Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sistem pelindungan konsumen Indonesia sangat buruk.
Saran dan rekomendasi BPKN sering diabaikan kementerian dan lembaga.
BPKN mengusulkan penguatan lembaga dan penambahan hak eksekutorial.
NAMA Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mencuat belakangan ini, terutama setelah lembaga ini melaporkan hasil penelitian mengenai kasus gagal ginjal akut. Setidaknya 159 anak meninggal diduga akibat mengkonsumsi obat batuk pada 2022. BPKN memberikan sejumlah rekomendasi kepada presiden, dari audit kelembagaan, pemberian ganti rugi kepada korban, dan permintaan maaf untuk menangani kasus itu. Sayangnya, sebagian besar rekomendasi tersebut tidak dijalankan kementerian dan lembaga pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua BPKN Rizal Edy Halim menilai pengabaian rekomendasi lembaganya itu sebagai akibat langsung kelemahan BPKN. Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjelaskan kewenangan BPKN hanya memberikan saran dan rekomendasi. "Kami tak punya hak eksekutor," katanya kepada wartawan Tempo, Abdul Manan dan Iwan Kurniawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dua kali kesempatan wawancara, 28 Februari dan 1 April lalu, Rizal menjelaskan sejumlah kasus yang ditangani BPKN. Dari adanya indikasi kejahatan pasar modal dalam penawaran saham perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia, penipuan perumahan, hingga model pelindungan konsumen di luar negeri. Ia mengusulkan penguatan kelembagaan BPKN dimasukkan dalam rencana revisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang sedang disiapkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Untuk kasus gagal ginjal, bagaimana penyelesaiannya?
Ada empat rekomendasi. Pertama, ganti rugi atau kompensasi. Kedua, audit sektor kefarmasian, karena tidak tertutup kemungkinan obat-obatan yang lain tidak terawasi dengan baik. Ketiga, penindakan hukum bagi pelaku, siapa pun itu, apakah pelaku usaha atau regulator. Keempat, karena sektor kesehatan ini menyangkut nyawa, sistem pelindungan konsumen kita harus diperkuat.
Pemerintah menjalankannya?
Setelah kami sampaikan ke Presiden, saran Pak Luhut Binsar Pandjaitan (Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi) waktu itu adalah meminta BPKP mengaudit Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Yang lain, soal minta maaf dan ganti rugi, tidak ada.
Mengapa?
Menurut regulasi, kewenangan BPKN sangat terbatas. Ketika saran diberikan kepada pemerintah, dalam hal ini presiden, presiden harus merespons, mempelajari, mengevaluasi, dan kemudian mengambil sikap. Itu yang tidak terjadi. Kewenangan dari undang-undang lemah. BPKN tidak bisa eksekusi.
Memangnya apa temuan utama BPKN ihwal gagal ginjal?
Yang fatal adalah koordinasi yang buruk antara Kementerian Kesehatan dan BPOM. Banyak hal yang tidak berjalan dengan baik di sektor kesehatan. Kasus gagal ginjal adalah preseden buruk dan harus menjadi peringatan bagi pemerintah untuk menata sektor kesehatan dan kefarmasian. Sebab, ini menyangkut nyawa manusia.
Itu karena pelindungan konsumen kita buruk?
Sangat buruk. Kasus gagal ginjal itu adalah puncak gunung es pelindungan konsumen, karena terkait dengan nyawa. Kalau yang lain material. Ini nyawa yang tidak tertolong karena sistem pelindungan konsumennya parah. Sangat buruk.
Bukankah adanya BPKN dimaksudkan untuk melindungi?
Pertama, hak eksekutorialnya enggak ada. Kedua, lembaga ini seharusnya independen, tapi rumahnya di bawah Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan. Susah bergerak. Tapi, dari sisi fungsi, selalu berpegang pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa pelindungan konsumen adalah segala upaya yang dilakukan untuk memberi kepastian hukum. Kata "segala upaya" itu yang kami pakai. Misalnya, dalam kasus perumahan, BPKN tidak punya kewenangan melakukan penyelidikan dan sebagainya. Tapi, pada kondisi tertentu, kami bisa menyegel lokasi itu dengan meminta bantuan aparat penegak hukum. Kami pernah melakukan hal itu di Batam saat hutan lindung dijadikan kawasan perumahan.
Apa kerumitannya?
Kalau kami mau melakukan sesuatu di luar saran dan rekomendasi, misalnya memperbaiki tata kelola organisasi, kami tidak bisa berkirim surat ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), tapi harus ke Kementerian Perdagangan yang kemudian dikirim ke Kementerian PAN-RB. Misalnya, kami mau minta kenaikan gaji, enggak bisa langsung ke Kementerian Keuangan. Saya minta kepada Kementerian Perdagangan, lalu Kementerian Perdagangan yang meminta kepada Kementerian Keuangan. Kalau semua permintaan dipenuhi, kan, lancar. Tapi tidak semua permintaan BPKN kepada Kementerian Perdagangan mereka iyakan.
Selama ini banyak yang tidak disetujui?
Banyak. Ini bahasa birokrat: ngomong "tidak oke", tidak dikerjakan.
Dalam lima tahun, kasus apa yang paling banyak diadukan masyarakat?
Tahun 2017, 2018, 2019 yang terbanyak dari sektor properti, baik rumah susun maupun rumah tapak. Pada 2020-2022, berubah. Terbanyak e-commerce, seperti barang yang dikirim tidak sesuai dengan yang dibeli. Beli barang A tapi dikasih B. Kalau soal keuangan, kasus asuransi dan pinjaman online.
Apa kasus paling banyak?
Yang pertama dan utama adalah sistem pelindungan konsumen kita, seolah-olah konsumen tidak berdaya sama sekali.
Apa contohnya dalam hal asuransi?
Dalam kasus Jiwasraya dan Wana Artha, apa yang bisa diperoleh konsumen? Enggak ada. Aset Jiwasraya disita dan pelakunya ditangkap. Nasabahnya gimana? Enggak dapat apa-apa. Ini juga masalah dalam sistem hukum kita, misalnya barang sitaan tidak bisa dikembalikan ke nasabah. Kami sudah minta kejaksaan seharusnya ada terobosan hukum agar barang sitaan yang terkait dengan kasus asuransi ini bisa dikembalikan ke masyarakat, tidak kemudian disita negara. Tentu harus dibuatkan mekanisme. Bila menunggu kasusnya putus sampai in kracht dan baru bisa dieksekusi, misalnya setelah 10 tahun, barang seperti mobil dan kapal tanker itu sudah rusak, habis. Nilainya menyusut.
Kalau perumahan, kasus terbanyak apa yang diadukan?
Perumahan ini rumit. Pertama, ada rumah susun dan rumah tapak. Rumah tapak booming pada 2012, setelah 2015 turun. Apa yang terjadi ketika banyak developer baru berkembang? Penipuan. Contohnya, mereka menjual brosur, barang enggak ada. Walaupun ada aturan dari Bank Indonesia bahwa KPR (kredit perumahan rakyat) bisa diberikan kalau sudah dibangun 30 persen, aturan itu enggak berjalan. Penipuan marak sekali terjadi di sektor properti pada 2017-2019. Ini sindikat developer, notaris, dan pejabat bank yang mengeluarkan KPR. Ketika konsumen sudah membayar dan bahkan melunasi pembayaran, surat-suratnya enggak mereka miliki. Ternyata surat-surat itu "disekolahkan" (jadi agunan) di tempat lain.
Kepala BPKN Rizal E Halim memberikan keterangan kepada wartawan terkait penemuan kenaikan harga tiket perjalanan hingga 100 persen, di Jakarta, 21 Desember 2022. Tempo/Tony Hartawan
Apakah Undang-Undang Perlindungan Konsumen ada pidananya?
Ada pidananya. Tapi Pasal 60-62 punya banyak kelemahan. Dalam penuntutan, pasal ini jarang digunakan karena pembuktiannya susah. Jadi selalu dilapis dengan KUHP (Kitab Udang-Udang Hukum Pidana).
Apa kelemahannya?
Ada pidana lima tahun penjara kalau dia (produsen) tidak menjual barang atau jasa sesuai dengan standar. Standarnya itu yang jadi perdebatan. Standar apa? Standar yang mana? Contohnya soal bahan baku untuk penyakit gagal ginjal. Bahan bakunya sudah mendapat izin edar dari BPOM. Apakah kemudian standar itu sudah dilewati? Tidak bisa. Masuknya dari KUHP, yakni menghilangkan nyawa orang.
Bagaimana BPKN menyelesaikan aduan?
Yang paling konkret adalah bekerja sama dengan media. Lalu kerja sama lintas sektoral. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, fungsi utama BPKN adalah memberi saran. Tapi, pada 2017, sebelum saya masuk, saran BPKN ini tidak pernah jadi apa-apa. Enggak pernah didengar sama sekali.
Tapi BPKN kan memberi saran....
Jangankan dikerjakan, membalas surat (BPKN) saja enggak. Pada 2017-2020, kami ubah modelnya. Rekomendasi tidak kami kirimkan sebelum kami rilis ke media. Itu yang kami lakukan. Ternyata kementerian dan lembaga lebih concern terhadap tekanan publik. Mereka sangat terganggu, apalagi menteri-menteri yang butuh perhatian presiden.
Apakah memang tidak ada sama sekali saran yang didengarkan kementerian?
Ada, oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2018 dan 2019. Rekomendasi kami dijadikan dasar untuk membuat peraturan menteri pada 2018 mengenai perjanjian pengikatan jual-beli (PPJB). Dulu, kalau kita beli rumah, sudah disiapkan blanko oleh developer. Tanda tangan, bayar Rp 5 juta. Enggak boleh itu, karena sepihak dan isinya memberatkan konsumen. Telat bayar, konsumen kena denda. Kalau mereka telat bangun, enggak ada dendanya. Jadi kami sarankan PPJB harus dibuat bersama-sama di depan notaris. Itu sudah dibuatkan peraturannya.
Kedua, ketentuan mengenai perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun (P3SRS) pada 2019. Setelah apartemen atau rumah susun dijual, pengelolanya developer itu sendiri, yang membikin anak usaha. Enggak boleh begitu. Menurut aturannya, harus dibentuk perhimpunan penghuni. Tapi dulu developer nakal. Lahan parkir (yang dikelola developer) dianggap punya hak suara sehingga ketika diadakan voting pemilihan ketua perhimpunan penghuni, developer selalu menang.
Bagaimana mengenai kompetensi, terutama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), di daerah?
Masih lemah. Pernah dalam satu periode ratusan putusan BPSK dianulir oleh Mahkamah Agung. Setelah kami pelajari, memang ada masalah pada substansi kegiatannya, terutama rekrutmen BPSK, hukum acara yang dipakai, sampai penetapan putusan.
Mereka masih bekerja, kan?
Menurut undang-undang, BPSK dibentuk di tingkat kabupaten atau kota. Otomatis (pendiriannya) dianggarkan oleh APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah). Yang terjadi, tidak semua daerah membentuknya, tapi tergantung kemauan politik masing-masing (kepala daerah). BPSK cuma ada di 120-an kabupaten/kota. Dari jumlah itu, cuma 30 persen yang hidup. Sisanya antara ada dan tiada. Ada nama doang (yang benar-benar berjalan).
Omong-omong, model pelindungan konsumen di negara lain seperti apa?
Korea Selatan ada Korea Consumer Agency yang berada di bawah perdana menteri. Di dalamnya ada sejumlah eksekutif, termasuk yang mengurus penyelesaian sengketa. Di Australia lebih kuat lagi. Namanya Australian Competition and Consumer Protection, yang menggabungkan semacam Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan BPKN. Ia bisa langsung memvonis dan mengeksekusi. Ia jadi cabang eksekutif, seperti kejaksaan. Yang cukup maju adalah Brasil. Lembaganya berada di bawah kepala negara. Ada platform yang memungkinkan pelaku usaha dan konsumen bertemu. Kalau mau komplain, di situ. Otoritas cuma mengawasi. Kalau ada yang tidak jalan, ditegur. Katanya, ada ratusan ribu aduan tiap bulan dan diselesaikan secara efektif. Setidaknya kita bisa meniru Korea atau Australia.
Revisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen sedang disiapkan DPR. Apa usul BPKN?
Pertama, lembaganya harus dibuat mandiri dan kuat di bawah presiden. Kedua, hak eksekutorial. Kalau ada hak eksekutorial, termasuk keputusan mengikat ke luar, itu sangat baik untuk menata sistem pelindungan konsumen secara nasional. Misalnya, saya mau mengatur industri penerbangan dalam sistem pelindungan konsumen. Saya buatkan petunjuk teknisnya. Lainnya, jumlah komisioner yang 20 itu perlu dirampingkan. Seharusnya cukup lima atau maksimal tujuh. Periodenya yang tiga tahun terlalu pendek. Lima tahun saja.
Rizal Edy Halim
Tempat dan tanggal lahir: Parepare, Sulawesi Selatan, 24 September 1975
Pendidikan:
- S-1 di Universitas Hasanuddin, Makassar
- S-2 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat
- S-3 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Pekerjaan:
- Asisten Staf Khusus Presiden untuk Urusan Ekonomi dan Pembangunan, 2012-2014
- Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), 2017-2020
- Ketua BPKN, 2020-sekarang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo