dibangun sebuah penginapan atau kamp peselancar. Ada tiga bangunan dari kayu meranti yang sudah berdiri. Bangunan itu bergaya uma—rumah adat Mentawai—dengan atap dari daun pohon sagu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki pemilik penginapan itu mengaku bernama Fabianus. Ia bekerja sebagai pemandu wisata untuk peselancar. Istrinya, Lena, yang berkewarganegaraan Jerman, dalam tiga tahun terakhir sering berkunjung ke Pulau Siberut. Sebulan lalu, ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya di Jerman dan memilih tinggal di Pulau Libbut. “Tempat ini tak jauh dari lokasi surfing dan kami buat surf camp untuk menampung para peselancar,” kata Lena dalam bahasa Indonesia yang fasih, Rabu, 29 Maret lalu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fabianus mengaku membangun penginapan itu sejak awal tahun ini. “Keluarga saya adalah sibakat polak (pemilik sebagian lahan) di pulau ini, jadi lebih baik dimanfaatkan. Istri saya yang menjadi investor,” ujar Fabianus, yang asli Siberut. Dia mengakui penginapan itu belum mengantongi izin mendirikan bangunan. Adapun untuk memperoleh kayu-kayu dari hutan Toloulaggo, dia mendapat izin dari Kepala Desa Katurei. “Tidak dibatasi jumlahnya. Sesuai dengan kebutuhan saja,” tuturnya.

Untuk tiga bangunan yang sudah berdiri, Fabianus memperkirakan telah menghabiskan 23 meter kubik kayu atau setara dengan tujuh batang pohon besar dan beberapa batang pohon kecil. Semuanya berasal dari hutan Toloulaggo. Bukan hanya penginapan Fabianus, sejumlah resor dan surf camp atau kamp peselancar bertambah setiap tahun. Setidaknya di Kepulauan Mentawai ada 22 resor dan 34 surf camp. Kayu untuk pembangunannya diambil dari hutan-hutan alam di Mentawai.

Koordinator Tourist Information Center Siberut Selatan Krisdianto Sababalat mengatakan semua bangunan resor dan surf camp itu terbuat dari kayu. “Mereka ingin nuansanya alami. Material yang dibeli dari Padang paling hanya kaca, keramik, semen, dan toilet,” katanya. “Orang lokal bekerja sama dengan WNA (warga negara asing) dan pembangunan surf camp itu enggak ada izin. Di Siberut Barat Daya saat ini ada lima yang sedang dibangun dan itu sulit dikontrol,” ujarnya.

Kepala Desa Katurei, Karlo Saumanuk, juga resah dengan banyaknya pembangunan resor dan surf camp yang berdampak meningkatnya pengambilan kayu di hutan Toloulaggo oleh operator chainsaw. Hutan alam seluas 6.706 hektare di Toloulaggo itu, kata Karlo, berstatus hutan negara yang sebagian besar berupa hutan produksi yang dapat dikonversi dan sisanya hutan produksi. Namun, secara adat, hutan itu tetap dimiliki masyarakat adat dari tiga suku di Toloulaggo.

Menurut Karlo, pengambilan kayu dari hutan negara dilarang. “Namun ada beberapa resor dan surfcamp yang sejak dulu mengambil kayu dengan menebang hutan alam di sana,” ucapnya. Awal tahun ini, tutur Karlo, pemerintah desa Toloulaggo mengeluarkan dua izin pemanfaatan kayu, yakni untuk Fabianus dan satu lagi untuk warga negara Prancis di Pulau Malilimok. “Masing-masing hanya boleh mengambil kayu sebanyak 4-5 meter kubik.”

Karlo mengaku sangat selektif memberikan izin pemanfaatan kayu skala kecil untuk keperluan pariwisata itu. Namun, kata dia, operator chainsaw yang nakal mengambil kayu dari hutan Toloulaggo dalam jumlah yang lebih banyak. “Mereka mencuri kayu di hutan diam-diam dan itu sulit dikontrol karena hutan Toloulaggo sangat luas. Kami tidak punya petugas untuk menangkap mereka yang mengambil kayu,” ujarnya.

Menurut Karlo, sebelumnya operator chainsaw juga menebang pohon-pohon di hutan Toloulaggo untuk memenuhi pesanan kayu dari resor lain di Kecamatan Siberut Barat Daya. Dia mengaku telah menyurati dua resor yang menggunakan kayu dari penebangan ilegal di hutan Toloulaggo. “Tapi di sana sudah ada aparat keamanan yang jadi beking. Saya sebagai kepala desa mau bagaimana lagi,” ucapnya. 

Kayu yang dibawa dari hutan Toloulaggo yang dihanyutkan melalui sungai ke muara/Vinsensius-Malinggai Uma Mentawai

Ia mengatakan operator chainsaw atau tukang tebang adalah warga Dusun Toloulaggo yang tidak memiliki lahan. Tukang tebang ini lalu menghubungi suku pemilik tanah untuk meminta izin mengambil kayu dari hutan Toloulaggo. Bayaran yang diberikan tukang tebang kepada pemilik lahan sangat murah, hanya Rp 100 ribu per meter kubik kayu. Padahal harga jual kayu dari tukang tebang ke pemilik resor sebesar Rp 2-2,5 juta per meter kubik.

Tukang tebang hanya membayar untuk 3-5 meter kubik kayu kepada suku pemilik lahan, lalu mereka mengambil kayu di hutan dalam jumlah yang lebih banyak tanpa setahu pemilik lahan. “Mereka maling kayu lebih banyak. Inilah yang menyebabkan pohon besar di hutan cepat habis. Untuk resor dan surf camp itu butuh puluhan meter kubik kayu setiap bulan,” kata Karlo dari suku Saumanuk, suku pemilik terbesar lahan hutan Toloulaggo. 

Pada awal April lalu, Tempo masuk ke hutan Toloulaggo dan menemukan pohon-pohon yang ditebang sudah dipotong berbentuk balok dan papan serta terikat. Seorang pemuda operator chainsaw menampik jika kayu-kayu itu disebut pesanan resor. “Ini untuk saya pakai sendiri, untuk rumah,” ujarnya. Kayu-kayu itu lalu dihanyutkan melalui sungai yang mengalir di tengah hutan menuju muara. Di muara yang penuh mangrove, kayu dibawa dengan perahu motor oleh pekerja resor atau surf camp yang memesannya.

Kepala Desa Karlo Saumanuk mengatakan hutan Toloulaggo memiliki potensi yang besar untuk dijadikan kawasan penelitian dan ekowisata. Di hutan ini masih ada empat primata endemis Mentawai: simakobu, bilou, bokkoi, dan joja. “Kami berencana mengelolanya bersama Malinggai Uma Mentawai, lembaga konservasi di Siberut, agar hutan ini terjaga dan masyarakat mendapat untung dari ekowisata,” katanya.

Ketua Malinggai Uma Mentawai, Damianus Tateburuk, mengatakan ancaman terbesar bagi hutan Toloulaggo adalah pembangunan resor dan surf camp yang mengandalkan kayu hutan alam dari sana. “Tiap tahun jumlah pohon besar makin berkurang karena ditebang. Padahal pohon-pohon besar dan tinggi, seperti keruing, meranti, dan katuka, adalah rumah bagi keempat primata endemis Mentawai,” tuturnya.

Damianus mengatakan pihaknya menyiapkan lokasi pengamatan primata endemis di hutan Toloulaggo itu sejak tiga tahun lalu. Lembaganya juga telah membuat jalur trek ke sejumlah titik keberadaan primata, tapi beberapa pohon besar sudah ditebang. Akibatnya, ada kelompok joja dan bilou yang pindah dan tak terlihat lagi. “Padahal pohon-pohon besar dan tinggi adalah pohon tidur dan sumber makanan bagi primata. Pohon itu yang jadi incaran penebangan ilegal,” ucap Damianus. 

Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Mentawai Unit XI Afrial Muhammad mengatakan, sejak dulu, banyak resor dan surf camp yang dibangun tanpa izin di kawasan hutan produksi. Saat ini, kata Afrial, terdapat 53 resor dan surf camp di kawasan hutan produksi. Menurut dia, sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja, resor dan surf camp yang belum mengurus izin hingga 3 November 2023 akan ditindak secara pidana. “Mereka bisa mengajukan permohonan perizinan berusaha pemanfaatan hutan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.”

Afrial juga melarang pembangunan surf camp baru dalam kawasan hutan produksi di Kepulauan Mentawai, termasuk di Pulau Siberut. “Kami sudah meminta Kepolisian Daerah Sumatera Barat menindak resor dan penginapan tanpa izin dalam kawasan hutan produksi di Kepulauan Mentawai,” ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa pembangunan resor dan surf camp dengan mengambil kayu dari hutan produksi adalah tindakan ilegal.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Penginapan Marak, Hutan Terkoyak"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus